Rabu, 17 Februari 2010
Sekali Lagi Tentang Rasa MALU (Catatan untuk Plagiarisme)
Dua hari ini (15-16 Feb) saya sengaja mengikuti Internasional symposium dengan tema ‘Melihat Hubungan Jepang-Indonesia’ yang diselengarakan oleh Japan Fondation, Program Paska sarjana Kajian Jepang Universitas Indonesia dan CSEAS - Universitas Kyoto bertempat di Universitas Indonesia.
Undangan ini saya dapatkan dari rekan saya di Japan Fondation yang kebetulan juga beberapa pembicara dari Kyoto University adalah kawan dekat yang memang sering berinteraksi untuk beberapa urusan. Semua pemateri baik dari Jepang maupun dari Indonesia yang tampil sangat memukau dan memberikan pencerahan baru dari berbagai topik yang dibahas, mulai ekonomi, sosial, politik hingga topik humaniora yang kadang diluar pemikiran umum seperti kartun dan gaya hidup serta keseharian masyarakat muslim di Jepang dan para pekerja Indonesia disana.
Saya merasa bersyukur karena dapat mengikuti acara ini secara utuh….. dan gratis pula… he he he. Disela-sela symposium, kami para peserta dan beberapa pembicara saling bertukar pikiran dan berdiskusi kecil menyikapi perkembangan internasional, topik nasional hingga gossip lokal menyangkut Banten. Hal ini dikarenakan beberapa peserta yang hadir sebagai peserta adalah rekan ‘seperjuangan’ di Banten…. Kayak tahun 45 aja pake istilah seperjuangan… hehehe.
Satu topik yang menjadi pembicaraan serius yaitu seputar gossip lokal munculnya isu plagiat yang dilakukan oleh salah seorang professor di Universitas Negeri Sultan Ageng Tirtayasa…… ya, sengaja saya cantumkan Universitas Negeri…. karena dulunya universitas ini adalah universitas swasta yang begitu ‘ngototnya’ mengejar status negeri dalam kesempatan yang bersamaan ketika Provinsi Banten baru lahir. Euforia menyambut lahirnya universitas negeri ini sangat mengharu biru civitas akademika di Banten pada umumnya…. sayapun salah seorang yang menyambut dengan suka cita hadirnya universitas negeri ini, hingga saya mendaftarkan diri menjadi mahasiswa kelas non regular di salah satu fakultasnya.
Karena latar belakang yang sepi dari dunia kampus, saya mencoba memahami beberapa ‘kasus’ menarik yang bagi saya agak ganjil ketika mengikuti perkuliahan yang selalu sepi dari kehadiran mahasiswa dan berbalik seratus delapan puluh derajat saat akan ujian UAS… he he he (maaf saya terlalu jujur…hihihi). Saya mencoba semakin memahami saat beberapa kawan saya ‘mengadakan’ sidang ujian skripsi di salah satu hotel di kawasan Anyer… hehehe, sekalian liburan kali ya…? Tapi itu dulu, ketika universitas negeri ini baru berdiri.
Saya teringat ketika saya menjalani siding skripsi di fakultas (karena saya tidak bergabung dalam kelompok Anyer, maka jadinya saya ikut ujian di kampus)….. saat itu saya seolah terbanting dari atas tebing ke jurang paling dalam saat mengikuti ujian sidang…. Hal ini dikarenakan salah seorang penguji mengatakan bahwa skripsi saya saya tidak layak dan dianggap terlalu mengawang-awang serta terlalu tinggi untuk ukuran Banten…? Hehehe, tengkyu Pak. (padahal saya ingat ketika salah satu penguji tersebut mengatakan…. Jangan sekali-sekali mengutip tulisan orang lain atau tulisan asing yang tidak bisa dipertanggung jawabkan asal tulisan tersebut…. (padahal saya sudah menyertakan footnote…. sabar… sabar..)
Beberapa tahun kemudian, saat saya mengikuti perkuliahan di Nanyang Technological Universtity di Singapore untuk kelas post graduate, salah seorang dosen senior saat memberikan perkuliahan umum mewanti-wanti agar setiap mahasiswa untuk tidak…. tidak…. dan tidak…. menjadi plagiator dalam hal menyusun paper atau tugas kuliah. Karena pihak universitas NTU memiliki software pelacak plagiat. Mendengar hal ini beberapa rekan saya ‘jiper’…. salah seorang rekan saya menjadi kutu buku dadakan, salah seorang lainnya menjadi anak perpustakaan, dan yang sangat miris adalah salah seorang rekan saya dari utusan militer harus ‘angkat koper’ karena ketatnya sistem pembelajaran dan pembuatan tugas-tugas kuliah yang membuatnya stress duluan.
Hari ini, kami membicarakan kasus dugaan plagiat yang dilakukan oleh salah seorang professor di Universitas Tirtayasa di salah satu pojok kantin Universitas Indonesia. Kami semua menjadi terdiam dan terpaku…. Membayangkan wajah sang professor yang sampai hari kelima dari munculnya aksi gugatan di milis dan facebook seputar aksi plagiat tersebut. Saya membayangkan aksi gentleman seorang professor di Universitas Parahiyangan yang beberapa hari kemarin meminta maaf atas kasus plagiat yang dilakukanya di Koran The Jakarta Post dan pihak redaksi Jakarta Post juga telah mencabut dan meminta maaf atas termuatnya artikel sang professor dari Bandung tersebut yang menurut pihak redaksi sangat memalukan…. Tinggal kini keberanian media massa di Banten dan civitas akademika di Untirta menyikapi hal ini.
Rekan saya di Kyoto University mengomentari kejadian ini dengan membandingkan kejadian serupa yang pernah terjadi di Jepang. Kata beliau, di Jepang pernah terjadi kasus plagiat. Salah seorang pelaku plagiat meminta maaf dan mengundurkan diri dari kampus…. dan salah seorang lagi pelaku plagiat melakukan aksi bunuh diri untuk menutupi rasa malunya. Saya merinding membandingkan aksi professor di Jepang dengan di Banten…. Aksi professor di Parahiyangan selaku ‘pelaku plagiat’ yang meminta maaf minggu kemarin adalah salah satu aksi simpatik…. tidak mencari-cari alasan dengan beribu alasan lain yang dikemukakannya. Karena kebohongan yang dikemukakan untuk menutupi kebohongan akan menciptakan kebohongan yang lebih besar.
Kiranya para mahasiswa dan masyarakat pembaca koran sudah mahfum…. Teman saya diujung sana berteriak lantang….. Ini Banten Bung!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar