Senin, 26 April 2010

TOLONG JANGAN AJARI KAMI UNTUK KORUPSI…


Kemarin siang saya mengajak keluarga untuk menonton film “Alangkah Lucunya Negeri ini”…. Sebuah film satir yang menggambarkan kondisi riil masyarakat Indonesia saat ini. Cerita tentang Indonesia mini tersaji, mulai dari sarjana yang pengangguran, lakon yang keranjingan ikut kuis berhadiah, aktor partai politik dengan ragam dan lenggak-lenggoknya hingga aksi para pencopet jalanan yang memang nyata di Ibu Kota Jakarta. Film berdurasi 90 menit itu terasa sangat pendek namun memberikan arti mendalam. Anak saya Ghifar yang masih berusia 8 tahun, sampai menangis diakhir penayangan film, ia sesegukan melihat ending film yang dibuat menggantung oleh Dedy Mizwar yang menggambarkan sulitnya mencari nafkah secara halal.

Saya merasakan kok banyak persinggungan yang mirip-mirip dengan yang saya jalani selama ini. Terbayang wajah rekan-rekan saya yang lulusan S1 yang masih menganggur, senior saya yang digambarkan dalam lakon aktor politik, keseriusan pemerintah dalam mengurus rakyatnya hingga kelakuan para pencopet yang meregang nyawa dan kalah pamor oleh koruptor… ya, koruptor yang beberapa tahun belakangan ini sangat popular layaknya artis dalam serial sinetron.

Saya menarik garis lurus dengan dunia kerja saya yang mengharuskan bepergian keluar kota hingga keluar negeri bahkan menelusuri rimba pedalaman Baduy dan Ujung Kulon sampai ke Pulau Weh di Aceh dan pesisir Bunaken, menyebabkan saya sering berinteraksi dengan beragam orang yang memiliki latar belakang, profesi dan pendidikan yang berbeda. Kadang malam ini saya makan dengan anggota parlemen, besok bisa minum kopi dengan para pengamen jalanan. Kadang pagi ini masih terlelap diatas ranjang Novotel, tapi besok sudah harus merasakan tikar kasar Suku Baduy Dalam. Bahkan tidak jarang harus mengangkat koper milik komisaris PT. X dan besok ransel saya dipikul oleh porter di Rinjani.

Ragam pengalaman yang saya rasakan adalah konsekuensi dari tuntutan pekerjaan dalam dunia traveler. Saya bisa merasakan empuknya kursi kelas bisnis dalam maskapai nasional walaupun tiket dalam genggaman adalah kelas ekonomi karena pilot yang menerbangkannya dulu pernah satu kantor…. Hehehe. Atau terkadang harus duduk berhimpitan dalam mobil ELF empat orang dalam barisan depan bersama pak supir pada rute ke Bayah, Palopo atau Agam.

Ragam cerita yang saya terima kadang bertolak belakang dengan realita kehidupan masyarakat Indonesia. Rekan saya seorang Menteri Besar di Negara Bagian Selangor-Malaysia pernah berseloroh bahwa Indonesia adalah “Guru” daripada Malaysia. Baru minggu kemarin, saat saya makan malam dengan seorang mantan anggota parlemen senior di Singapura, beliau mengatakan Indonesia sudah cukup kaya untuk memakmurkan rakyatnya, tapi kenapa masih banyak yang miskin…?” Obrolan ini kami lakukan pada sebuah kedai makan milik seorang imigran asal Pakistan di Serangon Roan Little India.
Masih dalam lingkup minggu kemarin, saya beberapa kali mendapat tawaran mengelola pekerjaan dengan skala proyek ratusan juta sampai milyaran rupiah. Bagi pengusaha skala menengah atas mungkin nilai ini dianggap biasa. Tapi bagi saya pengusaha biasa-biasa saja, nilai ini cukup besar. Tapi saya harus melakukan penolakan atas tawaran ini. Bagaimana tidak…. Dari beberapa proyek tersebut, saya harus menyisihkan 20% - 40% untuk para pemberi proyek… hiiiiiiiiiiiiii.

Saya tidak habis berpikir, bagaimana mungkin mereka masih bisa tersenyum menawarkan nilai proyek tersebut sementara saya harus menyisihkan anggaran yang katanya memang sudah menjadi ‘budaya’ dalam birokrasi. Saya teringat rekan saya dulu dari salah satu departemen ‘basah’ di negeri ini. Beliau mendapat beasiswa di Singapura walaupun memang beda jurusan dengan saya di NTU. Beliau menggambarkan porsi yang harus di sisihkan dari setiap pinjaman luar negeri yang masuk ke Indonesia…. Edaaaan bener, jika kita tahu berapa nilai yang ‘tersisihkan’ dari setiap pinjaman luar negeri….. hiiiiiiii, bisa membuat ratusan sekolah dasar, bisa membuat jalan menjadi mulus walau untuk beberapa kilometer, bisa membuat tingkat kesejahteraan guru ‘agak’ terangkat…. dan lainnya.

Gila Lu…. Proyek segitu di tolak…!!! Itu cemohan yang saya terima siang tadi, dari rekan saya yang memang biasa menggarap proyek. Kata beliau, itu memang sudah biasa…. Dan tenang saja katanya, karena KPK tidak akan masuk kedalam proyek dibawah satu milyar…???? Wuiih, saya tambah pusing. Saya mengurut dada…. Film kemarin siang masih terbayang dalam ingatan, tentang bagaimana sulitnya mencari rejeki halal di negeri ini.

Bulan kemarin saya didatangi oleh Toni seorang TKI yang menjadi langganan di kantor saya, padahal nama sebetulnya adalah Rahmanudin… ia rubah panggilannya agar lebih keren katanya… hahahaha. Ia mengajak saya untuk terjun dalam bisnis mengirim TKI ke Malaysia Timur. Ia menggambarkan betapa perusahaan-perusahaan di Malaysia yang bergerak dalam bidang Kelapa Sawit dan pengolahan kayu membutuhkan ratusan hingga ribuan tenaga kerja dalam proyek ini. Dan ternyata ia sendiri sudah mengirimkan ratusan rekan-rekannya dari Sobang di Pandeglang menjadi TKI di Sabah dan Serawak.
Bulan kemarin saya seharian di Genting, kawasan wisata yang terkenal dengan pengelolaan perjudian dan pusat permainan keluarga di Malaysia. Rekan dari Serang sampai terheran-heran melihat betapa banyaknya pengunjung Genting Highland yang beragama Islam… ya, karena dari pakaiannya dan pola tingkah lakunya mereka dalam kelompok kecil menikmati aneka permainan layaknya Dunia Fantasi di Ancol. Namun yang menarik, 75% para pekerja di Genting berasal dari Indonesia…. Mulai dari cleaning service, para koki, para pekerja maintenance, dan lainnya. Saya sempatkan mengobrol dengan beberapa TKI yang menceritakan bahwa menjadi TKI adalah pilihan sulit yang harus ditempuh. Mereka bukanlah para pekerja professional yang dapat kembali minimal setahun sekali ke tanah air. Namun mereka harus menabung dua sampai lima tahun baru dapat kembali ke kampung halamannya.

Saya teringat kembali ending film ‘Alangkah Lucunya Negeri ini’… yang mana menjadi TKI adalah pilihan sulit namun harus dilakoni karena susahnya mencari kerja didalam negeri… apalagi mau menciptakan peluang kerja. Sogok sana dan sogok sini sudah menjadi tradisi. Dua minggu lalu, sahabat saya pusing tujuh keliling karena harus menyediakan ‘dana segar’ untuk melunasi tumbal adik sepupunya yang ternyata ada deal tertutup dengan salah satu oknum di salah satu kota di Banten. Ia uring-uringan ternyata adik sepupunya sesaat sebelum ikut tes CPNS telah membuat akad dengan salah satu oknum yang katanya mampu menggolkan menjadi PNS…. Dan setelah menjadi PNS, oknum tersebut mengejar-ngejar terusssssss…. Wuiiih, dan yang memalukan adalah oknum tersebut adalah perempuan… gileeee beneeer.

Selama seminggu ini, saya dalam kebimbangan yang luuuarrrrr biasa. Ajakan menerima proyek dan penolakan dalam hati begitu kuat… sampai saya menonton film ‘Betapa Lucunya Negeri ini’, saya mantap menolak segala proyek tersebut…… ya, saya punya satu keputusan, biar saja teman-teman mengatakan saya gila…. Teman-teman mengatakan saya sok suci… tapi hati ini tetap tidak tenang menerima proyek yang penuh ‘indikasi’ suap. Walaupun beberapa rekan yang lainnya mengatakan dapat ditarik kedalam fiqh ‘ghanimah’… hahahaha. Saya membolak-balik beberapa kitab kuning hingga enslikopedia Hukum Islam…. Tidak ada justifikasi untuk hal tersebut. Atau memang saya kolot menyikapi perubahan zaman yang terus berubah…..

Saya terbayang artikel beberapa tahun lalu tentang Mona Sahlin seorang politikus asal Swedia yang mundur dari pencalonan Perdana Menteri karena ketahuan membelikan puterinya sebatang cokelat seharga tidak lebih USD 20 (setara dengan 180ribu rupiah) dengan menggunakan kartu Riksdagnya, yaitu kartu debit dan kartu kredit yang dibiayai oleh pemerintah…. Weleh-weleh, 180 ribu…..

Atau sebuah berita tentang Huang Guanyu, seorang miliarder China yang merupakan pendiri toko elektronik terbesar kedua di China telah ditahan sejak bulan Januari tahun lalu yang ternyata ketahuan mendapatkan hasil kekayaannya dari korupsi dengan hasil patgulipat dalam bursa saham…. Ancaman hukuman mati sudah menanti didepan mata…. Hiiiii

Serta ada berita dari negeri antah berantah yang kita anggap negara terbelakang, Ghana… dua anggota senior pemerintah Ghana mengundurkan diri setelah tuduhan menerima suap dari satu perusahaan konstruksi internasional. Menteri Kesehatan George Sipa Yankey dan Menteri Negara Amadu Seidu meletakkan jabatan dengan tuduhan bahwa beberapa pejabat pemerintah menerima suap dari perusahaan jembatan Inggris, Mabey & Johnson antara 1993 dan 2001…. Hehehe

Saya hanya mencoba untuk melakukan dari yang terkecil…. Air mata anak saya tidak sanggup saya lihat ketika ia sendiri dengan geramnya melihat ketidakadilan dalam Tanah Air Indonesia yang tentunya ia cintai…. Indonesia, I Love U Fulllllll.

Kalau memang tradisi suap, sogok, ruswah, hadiah, ghanimah adalah tradisi yang telah terbentuk… ya Allah, tolong jauhkan dari keluarga kami, tolong jauhkan dari teman-teman dekat kami…. dan tolong jauhkan dari tradisi dan budaya kami…. Dan tolong ‘Jangan Ajari Kami untuk Korupsi’.

Setiap pagi dan sore di depan kantor saya, ada Ibu Aminudin penjual Bakso Ikan yang berkeliling Kota Serang dengan berjalan kaki untuk uang delapan ribu rupiah….. ada Aki penjual singkong yang harus berjualan kaki dari Palima sejauh 10 kilometer bolak-balik hanya untuk menjual singkong dan daunnya dalam menghidupi kesehariannya…. Atau ada Ucil seorang pemuda cacat yang setiap hari menjajakan Koran di perempatan Pisang Mas yang baru saja keluar dari Rumah Sakit karena mengidap Liver dan Thipus…. Huffffff, saya tidak dapat membayangkan wajah-wajah mereka…. untuk lembaran ribuan rupiah mereka harus berjibaku menghadapi pahit getirnya kehidupan.

Saya juga membayangkan beberapa rekan yang saat ini duduk di kursi legislatif dan eksekutif di negeri ini. Rumah di kawasan elit, mobil baru, jalan-jalan dengan alasan kunjungan kerja… dan tabungan yang terus menumpuk…. Wallahu’alam.

Senin, 05 April 2010

Gaji Guru Kita….. (sepenggal kisah tentang potret pendidikan)


Kemarin siang, sahabat saya seorang kyai muda di Kecamatan Sumur-Ujung Kulon menelpon memberikan kabar seputar pesantren yang dikelolanya. Saya mengenal beliau sekitar sepuluh tahun lalu sewaktu saya melakukan perjalanan backpacker ke Ujung Kulon, saat itu saya sempatkan mampir karena melihat masih adanya sebuah lembaga pendidikan di ujung pulau Jawa.

Kemarin ia ‘curhat’ seputar pesantren yang dikelolanya, bahwa pesantren yang diusulkan ke kantor departemen agama akhirnya diakui untuk dijadikan tsanawiyah (setingkat SMP) walaupun prosesnya memakan waktu lima tahun lebih. Ia begitu gembira menceritakan panjang lebar tentang keberhasilannya meyakinkan para pegawai di departemen agama Kabupaten Pandeglang. Namun diakhir cerita, ia mengharapkan ‘sedikit’ bantuan dari teman-teman… karena kebetulan saya pernah mengajak beberapa komunitas melakukan bakti sosial di pesantren beliau, terakhir saat saya masih bekerja di MCCI, kami dari pengurus Masjid Perusahaan melakukan pengobatan gratis dan pembagian buku serta alat tulis kepada para santri.

Ia hanya menitip pesan, jika ada teman Mas Arif yang kelebihan rezeki bisa dibagi sedikit ke Tsanawiyah beliau, karena saat ini muridnya baru 30 orang dan santri di pesantrennya sekitar 80. Saat ini sistem belajarnya masih belajar di lantai tanpa adanya bangku dan meja, hanya sebuah papan tulis yang dipakai bergantian dengan pesantren, hmm…. Saya katakan insya Allah, tapi saya harus ke pesantren beliau untuk mengambil foto dan mewawancarai beberapa santri untuk meyakinkan teman-teman.

Tadi siang, seorang sahabat saya mantan ketua organisasi mahasiswa di Banten berbicara lama dan berbagi pengalaman, sampai kepada topik tentang cerita pesantren di Ujung Kulon. Ia juga ‘curhat’ tentang istri beliau yang sudah enam bulan belum digaji oleh salah satu SMA swasta yang juga bergabung dengan pesantren di daerah Kramat Watu, Kabupaten Serang, padahal gaji setiap bulannya ‘tidak lebih dari seratus ribu rupiah. Alasannya sangat klasik, karena anak murid yang bersekolah disekolah tersebut sebagian besar adalah orang tidak mampu. Weleh-weleh…… Kata teman saya, kalau bukan karena semangat ‘perjuangan’ mungkin sudah lama pekerjaan mengajar itu ditinggalkan oleh istrinya.

Saya teringat dengan kekompakan teman-teman istri yang mengelola sebuah sekolah anak usia dini (setingkat TK/TPA) di daerah Cipocok. Dengan modal kebersamaan, mereka mengelola sekolah tersebut karena permintaan dari masyarakat terutama kaum perempuannya karena fasilitas sekolah untuk anak-anak tidak ada di daerah tersebut. Awalnya memang sekolah tersebut lancar, namun kabar terakhir yang saya dapatkan dari istri siang tadi, sekolah tersebut bulan ini belum menggaji guru-gurunya, padahal satu orang gurunya bergaji 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) perbulan dan kepala sekolahnya digaji 250.000,- karena merangkap sekalian dengan profesi guru.

Saya hanya bisa mengurut dada… karena melihat fenomena pendidikan kita yang seperti jalan di tempat dan hanya berpihak bagi mereka yang berpunya. Setelah beberapa hari lalu Mahkamah Konstitusi mengabulkan tuntutan masyarakat terhadap Badan Hukum Pendidikan (BHP) digugurkan. Mereka yang apatis dan pesimis hanya berucap peduli amat dengan terbitnya sebuah undang-undang, namun demikian sesungguhnya gugurnya undang-undang Badan Hukum Pendidikan adalah kemenangan rakyat. Padahal persoalannya sangat mendasar seperti akses pendidikan, tingginya angka putus sekolah dan minimnya sarana sekolah yang telah ditimbulkan dari terbitnya UU BHP.

Saya teringat perjalanan saya tiga tahun berturut-turut mengunjungi beberapa sekolah di Singapore, Malaysia dan Thailand dalam rangka tugas pendampingan. DI Singapore kami mengunjungi Yangzhen Primary School, sebuah sekolah negeri (sekelas inpres kalo di Indonesia) yang memberikan pelayanan pendidikan kelas wahid bagi ukuran rata-rata Indonesia. Di Malaysia kami mengunjungi Sekolah Kebangsaan Negara (setingkat SMP) di Kuala Lumpur yang rata-rata siswanya adalah masyarakat menengah bawah (beberapa siswa/i berasal dari Indonesia yang sudah mendapatkan resident card) dan di Thailand kami berkunjung ke Thai Rath Thai School (Setingkat SD) yang dimiliki oleh Bos media Thailand, sekolah ini memiliki jaringan lebih dari seratus sekolah yang menyebar rata di Thailand. Jika di Singapore dan Malaysia para siswa dan siswi masih harus bayar, walaupun sangat murah untuk ukuran negara tersebut, di Thailand semuanya gratis dan menanggungnya adalah Koran Thai Rat Thai… CSR yang berjalan baik. Fasilitas perpustakaan, lab, olah raga dan kegiatan eskulnya semua berjalan dan dapat dinikmati oleh para siswanya.

Saya kembali teringat kisah para guru yang ‘gagal’ gajian di Banten… kok masih bisa dan masih ada seperti itu… padahal katanya ada dana BOS, ada Bantuan Madrasah, ada alokasi APBD untuk gaji Guru Bantu di sekolah…. Saya tidak mampu berucap lagi dan hanya bisa membayangkan INDONESIA. Minggu kemarin saya dikunjungi oleh Mustafa, seorang kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyah di Sawarna, sebuah desa wisata di selatan Banten. Ia datang berkunjung ke Kota Serang karena akan mengambil dana bantuan dari Pemprov… tapi sesampainya di pemprov ternyata orang akan dijumpainya sedang tidak berada di kantor, padahal ia datang dengan mengendarai sepeda motor selama lima jam… wuiih, sore itu ia kembali ke Sawarna dengan tangan kosong… sekosong harapan akan majunya pendidikan kita.

Sabtu, 03 April 2010

Gaya Hidup dan Keseharian kita


Berita Gayus yang menghiasi pemberitaan kita beberapa hari ini membuat mata sebagian masyarakat kita terbelakak. Bagaimana tidak, dengan jabatan golongan IIIA, tentunya sangat patut dipertanyakan dari mana sumber kekayaan yang didapatkannya saat ini, selain dari warisan jika memang ada….?

Namun demikian, saya tertawa sendiri jika membayangkan kehidupan yang melompat secara signifikan yang juga tergambar dari kehidupan tetangga, rekan dan sahabat saya yang sangat drastis yang duduk di jabatan publik. Bukannya kita iri atau jengah, namun apa layak hidup di istana sedangkan tetangga masih ‘senin-kamis’ kehidupannya ditambah ‘gossip’ yang santer bahwa asal muasal dari sumber kekayaannya masih bisa dipertanyakan… hmm.

Kisah Gayus sang pekerja pajak, kisah para pejabat kepolisian yang memiliki Harley dan kisah-kisah lainnya yang membuat hati miris seperti kisah dalam untaian cerita seribu satu malam yang tidak pernah berakhir. Bisa jadi Gayus hanyalah sebuah melodrama kecil diantara sendratari dan epik pameran kekayaan yang selalu dipertontonkan oleh para pejabat publik selagi aji mumpung.

Beberapa dan bahkan sudah menjadi rahasia umum, kalau kepala daerah di Indonesia seperti seorang yang mendapat durian runtuh jika terpilih dan bisa duduk di atas singgasana pemerintahan. Begitu pula dengan para wakil rakyat yang berlomba-lomba atas nama rakyat untuk dapat duduk dan mewakili ‘konstituennya’ di gedung rakyat yang terhormat.

Cerita tentang lompatan kehidupan para pemimpin seperti rangkaian kehidupan yang sistemik (meminjam) istilah Bank Century. Jika dahulu sebelum menjabat mereka hanya memiliki satu rumah, satu mobil dan bahkan sering tidak punya… namun saat menjabat beberapa bulan sudah mendapatkan ‘kemewahan’ yang sangat wah.

Rekan saya kepala cabang salah satu bank nasional di Banten sampai terheran-heran melihat gaya hidup salah satu bupati di Banten yang memiliki rumah dan mobil yang berderet-deret… ditambah gaya hidup anak-anak dan istri beliau yang mengalami kehidupan super wuperrrr… beliau membandingkan dengan kehidupan sebelumnya yang terlihat biasa-biasa saja.

Rekan saya yang menjadi manajer sebuah pabrik petrokimia di Anyer juga tidak habis pikir melihat beberapa anggota dewan yang terhormat, dapat dengan enjoynya membangun rumah super dan membeli mobil pribadi diatas rata-rata masyarakat. Padahal sebelumnya, kehidupan para anggota dewan sangat bersahaja…. Hmm.

Masyarakat kita memang hanya diam melihat semua ini. Namun kediaman mereka dapat kita maknai bahwa mereka ‘nrimo’ saja akan status dan kehidupan para pejabatnya… atau sebaliknya, mereka hanya bisa mencaci dalam diamnya…. (bukankah doanya orang teraniaya cepat di kabulkan..?).
Sumber kekayaan yang begitu drastis dan pola kehidupan yang begitu fantastis menjadi budaya biasa dalam kehidupan kita saat ini. Kasus terbongkarnya kepemilikan rumah dan mobil mewah milik Gayus, Harley dan tabungan para petinggi Polri, merupakan sebuah gunung es yang boleh jadi hanya sebuah titik hitam diantara kelamnya asal muasal kekayaan hingga terbongkar disuatu saat.

Hampir setiap minggu, saat ini kita dapat menyaksikan dan melihat dalam setiap pemberitaan tentang mantan menteri yang masuk penjara karena korupsi, mantan gubernur yang diseret paksa masuk bui dan mantan anggota dewan yang terhormat yang harus rela ‘menginap’ di hotel prodeo…. Naudzubillah.

Rekan saya dari Kyoto, sampai terheran-heran ketika suatu saat beliau bertemu janji dengan salah satu rekannya di Hotel Sultan (dulunya Hotel Hilton Jakarta)… karena saat makan malam, nyaris seluruh kursi di restaurant tersebut penuh sesak dengan orang-orang Indonesia dan kejadian ini terus berulang setiap beliau berkunjung ke Hotel Sultan, yang ironisnya menurut beliau… berita seputar gizi buruk dan busung lapar masih menjadi headline berita di Indonesia… padahal ukuran makan malam di hotel Sultan tidak bisa dibilang murah… alias mencekik kantong.

Lain lagi rekan yang satunya masih dari Kyoto, beliau sampai terheran-heran melihat lahan parkir mobil di kampus-kampus di Jakarta yang selalu full dengan mobil dan sepi dari sepeda. Saya katakan, bahwa jika mahasiswa Indonesia memakai sepeda untuk kuliah… bisa dikatakan, jika tidak karena idealisme.. ya karena kepepet harus menggunakannya karena ukuran kantong.

Gaya hidup yang memaksa kita untuk tetap ‘eksis’… rupanya memang di tularkan dari para pemimpin kepada rakyatnya. Jadi tidak dapat disalahkan jika masyarakat kita juga lebih bersifat praktis melihat kehidupan ini. Setiap pemilu berlangsung, praktek politik uang selalu berseliweran dan semua kandidat seperti memberi ruang untuk meninabobokan para konstituennya…. Setiap hari selalu saja bermunculan berita baru tentang para tersangka yang menggelapkan uang rakyat… namun seperti kisah Al Pacino atau Robin Hood… semua seperti hilang ditelan bumi seiring dengan memori politik dan memori sejarah masyarakat kita yang teramat sangat pendek.

Tidak perlu sekolah tinggi, tidak perlu moral yang baik…. Yang diperlukan masyarakat saat ini adalah cash money dalam setiap pemilu, dalam setiap pilkada dan dalam setiap penyelesaian perkara…. Ada Uang Abang di Sayang, tak ada Uang Abang cari koalisi baru….

Kisah Gayus, Kisah Susno, Kisah-kisah lainnya di bumi pertiwi semoga dapat memberikan hiburan bagi masyarakat kita yang sudah bosan dengan film horor dan film vulgar serta parodi politik. Jika kita masih mau mendengar kisah zuhud para sholafus saleh atau kehidupan para nabi..? jangan cari dalam kehidupan nyata… cukup cari saja dalam lembaran-lembaran sirah yang mungkin masih tersimpan dalam lemari-lemari para santri di pesantren atau cukup cari dalam dongeng pengantar tidur. Pilihan hidup tentunya ada pada diri masing-masing....