Rabu, 24 Agustus 2011

TKW dan kisah yang kesekian kalinya (Surat Terbuka untuk Jumhur Hidayat)


Malam kemarin, beberapa pesan singkat masuk kedalam BBM saya menceritakan tentang kisah kepiluan seorang TKW dari Malaysia yang diperas saat tiba dari Kuala Lumpur di Bandara Soekarno-Hatta. Pesan tersebut terkirim dari sahabat saya yang menetap di Kuala Lumpur yang kebetulan tinggal bertetangga dengan majikan sang TKW. Ternyata isi pesan tersebut bersumber dari majikan warga negara Malaysia yang galau karena TKW tersebut menelpon dari bandara Soekarno-Hatta di Jakarta meminta petunjuk dan arahan kepada sang majikan karena sang TKW sudah tertahan lebih dari 3 jam dan dimintai uang sebesar 2 juta rupiah untuk dapat lolos dari perasan oknum di terminal kedatangan Internasional Soekarno-Hatta tersebut. Pesan tersebut baru saya baca sekitar pukul sepuluh malam setelah sholat taraweh dan saat itu saya sedang berada di Kecamatan Baros Kabupaten Serang Provinsi Banten.


Agak panik juga saya ketika membaca isi pesan tersebut dan berlanjut hingga teman saya meminta nomer telepon untuk diberikan kepada rekan beliau yang juga adalah majikan TKW tersebut. Sampai saat majikan tersebut menelpon saya untuk meminta bantuan agar pembantu beliau dapat segera pulang ke kampungnya di Krawang, Jawa Barat dengan meng-cross check kondisi di Bandara. Sang majikan gelisah karena komunikasi terakhir antara dirinya dengan sang pembantu terjadi sekitar pukul 6 waktu Malaysia atau sekitar 5 sore waktu Jakarta. Setelah sang pembantu menceritakan kisah pemerasan tersebut komunikasi sudah tidak bisa tersambung lagi, hingga akhirnya sang majikan mengontak rekan-rekannya orang Indonesia yang tinggal berdekatan dengan rumah beliau di Kuala Lumpur untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut.


Segala upaya saya lakukan agar pencarian informasi seputar TKW tersebut dapat terlacak. Pertama kali saya menghubungi teman saya yang bekerja di Bea Cukai Soekarno-Hatta dan menceritakan kondisi riil seperti diceritakan oleh majikan TKW tersebut, hingga akhirnya beliau memberikan nomer kontak pihak imigrasi di Bandara Soekarno-Hatta untuk cross check data record kedatangan sang TKW. Namun karena kondisi malam kemarin sudah larut, semua nomer telepon call centre imigrasi tidak ada yang mengangkat. Semua rekan wartawan, baik cetak maupun TV yang bertugas di sekitar Tangerang dan Jakarta saya hubungi untuk mencari informasi seputar informasi sang TKW yang bernama Sumarni. Namun hingga pukul 2 dini hari info seputar Sumarni masih nihil.


Pencarian informasi akhirnya dilanjutkan besok pagi, saya sengaja mengajak rekan wartawan lokal dari Banten agar dapat lebih mudah masuk dan keluar bandara. Dan alhasil baru siang harinya kami baru bisa berkunjung ke kantor BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) di Terminal 4 Bandara Soekarno-Hatta yang memang lokasinya sangat jauh dari terminal 1, 2 ataupun terminal 3. Hal ini dikarenakan lokasi Termianal 4 terletak diluar kawasan bandara, karena jika orang umum ingin berkunjung kelokasi ini harus keluar terlebih dahulu melalui pintu M-1 dibelakang bandara, tepatnya dikawasan Selapajang, Tangerang.


Siang kemarin kami diterima oleh Pak Sukidjan selaku kepala operasional yang sedang bertugas. Oleh beliau kami diberikan data seputar TKW yang bernama Sumarni. Data ini lebih cepat dilacak karena majikan Sumarni memberikan nomer passport pembantunya kepada saya yang akhirnya memudahkan penelusuran data tersebut. Menurut catatan dari data yang tersimpan dalam hasil print out kedatangan di kantor BNP2TKI Terminal 4, bahwa Sumarni tiba di Terminal 4 pukul 16.15 WIB dan berangkat dengan angkutan Damri dengan tujuan Krawang pada pukul 16.49 WIB. Ada selang waktu sekitar dua jam lebih dari waktu saat kedatangan di Terminal 2. Namun para petugas di bandara, baik di terminal 2 maupun terminal 4 tidak tahu menahu perihal kasus pemerasan yang menimpa Sumarni.


Saat kami mencoba melacak alamat Sumarni di Krawang yang tertera dalam print out data TKW alamat jelas tidak tertera, hanya ada nama kampung dan kabupaten tanpa kecamatan dan nomer rumah. Akhirnya saya hanya bisa berkirim informasi dengan sang majikan dan rekan saya di Kuala Lumpur dan berharap Sumarni selamat sampai tujuan di kampungnya.


Beberapa saat setelah saya berpamitan dengan Pak Sukidjan datang seorang berperawakan tegap tidak lain adalah kepala BNP2TKI Terminal 4, yaitu Bapak Rolly Laheba. Saya berpamitan sekalian meminta izin memotret kawasan disekitar ruang tunggu TKI yang banyak terdapat TKW menunggu mobil jemputan untuk mengantar mereka ke kampung halaman.


Disela-sela memotret kawasan sekitar ruang tunggu, saya menyempatkan mengobrol dengan beberapa TKW yang malu-malu dipotret dan berpesan “mohon jangan dimasukkan ke koran dan tivi ya Pak”. Saya berdiaalog dengan beberapa diantara mereka, ada Cicih yang bekerja di Singapura berasal dari Pasar Kemis di Tangerang yang sudah menunggu lebih dari lima jam namun belum juga diantar kekampungnya yang masih berlokasi di Tangerang. Ada pula Dewi asal Ciamis yang bekerja di Saudi sudah habis 500 real untuk pengurusan porter dan administrasi yang tidak diketahuinya. Beliau sudah menunggu lebih dari 4 jam, namun belum juga ada jemputan. Sementara yang lainnya, Ida yang bekerja di Yordania berasal dari Indramayu yang sudah menunggu lebih dari dua belas jam namun belum juga ada jemputan yang mengantar ke kampungnya.


Lidah ini tiba-tiba kelu mendengar keluh kesah mereka, yang berbalik seratus delapan puluh derajat dari penjelasan Pak Sukidjan yang menjelaskan jika para TKI yang berada di Terminal 4 tidak akan berlama-lama menunggu jemputan ke kampungnya..???


Tiba-tiba dua orang satpam memanggil saya dan rekan wartawan dari media lokal agar segera meninggalkan lokasi ruang tunggu, karena izin kami masuk ke area tersebut hanya untuk memotret dan bukan untuk wawancara.


Kiranya, bagi Pak Jumhur Hidayat kepala BNP2TKI, mbak Dita Indah Sari yang menjadi staff ahli menakertrans dan Pak Muhaimin Iskandar selaku menakertrans, sudilah sekali-sekali mampir ke Terminal 4, mungkin harus menyamar menjadi TKI atau TKW, merasakan bagaimana menunggu dalam waktu yang cukup lama dengan segala permasalahan yang terjadi tanpa harus menunggu laporan dari bawahan, karena cerita-cerita miring seputar pemerasan dan lamanya waktu tunggu di Terminal 4 bukanlah isapan jempol belaka...

Sabtu, 23 April 2011

"Tuntutlah Ilmu" Hingga ke Pamarayan


Pamarayan, sebuah kota kecamatan yang terletak di Kabupaten Serang Provinsi Banten memang tidak memiliki hal yang dapat dibanggakan kecuali adanya Bendung Air Pamarayan yang dibangun pada zaman penjajahan Belanda yang kini fungsinya telah digantikan oleh bendungan air baru yang dibangun pada zaman orde baru.

Bendung air peninggalan Belanda tersebut yang letaknya beberapa ratus meter dihilir bendung air baru, saat ini kondisinya nyaris tidak terawat dan dipenuhi oleh kegiatan vandalisme dan beberapa gubug kaki lima yang tentu saja mengotori pemandangan bagi orang yang sengaja ingin menikmati salah satu obyek wisata yang menjadi destinsi wisata yang dimasukkan oleh dinas pariwisata Kabupaten Serang. Namun lagi-lagi obyek wisata tersebut nyaris tidak terawat kalau tidak dikatakan kumuh. Kali ini saya tidak akan mengomentari banyak tentang Bendung Pamarayan, karena kedua bendungan tersebut tentu saja sudah ada dinas terkait yang mengurusnya...?

Jujur saja, saya pertama kali berkunjung ke Pamarayan pertama kali sekitar akhir 90-an saat hinggar reformasi menjadi euforia di negeri ini. Ketika saya berkunjung kembali pada awal tahun ini, saya bersama Gabriel dan dua rekan beliau Gorka dan Mika dari Prancis. Awalnya saya heran kenapa mereka tidak tertarik berkunjung ke Bendung Air Pamarayan, namun memilih menginap di Kampung Ranca Lame di Desa Wirana. Mereka dari Prancis khusus ingin belajar Pencak Silat kepada Abah Juhro, salah seorang warga kampung di desa tersebut yang menjadi pimpinan Peguron (perguruan) Pencak Silat Pusaka Medal. Pada kunjungan kali ini, saya menganggap bahwa mereka pasti hanya ingin sekedar melihat perguruan silat tidak lebih dari sekedar dari kunjungan wisata biasa.

Beberapa minggu kemudian, tepatnya jum’at yang lalu saya kembali dikontak oleh rekan saya Gabriel, seorang warga Prancis yang sedang menyelesaikan studi S-3 di Banten. Beliau mengirimkan kabar bahwa akan datangnya dua rekan beliau dari Prancis, Cyril dan Fanny yang akan berkunjung ke Ranca Lame. Keingintahuan saya, kembali mencuat dan ingin mengetahui lebih tentang Ranca Lame, hingga pada saat saya mengantar ‘tamu’ saya tersebut sengaja saya tidak langsung pulang kembali ke Serang, tapi sengaja menunggu waktu malam tiba untuk melihat secara langsung kegiatan Peguron Pusaka Medal hingga bisa menarik warga Prancis untuk datang berkunjung.

Keseharian Abah Juhro terlihat sangat sederhana dan seperti kebanyakan warga kampung lainnya, yaitu bertani dan beternak. Setiap pagi ia pergi ke sawah dan pulang saat petang sambil menggembala kerbau. Begitu pula dengan kondisi rumah beliau yang terlihat sederhana seperti kebanyakan kondisi rumah lainnya dikampung ini. Secara otomatis, saat para tamu Prancis tersebut harus tinggal di rumah Abah Juhro, mereka harus menerima apa adanya segala keterbatasan yang harus mereka terima selama tinggal beberapa hari di kampung ini. Harus siap dengan listrik yang byar pet alias lebih sering mati dibanding menyala, harus siap dengan kondisi infrastuktur jalan yang tidak lebih baik dari kubangan serta menu makan yang harus dapat diterima lidah Eropa, walau terkadang harus merem-melek saat dicerna...

Selepas sholat Isya, latihan pencak silat sudah dimulai dengan beberapa anak-anak kampung yang berkumpul dan memperagakan jurus-jurus indah berupa gabungan ilmu bela diri dan seni tari. Tak lama berselang, Gabriel, Chloe, Cyril dan Fanny secara bergantian melakukan atraksi pencak silat yang ternyata sudah sangat mahir diperagakannya. Saya berdecak kagum, tidak lain karena seni bela diri Pencak Silat ternyata juga digemari dan ‘dilestarikan’ oleh warga Prancis.

Selepas latihan pada pukul 02.00 dini hari, saya sempatkan mengobrol dengan Cyril dan Gabriel yang menceritakan perkembangan pencak silat di Prancis yang katanya sudah ada sekitar 10 perguruan yang tersebar di Prancis. Peguron Pusaka Medal memiliki cabang di Belgia dan Maroko dengan pusat Eropa di Prancis dengan guru Gorka sebagai pelatih utama dan telah beberapa kali tampil hingga ke Rusia dan beberapa negara Eropa lainnya. Pengalaman Cyril yang mantan anggota angkatan bersenjata Prancis dan mengambil pensiun muda yang telah ‘berguru’ juga ke Thailand dengan Thai Boxing-nya justru saat ini katanya tertarik sejak 7 tahun lalu dengan Pencak Silat. Saya semakin penasaran untuk bertukar pikiran sampai hidangan nasi goreng datang dihidangkan kepada kami oleh anak-anak muda Kampung Ranca Lame yang menjadi murid Abah Juhro. Satu nasehat Abah, bahwa orang yang memiliki ilmu pencak silat hendaknya tidak digunakan untuk hal-hal yang merugikan diri sendiri apalagi merugikan orang lain.

Malam itu, ketika rintik hujan turun disertai petir dan listrik yang mati-nyala, kami terlelap hingga adzan subuh membangunkan kami dengan mata yang terasa berat. Saya memandangi pilar-pilar bambu yang menjadi pagar rumah Abah Juhro disubuh itu, saya membayangkan kalau ketenaran dan kedigdayaan jurus silat Abah Juhro mampu menembus batas negara dan ‘memaksa’ para saudara Prancis tertarik untuk datang sekedar berlatih dan bertukar pikiran tentang pencak silat. Tak ada salahnya kalau adigium “Tuntutlh ilmu hingga ke pamarayan” tidaklah salah kiranya.

Satu harapan saya, kiranya seni bela diri Pencak Silat tidak hilang dari bumi pertiwi. Adakah kiranya muatan lokal untuk mata pelajaran di sekolah dasar dapat dimasukkan mata pelajaran pencak silat agar dapat diajarkan agar seni budaya asli negeri ini tidak hilang, minimal untuk tingkat Provinsi Banten.... Wallahu’alam.

Jumat, 15 April 2011

MENJADI MISKIN, SIAPA MAU…?


Pastinya tidak ada satu orangpun yang ingin menjadi miskin didunia ini. Namun bila semua daya upaya telah dilakukan dan nasib hidup tidak juga berubah, maka ikhlas menerima kondisi kemiskinan adalah salah satu cara terbaik menyikapi kehidupan. Hal ini ditunjukkan oleh Aksanah (45 tahun) yang bertempat tinggal di Kampung Ranca Kaero Desa Sinar Mukti Kecamatan Baros, Kabupaten Serang-Provinsi Banten. Nenek beranak empat ini masih harus mengurus seorang cucunya, Fadli (8 bulan) yang telah menjadi piatu karena ibunya meninggal satu bulan lalu akibat sakit yang dideritanya.

Nenek Aksanah sudah sepuluh hari menginap di ruang Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Serang menjaga cucu beliau yang sedang dirawat karena Gizi Buruk. Menurut Aksanah, sejak ibunya Fadli yang tidak lain adalah anak pertama beliau meninggal sebulan lalu, tanggung jawab pengurusan Fadli berada dipundak kakek dan neneknya, karena ayah Fadli masih mencari kerja di Jakarta. “Saya mencoba mengerti kesulitan ayah anak ini, karena memang katanya masih mencari pekerjaan di Jakarta dan untuk menengok anaknya yang dirawat di RSUD belum punya ongkos untuk pulang ke Serang”. Padahal, Aksanah sendiri masih memiliki seorang bayi yang berusia Sembilan bulan dirumahnya yang saat ini dirawat oleh suaminya yang sehari-hari bekerja sebagai buruh serabutan.

Melihat kondisi Aksanah dan keluarganya masih tergolong beruntung, karena sebagai warga Kabupaten Serang, ia dan keluarganya dijamin dalam program Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) yang mana untuk penyakit tertentu seluruh biaya perawatan dan obat ditanggung oleh pemerintah, tinggal ia sedikit memutar otak mencari dana untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari yang ia tinggalkan dirumah, karena sang suami saat ini tidak bisa bekerja karena harus mengurus ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. “Saya ingin cepat pulang Pak, karena biaya hidup di RSUD cukup mahal, saya harus membeli makanan selama disini karena pihak RSUD tidak menyiapkan makanan bagi penunggu pasien” ungkapan Aksanah sedikit memelas. Aksanah menambahkan kemarin ada ‘petinggi’ dari Kabupaten yang datang menengok dan membawa dua bungkus susu SGM.

Sementara itu, nasib lebih buruk dialami oleh Jamil (28 tahun) warga Kebon Baru, Desa Sawah Luhur, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Setelah empat kali pulang-pergi ke RSUD Serang, ia harus menerima kenyataan pahit, karena tidak memiliki Jamkesda, mengakibatkan Evi Aprilia (4 tahun), meninggal dunia akibat menderita Gizi Buruk selama dua tahun. Sebelum meninggal di rumahnya hari ahad 10 April, Evi anak ke empat dari pasangan Jamil dan Titik Fatmawati ini, sempat di bawa ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kilasah, Sawah Luhur, yang lokasinya tidak jauh dari kediamannya, namun karena tidak memiliki biaya Evi terpaksa kembali dibawa pulang.

Selain di bawa berobat ke puskesmas, menurut Jamil, Evi juga pernah dibawa ke RSUD Serang, sesuai rujukan pihak puskesmas. Namun, karena keterbatasan biaya bapak empat anak yang setiap hari bekerja sebagai buruh tani dan tukang rongsokan ini kembali membawa pulang anaknya. “Saya sudah beberapa kali ke RSUD, hanya saja saya tidak memiliki Jamkesda, terpaksa anak saya tidak di rawat, karena kalau tetap di rawat saya tidak memiliki biaya perawatan,” tutur Jamil saat ditemui di kediamannya, kamis (14/4).

Jamil menceritakan, selama dua tahun anaknya menderita gizi buruk, dirinya hanya pasrah dan beberapa kali membawanya ke Puskesmas dengan harapan adanya perubahan dari kesehatan anaknya namun nasib berkata lain sampai akhirnya anak bungsunya tersebut harus meninggal dunia, ujar suami yang ditinggal istrinya jadi TKW ke Arab Saudi. “Kalau dulu saya masih agak mending bisa ngurus empat anak bersama istri, tapi sekarang istri saya bekerja di Arab jadi TKW, sedangkan uang kiriman istri dari Arab masih dipakai membayar hutang keluarga sebagai ongkos pemberangkatan istrinya menjadi TKW” ujar Jamil sambil menahan tangis.

Melihat kehidupan para ‘kaum kecil’ hati ini sedikit terusik, sampai siang tadi ada sms masuk dari rekan wartawan muda yang menginformasikan kondisi Fadli salah seorang pasien gizi buruk yang masih tergolek lemas di salah satu ranjang rumah sakit. Namun siang tadi saya masih di bandara dan baru mala mini bisa menengok kondisi pasien gizi buruk yang diinformasikan rekan saya siang tadi.

Tentunya kalaulah hidup ini boleh memilih, pastinya Fadli lebih memilih terlahir dari rahim sorang ibu yang memiliki harta, dari golongan kaum berpunya. Tentunya jika dapat memilih, tentunya Fadli tidak ingin dirawat di rumah sakit dengan kondisi panas tanpa penyejuk udara dan harus berbagi ruang dengan beberapa pasien lainnya yang juga sama-sama miskin.

Dalam rekening tabungan saya hari ini, ada titipan sahabat dari masyarakat Indonesia di Kuala Lumpur yang menitipkan dana zakat, infaq dan shodakohnya pada saya, malam tadi sedikit saya belikan susu formula gold yang saya pikir labih baik dari susu SGM pemberian petinggi kabupaten walaupun tidak sebaik ASI, sedikit saya belikan biskuit bayi, satu lembar handuk, seperangkat perlengkapan mandi bayi dan beberapa lembar uang tunai untuk sekedar membeli makanan sehari-hari bagi sang nenek yang setia menunggui cucunya dalam segala keterbatasan. Hingga saat saya hendak keluar dari bangsal rumah sakit malam ini, tangan saya dicium oleh sang nenek dan mengucapkan beribu terima kasih. Saya katakan padanya, bahwa titipan itu bukan dari saya tapi dari teman-teman diluar negeri. Saya menuruni lantai tiga rumah sakit dengan menahan tangis…. Bukan karena saya sedih terharu, tapi saya begitu geram dengan kemewahan para petinggi kita selaku ‘pelayan masyarakat’.

Saya sudah puluhan kali menjadi guide mengantar anggota DPRD kunjungan kerja, beberapa kali mengantar bupati dan wakil bupati kunjungan kerja, beberapa kali mengantar Sekda, Asda dan beberapa kepala dinas kunjungan kerja…. Saya sedih dan sangat sedih melihat kemewahan yang mereka minta saat kunjungan kerja, katanya itu adalah hak mereka selaku pejabat publik dan dana untuk itu memang tersedia…. Maaf, sudah memasuki tahun ketiga saya sudah tidak lagi menjadi guide bagi mereka… cukup lakon ‘dua dunia’ saya jalani…. Saya tidak bisa membayangkan seorang anak manusia harus mati karena tidak memiliki kartu jamkesda dengan alasan beda wilayah administratif antara Kota Serang dan Kabupaten Serang…??? Entah apa kerja para petinggi kita..? dan lagi-lagi para wakil rakyat hanya bisa marah-marah terhadap dinas terkait saat kematian karena gizi buruk sudah terjadi, dan ini sudah kejadian yang entah keberapa kali…?

Menjadi warga miskin adalah takdir yang harus diterima. Benar kata Marzuki Ali selaku ketua DPR RI, bahwa pola hidup anggota DPR dan masyarakat biasa harus dibedakan karena memang berbeda….. dipihak lain, sahabat saya Major (setingkat walikota) di Singapura harus terheran-heran melihat kediaman dan kendaraan pribadi milik bupati, walikota dan gubernur di Banten, saat beliau berkunjung ke Banten sekitar tiga tahun lalu…..

Seandainya bisa memilih, tentunya pilihan MISKIN adalah pilihan kesekian setelah kesejahteraan sudah begitu sulit dicapai. Saya baru saja dapat kiriman surat dari rekan yang bekerja disalah satu lembaga sosial di Jakarta yang mendapat kiriman surat dari mantan pasiennya…. Menceritakan bahwa keluarga itu pernah hampir melakukan percobaan bunuh diri karena kesulitan hidup yang dideritanya. Berita tentang bunuh diri karena himpitan ekonomi beberap kali muncul menghiasi pemberitaan koran di negeri ini, ditengah gencarnya kehidupan mewah para pejabat, baik eksekutif maupun legislatif…. Wallahu’alam.

Rabu, 02 Februari 2011

MEMANG SUNGGUH-SUNGGUH SUSAH DAN MENDERITA JADI ORANG MISKIN (Catatan Kecil Tentang Gizi Buruk)


Siang kemarin, isteri saya menceritakan via telepon ketika saya sedang berada di kantor bahwa baru saja temannya menceritakan kegelisahan yang dihadapi tetangganya akan penderitaan dan sulitnya berurusan dengan birokrasi pemerintahan terkait kondisi anaknya yang harus dirawat di RSUD (rumah sakit umum daerah) Serang, Banten – Indonesia..... ya masih di Indonesia, jadi segala permasalahan terkait sulitnya mengurus surat-surat di birokrasi memang sungguh luaaaaarrrr binasa. Ya, saya katakan sungguh luaaaar binasa, karena telah hilangnya (binasa) rasa empati dan simpati diantara sesama anak negeri.

Teman isteri saya berkeluh kesah tentang pengalaman beliau berurusan dengan pihak RSUD Serang yang awalnya menolak pasien gizi buruk yang terinfeksi radang paru yang dibawa oleh teman isteri tersebut. Hari jum’at lalu ia membawa keluarga tersebut ke RSUD Serang untuk mendapatkan perawatan bagi anak tetangganya, karena di puskesmas katanya sudah angkat tangan dan harus dirawat di Rumah Sakit. Saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat) dokter yang memeriksa saat itu menyarankan untuk mengurus surat Jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat) agar dapat digratiskan pembiayaannya karena memang kehidupannya tidak mampu. Segera ayah sang anak mengurusnya mulai dari RT, RW, Lurah hingga kantor kecamatan dan minta pengesahan dari puskesmas dan Dinas Kesehatan setempat. Namun setibanya di RSUD, surat rekomendasi tidak diterima oleh pihak RSUD karena katanya pasien harus membawa SKTM (surat keterangan tidak mampu) karena beda domisili dengan status RSUD...? awalnya saya heran mendengar cerita ini, karena beda apanya..? karena masih dalam satu wilayah SERANG Provinsi Banten, INDONESIA.

Namun saya baru paham, ketika menelisik sedikit demi sedikit saat berdiskusi dengan rekan saya salah seorang wartawan harian di Banten. Bahwa surat Jamkesmas tidak berlaku bagi pemegang KTP (kartu tanda penduduk) di Kota Serang yang ingin mendapatkan biaya pengobatan gratis, alasannya RSUD dimiliki oleh Pemerintah KABUPATEN SERANG dan bukan Pemerintah KOTA SERANG, jadi intinya RSUD hanya meng-cover warga Kabupaten Serang saja... TITIK. Salah seorang staff yang bertugas saat itu di RSUD menyarankan agar orang tua pasien segera mengurus SKTM agar dapat diproses. Namun orang tua pasien yang tidak tahu menahu jadi bulan-bulanan semrawutnya jalur komunikasi dan birokrasi di Banten. Sesampainya di Kantor Dinas Kesehatan Serang, malah disarankan ke Dinas Sosial, karena katanya jatah SKTM harus diurus di Dinas Sosial, karena jatah (quota) di tahun 2010 di Kota Serang sudah habis sedangkan untuk tahun 2011 belum ada anggaran..???? huffff.

Dengan pasrah, orng tua pasien yang sehari-hari berprofesi sebagai supir angkot dengan penghasilan sekitar 10.000 sampai 20.000/hari harus pontang-panting dan kembali ke RSUD dengan tangan kosong..... dan lagi-lagi bagian administrasi RSUD menolak anaknya.... weleh-weleh prikitiw preketew. Dengan sedikit menahan raasa malu, akhirnya keluarga pasien meminta tolong dengan rekan saya tersebut untuk meminjam uang agar anaknya dapat dirawat di RSUD. Rekan saya dengan tulus tentunya memberikan pinjaman agar anak tetangganya tersebut dapat dirawat. Namun permasalahan belum selesai sampai disini, karena saat uang telah ditangan, ternyata kamar untuk perawatan kelas 3 (satu ruangan diisi enam sampai sepuluh pasien tanpa kipas angin apalagi AC) sedang full dan harus menunggu. Dengan terpaksa akhirnya keluarga ini harus menginapkan anaknya di bangsal IGD RSUD Serang, baru pada hari kedua anaknya dapat masuk kamar kelas tiga. Ternyata untuk mendapatkan kesembuhan bagi ‘orang kecil’ tidaklah mudah.

Selama enam hari perawatan tentunya, setiap menebus obat orang tua sang anak harus berpikir keras dan terkadang tidak menebusnya karena ketiadaan dana. Hingga siang kemarin teman isteri saya menceritakannya pada saya.... awalnya saya mengira yang dirawat di RSUD hanya satu pasien.... ternyata ada empat pasien gizi buruk dengan latar belakang yang nyaris sama dengan kondisi keluarga tersebut. Beragam cerita akhirnya mengalir. Muklis (25tahun) yang sehari-hari berprofesi sebagai supir angkot dan beristerikan Nurhasanah (20tahun) merasa sudah putus harapannya ketika memasukkan anaknya ke RSUD dan ditolak memakai Jamkesmas dan bahkan masih kepikiran bagaimana harus keluar rumah sakit kelak dengan biaya tagihan rumah sakit bila tidak memakai Jamkesmas.

Lain lagi kisah Saniman (27tahun) yang sehari-hari bekerja menjadi buruh kasar di pabrik kecap dengan penghasilan 140.000/minggu beristrikan Halimah (20tahun) harus memutar otak karena saat memasukkan anaknya ke RSUD ia meminjam uang tetangga dan saudaranya. Padahal sudah dua minggu anaknya dirawat di RSUD, karena Jamkesmas dari Kota Serang katanya tidak diterima di RSUD Kabupaten Serang. Padahal letak RSUD Serang ada ditengah-tengah Kota Serang...? Ternyata pemekaran wilayah yang digembor-gemborkan akan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat jauh panggang dari api, karena awalnya Kota Serang adalah hasil pemekaran wilayah dari Kabupaten Serang.

Cerita ini tidaklah berhenti sampai disini, karena siang kemrin saya menghubungi rekan saya yang wartawan untuk sama-sama mencari jalan keluar.... dan ternyata beliau mencoba menghubungi ‘para petinggi’ di Kabupaten Serang via telpon dan sms, dan ternyata jurus tersebut sangat ampuh, tidak dalam hitungan jam, bahkan ketika kami masih dalam ruangan RSUD ditengah-tengah pasien gizi buruk, tiba-tiba datang perawat yang mengatakan bahwa semua pasien gizi buruk ditanggung oleh RSUD...? weleh-weleh.... namun yang ditanggung hanya rawat inap dan beberapa jenis obat saja, karena beberapa item obat dan tindakan medis tidak dalam tanggungan RSUD, seperti CT Scan, Rontgen, dan beberapa obat lainnya. Apalagi ongkos dan biaya hidup para orang tua pasien yang harus stand by disisi anaknya selama di rumah sakit, sama sekali tidak ditanggung pemerintah. Alhamdulillah, ketika saya menulis artikel ini, beberapa sahabat saya yang tinggal dan bekerja di Malaysia dan Timur Tengah dengan antusias dan penuh perhatian terhadap saudara-saudaranya yang sedang ditimpa musibah langsung merespon dengan mentrasnfer dana..... semoga amal ibadahnya dibalas oleh Yang Maha Kuasa.

Begitu sulitnya menjadi orang miskin.... sangat sulit bahkan, apalagi dengan pendidikan rendah yang tidak mengetahui apa-apa tentang birokrasi yang memang sudah berbelit-belit ditambah ketidakpedulian para pejabat, baik dieksekutif maupun legislatif...?

Saya menulis artikel ini bukanlah mencari siapa yang salah, namun hanya menumpahkan kekesalan bahwa suatu urusan yang sebenarnya dapat dengan mudah diselesaikan, tapi dalam kenyataannya tidak semudah membalik telapan tangan, saya membayangkan para orang tua pasien gizi buruk atau penyakit apapun jika orang tua mereka tidak mampu dan tidak punya koneksi kepada ‘para petinggi’ mungkin tinggal menunggu percepatan mati.... Indonesia, I Luv U Full.
(www.bantenkini.blogspot.com)

Serang, 3 Februari 2011