Rabu, 17 Maret 2010

Satu Cinta Untuk Indonesia


Sore tadi rekan saya yang aseli orang Indonesia yang sedang liburan dari tempatnya bekerja di Dubai saat ini mampir ke kantor, maklum saja sudah sekitar setahun kami tidak bertemu. Dulunya kami sama-sama menjadi ‘kuli’ di salah satu pabrik di daerah Merak, hanya saja pilihan hidup yang membuat kemudian kami memilih jenis pekerjaan yang berbeda.

Saya memilih berwiraswasta walaupun masih harus jatuh bangun sampai saat ini. Sedangkan rekan saya memilih peruntungan nasib ke negara Gulf. Kami masih ingat bagaimana saat masih menjadi kuli… hehehe, terkadang kita merumuskan angka kenaikan gaji yang lumayan alot dan terkadang harus tarik menarik kepentingan dengan pihak manajemen perusahaan.

Rekan saya mengajak kembali peruntungan tersebut untuk bersama-sama bekerja di Gulf… kata beliau, sangat bisa mengeksplore aneka hobby baru. Beliau saat ini sudah tidak canggung mengendarai mobil 4WD atau SUV yang bagi orang Indonesia masih menjadi ‘barang langka’, kata beliau kalau di Gulf asal bisa bawa dan bisa merawat, kita bisa mendapatkan aneka mobil mewah dengan harga miring.

Kami bersama-sama membuka foto miliknya yang berpose di aneka lokasi berbeda di timur tengah dan bahkan beberapa foto menunjukkan gaya beliau di Eropa. Karena menurutnya, liburan di Eropa masih lebih murah tiket pesawatnya daripada ke tanah air yang memang jauh jaraknya. Saat ini sudah tidak terhitung lagi rekan-rekan ‘seperjuangan’ dulu yang mengabdi di perusahaan-perusahaan luar negeri yang memang menawarkan tingkat kesejahteraan diatas rata-rata perusahaan disini… huff.

Jika dilihat dari segi pendapatan, rata-rata teman saya seperti mendapat ‘durian runtuh’ dengan bekerja di daerah timur tengah yang menyebar di Saudi, Qatar, UAE, Kuwait, Bahrain dan Oman. Tapi rata-rata dari mereka sebenarnya ‘lebih memilih’ untuk bekerja di dalam negeri jika saja pendapat yang mereka terima minimal mendekati yang mereka terima saat ini di luar negeri. Rata-rata mereka bekerja di level para professional.

Rekan saya di Karibia, setiap pulang kampung ke Lebak selalu membeli tanah untuk investasi di kampungnya tersebut, walaupun di kapal pesiar ia hanya seorang room boy. Begitu pula teman saya di Darwin yang selalu membeli rumah BTN untuk dijadikan kontrakan yang dijadikannya lahan tambahan setiap bulannya yang dikelola oleh saudaranya, padahal di Darwin ia ‘hanya’ menjadi pekerja serabutan… terkadang cuci piring di restaurant China dan sesekali menjadi tukang servis elektronik.

Saat menjadi kuli dulu, kami sempat keki ketika mengetahui bahwa gaji yang kami terima selevel operator industry sangat jauh dibawah standar dari makanan seekor anjing penjaga gerbang di pabrik. Awalnya kami tidak percaya, kalau saja dulu pacar saya yang juga bekerja di perusahaan yang sama di bagian keuangan tidak memberikan copy kwitansi pembelian makanan anjing yang harganya dua kali lipat dari gaji kami dalam satu bulan…. Hahaha. Saya ingat ketika itu dipenghujung tahun 98-an, gaji saya masih sekitar 800ribuan dan kwitansi makanan anjing penjaga pintu di pabrik seharga 1.7juta…. weleh-weleh

Belum lagi ketika kami melihat perbedaan fasilitas antara pribumi dan ekspat…. Para pekerja ekspat bisa menikmati liburan di Bali atau Australia setiap tahunnya, belum lagi fasilitas Golf setiap minggunya…. Cihuyyy… dulu beberapa supervisor ekspat sering mengajak kami liburan menikmati ‘kemewahan’ yang mereka dapatkan… lumayan juga merasakan jadi OKB sesaat… merasakan bagaimana halusnya rumput lapangan golf… enaknya masakan chef kelas dunia dan jalan-jalan gratis keliling ibu kota saat libur shift tiba…. Hehehe

Saya baru mengetahui beberapa tahun kemudian, saat saya sudah tidak lagi bekerja di pabrik. Ternyata perbedaan standar dalam sistem penggajian di Indonesia bukan hanya ditentukan oleh skim KHM (Kebutuhan Hidup Minimum), tapi lebih banyak ditentukan oleh tarik menarik politik, baik ditingkat lokal atau nasional.

Rekan saya di DPRD di salah satu kota di Banten, bisa dengan leha-leha mendapat ‘jatah’ amplop saat pembahasan penentuan UMK (dulu UMR) saat pembahasan sedang berjalan. Belum lagi rekan yang lain yang duduk manis di DPR, sumber amplop bukan hanya dari pembahasan UMR tapi amplop dari izin pembukaan lahan tambang, lahan perkebunan dan izin-izin lainnya yang kesemua ampolp tersebut didapat dari para pengusaha…. Tentunya para pengusaha tersebut ‘rela’ mengorbankan kesejahteraan karyawannya untuk menutupi biaya non budget tersebut.

Sore tadi, obrolan kami tutup dengan saling tertawa dan mengubur mimpi tentang mendapatkan UMR yang sesuai….. tunggu dulu, UMR yang sesuai siapa..? mau sesuai dengan KHM (kebutuhan Hidup Minimum)…? Silahkan keluar dari pabrik dan cari kerja diluar… begitu dulu doktrin yang kami terima.

Disisi lain saya bangga kepada rekan-rekan yang mampu dan mau bekerja dan berusaha di luar negeri. Karena mustahil, mengharapkan nilai sepadan dengan standar internasional dari negeri Indonesia yang kita cintai saat ini…. Kepada rekan-rekan yang membeli mobil mewah, rumah mewah dan jalan-jalan ke berbagai pelosok negara lain… adalah hal yang lumrah untuk kalian… tapi bagi rekan-rekan di kursi legislatif dan eksekutif … huff… saya tidak bisa komentar saat ini.. takut salah… piss ah, VIVA INDONESIA.

Jujur saja, rekan-rekan saya yang bekerja di luar negeri lebih merindukan dapat bekerja di dalam negeri jika saja situasi dan kondisi kesejahteraan yang diberikan oleh perusahaan di dalam negeri mendukung.... tapi untuk saat ini...???

Jumat, 12 Maret 2010

Sony Lawan ’Sony' - Nama Sama Hanya Nasib yang Berbeda …


Apa yang salah ketika ibunda Sony memberi nama anaknya dengan sebutan Sony, anak tersayangnya tersebut bernama lengkap Sony Arianto Kurniawan, yang akhirnya di somasi oleh sebuah perusahaan raksasa Jepang SONY Corp. Hal ini dilandasi karena Sony-AK yang orang Indonesia ASLI memiliki domain ‘www.Sony-AK.com’. Kemarin siang ia menuliskan unek-uneknya dalam forum Pasar domain.com ;

“Domain saya di tuntut oleh Sony Corporation Japan (minta pendapat)
________________________________________
Dear all,
Saya Sony Arianto Kurniawan dan saat ini baru saja dapat "musibah" karena domain saya sony-ak.com di-sue oleh Sony Corporation Japan melalui kuasa hukumnya di Indonesia. Padahal itu saya register-kan berdasarkan nama saya sendiri dan sudah saya gunakan sejak lama untuk kepentingan murni penyebaran ilmu pengetahuan di bidang IT.

Saya ingin tahu bagaimana pendapat rekan-rekan di forum ini.

Best regards,
Sony AK
www.sony-ak.com

Siang tadi, situs online berita DETIK juga memuat berita seputar somasi Sony Corp lewat kuasa hukumnya di Indonesia untuk mensomasi Sony AK karena diduga melanggar hak cipta… weleh-weleh. Padahal, Sony AK membuat domain sony adalah untuk tujuan sharing ilmu pengetahuan dan juga ada embel-embel “AK” dibelakangnya…. Atau mungkin juga Kang Sony yang orang Bogor ini ingat dengan temannya di Kota Serang yang punya inisial sama, Arif Kirdiat…. Sama-sama “AK”… ha ha ha.

Persoalan nama yang serupa dan rada-rada mirip, memang sering kali dibuat pusing. Bukan saja karena dugaan Hak Cipta, tapi juga bila nama kita mirip dengan orang yang dituduh teroris… hiiii, bisa ngeriiii. Rekan saya pernah mengalaminya, kejadiannya sekitar tiga tahun lalu ketika kami berangkat ke Singapura, ketika masuk ke negara tersebut, rekan saya harus tertahan tiga jam lebih dalam pemeriksaan Custom (imigrasi) di negeri singa tersebut, sialnya rekan saya tersebut tidak fasih berbahasa Inggris…. Huff, dan konyolnya kami rekan-rekannya tidak bisa masuk kembali ke ruangan imigrasi karena sudah lewat lebih dahulu. Nama beliau katanya terindikasi terrorist…. Hehehe, akhirnya bisa lewat juga setelah melewati interview yang berbelit-belit, karena memang bukan teroris… asli, bukan teroris.

Sony-AK, yang saat ini sedang dirudung ‘cobaan’.... tapi bagi saya kasus Sony akan seperti kasus Prita dengan Koin Prita-nya atau seorang pemuda Kanada bernama ‘Mike Rowe’ yang akhirnya memenangkan simpati publik saat digugat oleh Microsoft. Persoalannya sepele, “….Pada tahun 2003, Mike yang hobi mendesign web dan programing kecil-kecilan mendaftarkan domain bernama www.mikerowesoft.com. Singkatan dari Mike Rowe (namanya sendiri) dan soft (sebab ia pikir lucu dan imut jika menggunakan kata ’soft’ di belakang namanya).

Tak lama kemudian, Microsoft perusahaan software raksasa marah-marah dan menuduh Mike melakukan plagiasi pada domain mereka karena menggunakan nama yang nyaris sama. Lalu, mereka mencoba melakukan upaya akuisisi pada domain mikerowesoft.com milik Mike. Caranya, pihak Microsoft menawarkan kompensasi uang sebesar $10 dollar Amerika kepada Mike Rowe agar menjual domain itu kepada mereka.

Langsung saja Mike Rowe berang. Ia merasa dilecehkan. Pertama karena dianggap ‘tengah mencuri nama microsoft’ (Padahal orang tua Mike Rowe sama sekali tidak berniat memberi nama anaknya mirip seperti perusahaan perangkat lunak dari Redmont yang bernama Microsoft Corp). Kedua karena apabila nama Mike Rowe begitu penting untuk Microsoft, kenapa hanya ditawar sebesar US $10 saja? (*Ia lalu meminta US $10 ribu untuk domain itu. Semata-mata karena kesal atas perlakuan Microsoft*)
Microsoft tentu saja ngamuk berat. Dengan segerombolan pengacara yang bergaji hingga ribuan dollar perjamnya, mereka membuat 25 halaman tuntutan terhadap Mike Rowe. Bahkan diantara tuntutan adalah memenjarakan Mike Rowe dan mendenda pemuda berusia 17 tahun yang sial karena memiliki nama Mike Rowe (hampir mirip dengan Micro) sebanyak US $100.000

Mike Rowe menolak menerima kriminalisasi itu. Ia membuka kasus ini ke pers dan publik. Hasilnya adalah situs mikerowesoft.com dikunjungi oleh 250 ribu orang dalam tempo waktu 12 jam saja. Situs itu lumpuh segera akibat tidak bisa menerima kunjungan segitu banyak orang. Di sisi lain, Mike Rowe ternyata mampu menggalang dukungan dari banyak orang. Memperoleh donasi US $6000 untuk membayar ongkos perkara dan juga memperoleh bantuan legal dari pengacara yang mau bekerja membelanya Pro Bono, tanpa bayaran.

Kasus ini benar-benar memicu kemarahan publik. Arogansi Microsoft Corp benar-benar dipertanyakan. Mike Rowe vs Microsoft mampu memicu media menganalogikannnya sebagai cerita versi cyber modern David vs Goliath. Si kecil yang teraniaya vs Raksasa yang jahat tiada tara. Dalam beberapa hari setelah kasus ini mencuat di publik, terjadi kekacauan administrasi di tubuh Microsoft sendiri. Beberapa orang pengembang perangkat lunak jenius yang bekerja di Microsoft menganggap bahwa sudah semestinya mereka keluar dari perusahaan yang berubah jadi setan ini. Ribuan telpon berdering setiap hari di meja resepsionis mengutuk aksi Microsoft. Intinya, terjadi tekanan di tubuh dalam perusahaan dan juga dari luar. Oh! Bad for business. Kasus ini akhirnya bisa diselesaikan dengan baik di luar jalur hukuum. Microsoft mengakui betapa arogannya mereka. Lalu menghadiahkan Mike Rowe hadiah-hadiah khas Microsoft. (http://labo.bangaip.org)

Kembali ke kasus Sony, kiranya pihak Sony Corp harus berpikir ulang untuk mensomasi seorang Bloger bernama Sony… bukan tidak mungkin upaya somasi yang akan dilakukan oleh Sony akan berbalik menjadi boomerang dan menjatuhkan kredibilitasnya sebagai perusahaan kelas dunia di mata masyarakat Indonesia yang berpenduduk 240 juta jiwa, yang merupakan pasar potrensial bagi Sony Corp.

Saya tidak membayangkan mulai senin besok, resepsionis PT. Sony Corp di Jakarta akan menerima telepon yang mempertanyakan kasus ini, beribu-ribu dering telepon…alangkah merepotkan bukan…? Belum lagi gerakan sejuta dukungan bagi Sony-AK dari rekan-rekan di fesbuk…. Ini Indonesia Bung…. I Luv U Full, INDONESIA. Janganlah menggebuk lalat dengan pukulan GAJAH…. Proposional saja Bung.

Rabu, 10 Maret 2010

"Wisata Fisika" : Indah, Nyaman dan Menyenangkan


Kemarin sore saya bertemu dengan salah satu puteri terbaik bangsa ini. Ia memang tidak popular seperti artis film atau sinetron, atau popular seperti para pejabat dan anggota DPR yang sering muncul dengan move dan ‘dagelan’ politik yang mampu membuat rakyat tertawa walau untuk sesaat. Ia hanyalah seorang pengajar biasa, walau sebenarnya ia berasal dari komunitas yang luar biasa. Pertemuan ini, dilatar belakangi oleh persamaan pandangan terhadap iklim bumi yang semakin panas dan persamaan keinginan kami untuk mewujudkan penggunaan solar cell (tenaga matahari… maaf saya jelaskan lagi arti solar cell karena siang tadi ada rekan saya di DPRD yang menyangka kalau solar cell adalah listrik berbahan bakar solar….??? Cabe deh) dalam aplikasi yang lebih nyata dan mudah diaplikasikan, terdengar mengawang-awang tentunya.

Beberapa minggu sebelumnya, saya dijanjikan oleh rekan saya Bang Johan, alumni Universitas Indonesia untuk dapat bertemu dengan sang guru…. Ya beliau memang seorang guru besar alias professor di FMIPA Universitas Indonesia. Karena kesamaan pandangan dan kekhawatiran terhadap pola konsumsi terhadap bahan bakar fosil di Indonesia dan belum konsennya para pengambil kebijakan di negeri ini, maka pertemuan tersebut dapat terlaksana di salah satu kedai kopi di Selatan Jakarta.

Awalnya saya sempat terkejut, karena dalam pandangan saya seorang professor fisika tentunya adalah seorang tua renta yang maaf ‘sudah botak’ di kepalanya dan berjalan agak bungkuk. Namun semua rekaan saya buyar saat berjumpa dengan beliau. Saya berjumpa dengan seorang wanita paruh baya yang enerjik dalam bertutur dan bercerita panjang lebar seputar fisika dan turunannya. Bahkan ternyata beliau adalah salah satu ahli ‘nano teknologi’ yang di dunia ini masih sangat jarang yang menguasainya. Gelar S-2 dan S-3 beliau didapatkan dari Jerman, negara produsen BMW…… Beliau adalah Prof. Dr. rer.nat Rosari Saleh

Artikel beliau di Koran Kompas telah beberapa kali menyita perhatian publik. Beberapa kampus swasta di negeri ini sudah menawari beliau untuk dapat bergabung dan tentunya dengan iming-iming penghasilan yang jauuuuh lebih tinggi dari penghasilan beliau saat ini. Namun semua itu ditolak dengan halus. Saya penasaran akan jawaban yang beliau utarakan, saya tanyakan apa yang ada dalam benak beliau …? Jawabannya sangat sederhana… saya ingin berbuat sesuatu yang berguna buat negeri ini dan tidak mau hanya ‘duduk’ saja dalam menara gading. Hmmmmm………….

Beberapa tawaran yang lebih menggiurkan ternyata sudah lebih dulu mampir padanya. Kampus-kampus ternama di luar negeri sudah menawarinya bergabung dengan segala macam fasilitas tentunya. Namun lagi-lagi, semuanya ditolak. Kami berdiskusi, kira-kira dengan cara apa kami akan melangkah..? Beberapa langkah awal telah beliau rintis dalam upaya mensosialisasikan bahwa fisika itu mudah, indah dan menyenangkan. Situs dan soal-soal fisika dan contoh yang aplikatif telah beliau gulirkan dibantu dengan tim kecil beliau yang sementara ini menurut rekan saya Kang Johan, beliau modali sendiri dari kantong pribadinya.

Delapan ribu soal dan CD interaktif serta aplikasi fisika yang sederhana telah dibuat oleh Prof Ocha begitu ia biasa dipanggil. Semua soal tersebut beserta CD dibagikan gratis ke sekolah-sekolah yang membutuhkannya….. beliau trenyuh, saat melihat pemerintah hanya konsen dengan olimpiade fisika yang hanya memperhatikan segelintir orang saja, kata beliau itu adalah hal bagus, namun alangkah lebih bagusnya jika fisika lebih memasyarakat dan lebih mudah diaplikasikan.

Saya ingat ketika masih duduk di bangku sekolah menengah…. Jika sudah melihat jadwal pelajaran dan ada jadwal mata pelajaran fisika…. Kok hati ini menjadi dag-dig-dug…. Plus menjadi lemas karena jika praktek, alat peraga fisika yang ada tidak memadai dan bahkan sering tidak tersedia, padahal saya waktu itu duduk di kelas fisika dan di SMA paling TOP di Kota Serang…. Hehehe. Sang professor mengatakan, jika semua guru fisika dibekali pembekalan dan pemahaman yang sederhana seputar fisika yang mudah dan aplikaitf, sungguh sangat sederhana menyelenggarakan praktek fisika dengan contoh-contoh dan alat yang murah serta tersedia di kehidupan sehari-hari…

Pembicaraan kami terus mengalir seputar solar cell yang menjadi ‘PR’… ya, menjadi tantangan karena menurut beliau, saat ini semua negara maju sedang dan secara berkelanjutan melakukan riset dan menerapkan pemakaian system tenaga listrik berbahan non-fosil seperti matahari dan mikro hydro. Namun, ironisnya Indonesia yang melimpah selama 12 bulan akan cahaya matahari (tanpa musim salju) dan banyaknya sungai-sungai kecil yang dapat di manfaatkan untuk penggerak sistem kelistrikan bagi masyarakat pedesaan masih tidak juga dilirik dan belum sepenuhnya pemerintah menerapkannya secara sungguh-sungguh….. kami terdiam lama, karena beberapa negara Afrika dan negara-negara dunia ketigapun saat ini juga sedang melakukan seperti apa yang dilakukan oleh negara maju.

Saya teringat mata kuliah Security Energy di kampus saya dulu dalam bidang pertahanan di Singapura, dalam kuliah tersebut diwanti-wanti akan terjadinya gejolak setiap saat yang mampu membuat semua negara gonjang-ganjing karena perebutan energi dalam sistem perekonomian. Saat inipun sudah terasa jika minyak bumi semakin langka maka harganya mengikuti merangkak naik yang kemudian membuat panik para pemimpin dunia… dan bukan tidak mungkin akan memicu perang dunia… hmmm.
Kami juga sedikit menyinggung rencana kenaikan harga tariff dasar lisrtrik dalam beberapa minggu kedepan yang sudah dilontarkan oleh Pak Dahlan Iskan (Founder Jawa Pos) yang saat ini menjabat sebagai Dirut PLN.

Tidak muluk-muluk memang, malam kemarin kami berkomitmen untuk sedikit bergerak dalam dua arus yang berbeda. Arus pertama bahwa ilmu fisika harus terus disosialisasikan kepada seluruh siswa-siswi Indonesia tanpa mengenal status sosial, apakah ia peserta olimpiade sains atau bukan, apakah sekolah di kota atau sekolah di desa, serta bagi para pendidiknya di semua level, apakah guru SMA atau dosen, program-program seperti ini terdengar sangat tidak populis, tapi kami berkomitmen untuk dapat bergerak secara perlahan.

Arus kedua adalah sosialisasi penggunaan energy matahari (solar cell) kesemua level, termasuk para pengambil kebijakan. Sangat berat memang, tapi kami yakin bahwa ide besar ini harus terus disosialisasikan karena krisis energy adalah hal yang nyata di depan mata. Langkah ini berat, tapi kami harus memulainya perlahan-lahan….

Diakhir pembicaraan, professor mengatakan bahwa ia ingin agar setiap anak Indonesia kelak melihat mata pelajaran fisika tidak lagi menjadi momok yang menakutkan, karena sesungguhnya kata beliau fisika itu Indah, Nyaman dan Menyenangkan. Kalau dalam bahasa saya…. Orang yang sedang belajar fisika seperti orang yang ingin 'berwisata'… dalam hal ini menyenangkan dan ENJOY….. Keinginan ini seperti mimpi di siang bolong, tapi kami berkeyakinan bahwa semua ide besar selalu dimulai dari ‘mimpi’ kecil….anda mau bergabung...?

Selasa, 09 Maret 2010

Kereta Api dan Angkutan Massal


Kemarin pagi saya sengaja memilih kereta api dalam perjalanan dari Bogor menuju Jakarta. Mungkin bagi masyarakat umum di kedua daerah ini, menggunakan kereta api adalah hal biasa. Namun bagi saya yang tinggal di Kota Serang, menggunakan kereta api untuk kegiatan sehari-hari adalah hal yang belum lazim. Karena di Banten pada umumnya, kereta belumlah atau mungkin sudah mulai ‘dilupakan’ oleh para pengambil kebijakan. Bagaimana tidak, ketika saya menelusuri jalan di hampir setiap sudut kota di Banten, jalur kereta api peninggalan Belanda masih terlihat pada beberapa sisinya. Dari Kota Kecamatan Labuan di sisi selat Sunda hingga di Bayah sepanjang bibir pantai laut selatan pesisir Banten. Namuin saat ini yang masih aktif digunakan untuk angkutan umum tinggal jalur rel dari Merak sebagai kota pelabuhan di ujung barat Pulau Jawa hingga ke tanah abang dan kota yang hanya melewati beberapa wilayah saja di Banten. Adapun jalur eksekutif rel ganda hanya dari Jakarta hingga Serpong saja, selebihnya dilayani oleh jalur ekonomi.

Jujur saja, saya baru beberapa kali menggunakan angkutan massal ini di Banten. Justru saya lebih sering menggunakan kereta di Kuala Lumpur (monorel) dan di Singapura (MRT), bukan apa-apa karena di kedua negara tersebut naik kereta api sangat nyaman dan murah. Pengalaman saya setelah beberapa kali naik kereta api dari Kota Serang ke Jakarta dengan menggunakan kereta api ekonomi jurusan Merak ke Tanah Abnag, beberapa diantaranya saya ‘dapati’ pengalaman yang amat… dan amat amazing.

Ketika pertama kali naik kereta sekitar awal tahun 90-an saat masih sekolah di SMA, saya mencoba kereta jurusan Jakarta yang saya naiki dari Stasiun Serang di samping Taman Sari di sisi timur pusat perbelanjaan Royal. Karena memang letak stasiun di belakang SMA 1 yang memang sangat dekat dengan letak sekolah, jadinya saya tertarik dan ingin mencobanya, karena selama saya tinggal di Sulawesi, kereta api merupakan barang langka. Padahal kata orang tua saya, dulu sewaktu kecil saya telah beberapa kali naik kereta dari Jakarta ke Surabaya atau sebaliknya, mungkin karena masih belia dan imut, maka pengalaman tersebut belum terekam dalam memori ini… hmm.

Saya sempat heran, ketika merasakan bagaimana kereta yang saya tumpangi berhenti di areal persawahan di sekitar perbatasan Serang – Rangkas Bitung…. Weleh-weleh, kok bisa-bisanya kereta berhenti bukan di stasiun tapi di tengah areal persawahan…. Ow..ow..ow, ternyata sang masinis kala itu sedang menaikkan penumpang yang membawa berbagai ‘atributnya’ yang kemungkinan akan dijual ke Jakarta, seperti daun pisang, janur, kelapa dan berbagai hasil bumi lainnya…. Untuk apa ada stasiun, kalau penumpang bisa menyetop kereta di tengah rel…? dan ternyata kebiasaan itu masih berlangsung sampai sekarang…. Hehehe

Pengalaman berikutnya, saya rasakan ketika awal tahun 2000-an ketika berpergian dari Serang ke Rangkas Bitung menggunakan kereta pagi bersama rekan saya yang saat ini tinggal di Abu Dhabi. Kami dua keluarga, ingin memperkenalkan bagaimana rasanya naik kereta kepada anak-anak, namun apesnya rekan saya tersebut menyadari ketika telah turun di stasiun bahwa hand phone beliau telah berpindah tangan…. Kami hanya bisa mengurut dada, cukup sudah pengalaman ini menjadi pelajaran.

Saya juga pernah merasakan bagaimana menjadi ‘masinis’ tanpa harus berprofesi sebagai masinis beneran. Kejadiannya saat saya pulang kemalaman sekitar tahun 2000 ketika banjir melanda Kota Rangkas Bitung. Saat itu jam menunjukkan sekitar pukul 11 malam, ternyata angkot dan bis umum sudah tidak ada yang ke Serang… huuu, sempat panik juga sampai salah seorang tukang ojek menyarankan saya naik kereta api. Saya heran, apakah masih ada jadwal kereta api ditengah malam seperti itu…? Nyali saya sempat ciut jika mengingat cerita-cerita horror seputar kereta, seperti cerita kereta hantu di UI, atau cerita kereta tanpa penumpang di stasiun kota… hiiiii. Namun akhirnya sang pengojek meyakinkan saya untuk mencoba kereta, yang ternyata adalah kereta barang yang mengangkut batu bara dari pelabuhan Ciwandan di Cilegon ke Bekasi dan sebaliknya sebagai salah satu bahan bakar pabrik di semen.

Dan ternyata betul, saya dinaikkan ke gerbong lokomotif bersama dengan beberapa penumpang lainnya. Woow, ternyata ruang lokomotif yang seharusnya hanya untuk masinis, disesaki oleh sekitar sepuluh orang… hehehe, dan ternyata ‘pembayaran karcis’ dilakukan diatas kereta yang langsung ditarik oleh masinis dan tarifnya juga bisa ditawar…. Cihuyyyy. Ternyata berlaku juga asas ‘kepepetisme’… sama-sama diuntungkan, padahal kalo dipikir-pikir berbahaya juga kejadian seperti ini. Saya membayangkan menjadi seorang cowboy yang akan melintasi sisi barat amerika menuju sisi timurnya dengan kejaran kuda dari cowboy lainnya…. (ngayal.com)

Kembali kecerita tadi pagi, saya mendapatkan kereta api kelas ekonomi-AC seharga 5.500 rupiah dari Bogor tujuan Jakarta Kota. Saya anggap masih sesuai dengan kantong rata-rata orang Indonesia, dengan fasilitas AC dan kebersihan yang relatif terjaga walaupun keretanya adalah kereta bekas dari Jepang…. Hehehe. Saya jadi berpikir apakah PT. INKA (industry nasional kereta api) tidak mampu untuk membuat kereta semacam ini…? atau tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan teknologi perkereta-apian di negaranya sendiri. Saya jadi membandingkan industri-industri strategis macam PT. PAL, PT. Dirgantara Indonesia, dan PT. INKA yang hanya dijadikan sebaai industri kebanggaan di atas kertas saja dan ompong dalam kenyataan.

Saya jadi ingat, kisah perdagangan bebas Indonesia dan China yang selalu dijadikan bahan protes, tapi tidak juga mengoreksi kebijakan yang memang tidak pro-rakyat. Yang selalu jadi bahan demo adalah mengapa pemerintah harus melakukan free trade dengan China…? Tetapi masyarakt yang memprotes lupa atau tidak ingat yang membebani ekonomi biaya tinggi di Indonesia adalah pungutan tidak resmi dan berbagai birokrasi yang membebani tingginya ongkos produksi. Beberapa minggu lalu, China baru saja meluncurkan kereta api cepat semacam Shinkanzen di Jepang atau TUV di Prancis. Saya melihat artikel dikoran pagi ini yang membahas rencana pembangunan monorel di Jakarta yang kembali jadi pedebatan dan tak kunjung selesai jadi topik diskusi politik yang tak berujung pangkal…. Hiks

Saya melihat ke luar jendela yang kebetulan kereta kami memasuki stasiun Manggarai….. gile beneeerrrr, tuh penumpang sampai full duduk diatas atap kereta…… amboyyyyy Indonesia. Saya juga membayangkan bagaimana rasanya menikmati kereta ekonomi saat jam pulang kantor yang pernah saya naiki saat hari kerja dari Serpong menuju Rangkas Bitung…. Didalam gerbong penuh sesak, gelap gulita tanpa penerangan dan panasnya suasana karena tanpa kipas angin apalagi AC…. Sambil sesekali terdengar suara awas copet, awas pantat dan awas kelewat dari teriakan sesama penumpang untuk saling mengingatkan…. Hehehe, karena begitu pekat dan sesaknya penumpang, jangan lagi berbicara tentang batas aurat… jangan lagi berbicara tentang kenyamanan berkendaraan…. Pokoknya nikmati saja kata teman saya….. Sekali lagi I Luv U full Indonesia

Minggu, 07 Maret 2010

'Slands Plantentiun te Buitenzorg' ataoe 'Keboen Raija Bogor'


Sore tadi saya paksakan… ya saya paksakan untuk melangkah masuk ke Kebun Raya Bogor. Kalau dibilang norak, ya.. saya memang sangat dan sangat norak. Bagaimana tidak, Kota Bogor sudah seperti bagian tidak terpisahkan dari Ibu Kota Jakarta yang hanya beberapa menit saja dari Taman Mini dan Terminal Kampung Rambutan di ujung timur Jakarta atau Batavia tempo doeloe.

Jujur saja, walaupun mungkin sudah ratusan kali datang dan melewati Kota Bogor, diri ini sama sekali belum pernah masuk kedalam Kebun Raya Bogor yang menjadi ikon kota hujan ini. Benar-benar norak. Dulu diakhir tahun 90-an, James rekan saya dari Zurich sampai memaksa saya untuk masuk ke Kebun Raya Bogor saat kami baru saja turun dari Gunung Gede Pangrango, tapi ajakan itu saya tolak halus karena saya anggap masuk ke Kebun Raya Bogor seperti masuk kedalam taman kota biasa… hehehe.

Sampai tadi siang, rekan saya di JICA menceritakan pengalamannya setelah yang kedua kalinya masuk ke Kebun Raya Bogor (KRB). Haaa.. sudah dua kali..? dan ia menceritakan kalau didalam kebun raya ada juga guest house yang sangat asri dan terasa seperti menginap di zaman kolonial dan guest house itu sering ditinggali oleh para peneliti dari Jepang dan negara lain walau tidak ada AC yang terpasang. Ha ha ha… jadi tambah iri diri ini, padahal apa salahnya kalau dari dulu saya sempatkan masuk ke kebun raya, tapi saya ingat pepatah yang mengatakan last but not least… daripada yang mana tidak sama sekali maka lebih baik yang mana walau sekali… hehehe. Maka sore tadi saya sempatkan untuk masuk walau kesibukan yang mendera diri ini.

Dengan modal tiket masuk untuk dewasa 9.500,- saya masuk melalui gerbang sisi utara didepan kampus paska sarjana di jalan Padjajaran, ini merupakan salah satu pintu masuk yang tersedia dari beberapa yang ada. Mungkin karena hari minggu keramaian tampak sangat padat karena beberapa group perusahaan yang sedang melakukan outbound dan beberapa group ibu-ibu pengajian ramai membentuk rombongan yang menyusuri jalanan yang rindang didalam kebun raya, sementara disudut taman dan dibawah pohon-pohon besar banyak juga dua sejoli yang bercengkerama…. Padahal saya sangat ingat, pameo dan rumor yang beredar di masyarakat, jika pasangan yang masih pacaran masuk kedalam kebun raya sangat ‘pamali’, karena katanya bisa putus nantinya…? Hehehe…. Bagus juga gossip ini disosialisasikan agar taman atau kebun raya di Indonesia tidak seperti Monas yang bila malam tiba berubah jadi ‘Hotel Koran’… yang mana jika ingin tidur ditemani oleh pasangan cukup membeli koran bekas yang banyak dijajakan untuk sekedar alas ‘tidur’… wealah… tapi katanya sekarang sudah ada satpol pp yang patroli di sekitar Monas… mudah-mudahan

Melihat Kebun Raya Bogor, saya seperti melihat sebuah miniatur hutan Indonesia beberapa puluh tahun lalu… ya, beberapa puluh tahun lalu karena koleksi pepohonan di tempat ini sudah sangat mungkin susah untuk ditemui ditempat asalnya. Seperti beberapa jenis tanaman, antara lain Orchidaceae atau tanaman Anggrek, Arecaceae atau Palm-palman, Nepenthaceae atau Kantong Semar serta Cyateaceae atau Paku-pakuan. Hal ini dikarenakan telah banyak dieksploitasi masyarakat, sehingga sudah sangat jarang ditemui di hutan asli….. menyedihkan. Di dekat gerbang utama, ada juga salah satu umbi yang memiliki bunga yang sangat bau namun sangat cantik, yaitu Bunga Bangkai namun sayangnya minggu-minggu ini sedang tidak berbunga… hiks hiks hiks. Yang ironis, Bunga Bangkai lebih sering digunakan oleh negeri jiran Malaysia sebagai ikon pariwisata mereka… hiks hiks.

Menurut catatan sejarah, kebun raya ini dicetuskan pertama kali pada tanggal 15 April 1817 oleh Dr. Casper Goerge Carl Reinwardt yang diutus oleh pemerintah Belanda ke nusantara selaku penasehat ahli dari Tim Botani untuk pengembangan dan penelitian ilmu pengetahuan yang kemudian ide ini disampaikan kepada G.A.G.P. Baron Van Der Capellen,Komisaris Jendral Hindia Belanda saat itu dan beliau akhirnya menyetujui gagasan Reinwardt. Kebun Botani ini didirikan di samping Istana Gubernur Jendral di Bogor pada tanggal 18 Mei 1817, dilakukan pemancangan patok pertama yang menandai berdirinya Kebun Raya yang diberi nama 'Slands Plantentiun te Buitenzorg'.

Saya tidak dapat berlama-lama di kebun raya ini, karena ketika saya datang sudah jam 4 sore sedangkan jam buka dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore saja. Namun kenangan dan berjuta pesona Kebun Raya Bogor mampu memikat hati ini untuk datang dan insya Allah saya akan datang lagi….. hujan deras yang mengguyur kota ini mewanti-wanti untuk selalu membawa payung, karena memang Bogor dikenal sebagai Kota Hujan…. Hujan terus mengguyur sampai saya beranjak meninggalkan kebun raya ini.

Dalam daftar buku tamu banyak kesan dan pesan yang tertulis dari para pengunjung. Seperti ‘Trully Heaven on the Earth’ sebait kalimat yang ditorehkan Vasin Tanghaen salah seorang anggota dari the Group of Thai Palm and Cycad Lovers yang pernah berkunjung ke tempat ini. Kesan singkat lainnya juga di torehkan oleh Chalermchart Sooorangura ; ‘Excellent Garden with Very Knowledgeable staffs’.
I Luv U Full Bogor….

Jumat, 05 Maret 2010

Pariwisata Banten; Hidup Segan Matipun Malu….


Sore tadi tadi saya mendapat kiriman foto yang di tag oleh sahabat saya Ena Hayati ‘wartawati’ di Humas Pemprov Banten. Foto ini sebenarnya adalah foto beberapa minggu lalu ketika kami bersama-sama mendampingi pak Wakil Guberur berkeliling lokasi wisata di Banten bersama seluruh stake holder pariwisata, mulai dari ASITA, PHRI, Instansi terkait dan beberapa wartawan lokal.

Foto ini membuka kembali memori saya saat itu. Bagaimana tidak, beberapa lokasi dan objek wisata yang kami kunjungi sungguh sangat membuat ‘adrenalin’ naik-turun. Objek pertama yang kami kunjungi adalah Istana Kaibon di Kasemen yang merupakan istana persembahan sultan Banten kepada ibundanya… karena itu istana ini dinamakan ‘Kaibon’ asal kata dari ke-ibuan. Tampak sekali perawatan yang tidak memadai membuat istana ini menjadi merana dan tidak menarik dari segi kebersihan, walaupun menyimpan kisah sejarah yang sangat mungkin membuat pengunjung tertarik jika sudah mengunjungi dan mendengar kisah yang tersimpan didalamnya.

Lokasi kedua yang kami kunjungi, adalah Museum Arkeologi Banten Lama yang letaknya bersebelahan dengan Masjid Agung Banten dan berdampingan dengan Istana Surosowan selaku istana Sultan Banten saat masih bertahta. Kami menyusuri lorong-lorong museum ditemani guide dan para petugas museum. Namun sekali sayang….. ketidakterawatan dan ‘lusuhnya’ museum ini terlihat sangat kontras dengan promosi yang menyebar di kalangan para traveler, terutama setelah melihat brosur dan situs web milik pemerintah Banten yang menjelaskan sejarah Banten yang tersimpan di museum ini. Hati ini menjadi miris…. sedih…. dan sekaligus kesal.

Perjalanan dilanjutkan ke kawasan wisata Anyer. Sepanjang perjalanan kami menikmati panorama layaknya turis… padahal cuma pendamping Wagub saja… hehehe. Namun dalam perjalanan sedikit terusik, karena kami melewati jalur jalan baru di Kota Cilegon. Ya, kami melewati jalur Lingkar Selatan yang baru diresmikan beberapa minggu lalu sebelum Pak SBY melewatinya saat akan meresmikan PLTU di Labuan. Sangat kontras sekali. Jalan raya lingkar selatan ini baru diresmikan tapi sudah hancur dibeberapa ruas jalannya… weleh-weleh…..

Setibanya di Anyer kami sempatkan mampir di Pohon Jambu Anyer…. Hehehe, tapi sayangnya belum ada atau tidak ada guide yang bisa menjelaskan secara sederhana apalagi detail cerita tentang Pohon Jambu Anyer yang katanya hanya tumbuh di Anyer, tapi sekrang sedang dikembang biakkan di beberapa daerah lain… hehehe, Jambu aneh bin ajaib…. Mercusuar yang tinggi menjulang sudah memanggil kami, karena letaknya yang diseberang pohon jambu Anyer…. langsung saja kami menyeberang.

Saya sudah beberapa kali menginjakkan kaki di Mercusuar Anyer… karena memang memiliki nilai historis yang kental dengan Krakatau dan kisah Anyer-Panarukan… namun ada yang tidak berubah dari mercusuar ini….. maaf ‘bau pesing’ disekitarnya dan juga didalam mercusuar sangat tidak nyaman… huff. Padahal view dari atas mercusuar dan lambaian daun kelapa sangat memikat hati untuk terus dan terus memanggil untuk berkunjung kembali….

Kami rehat dan berdiskusi kecil bersama Pak Wagub dan teman-teman PHRI dan ASITA di Hotel Mambruk…. Beragam topik muncul dan menjadi bahasan saat rehat. Kelapa muda dan gorengan yang disajikan oleh tuan rumah sangat memikat lidah namun mendengar cerita teman-teman hotel tentang puasa senin-kamis karena minimnya tamu yang menginap saat weekday membuat hati miris …. Apalagi pemilik modalnya ya..??? tak heran, beberapa hotel dan losmen memilih gulung tikar karena ‘digulung aspal’ yang tidak pernah mulus menuju lokasi wisata… banyak komplain yang muncul namun seperti teori ‘masuk kuping kiri dan keluar kuping kanan’… jalan wisata yang menjadi wisata off road jika hari hujan… huhuy…

Makan siang, kami dijamu oleh Pondok Layung yang memiliki arena Outdoor Training Centre… masih baru memang, dan kami disajikan Nasi Bakar dan Bir Kampung… hehehe, asli dan halal katanya…. Namun jumlah tamu dan tingkat okupansinya hanya ramai dikala musim liburan dan weekend saja… sabar.. sabar… sabar… Ternyata tingkat hunian di hari biasa adalah pendemi yang sudah menjadi tradisi di kawasan Anyer-Carita. Rekan saya, Ashok Kumar selaku ketua PHRI Kab. Serang mengatakan, bagaimana mau menarik turis datang ke Anyer kalau infrastruktur tidak dibenahi….??????

Selepas makan siang, kami melanjutkan perjalanan ke Karang Bolong…. Cihuy… cihuy… kami disambut oleh sampah yang menumpuk disudut-sudut areal parkir mobil yang terletak di seberang jalan dari pintu masuk Karang Bolong. Dan ternyata hari itu tidak ada seorangpun wisatawan yang datang… bukan karena akan datang rombongan wagub, namun menurut pengakuan Pak Soleh salah seorang pemilik warung oleh-oleh di daerah itu, kawasan ini hanya ramai di hari libur saja…. asyikkkkkk

Sore harinya kami mengunjungi Kawasan Mega Diversity di kawasan Carita. Udaranya sangat sejuk walaupun berada di tepi pantai Carita…. Rimbunnya pohon di sela-sela suara burung membuat hati damai dan tenang …. Setenang wisma yang katanya selalu sepi dari kunjungan wisatawan… kasihan… lapangan tenis yang tidak terawat, benalu yang ramai bertengger di atap wisma…. dan beragam kisah sedih yang melekat didalam kawasan ini.

Akhir perjalanan kami berkunjung ke Museum Gunung Krakatau di Lippo Carita. Dalam benak saya, mungkin ini adalah obat pelipur lara kami setelah seharian berkunjung ke wilayah yang ‘sangat tidak layak’ dikatakan obyek wisata… karena memang sangat tidak terawat. Nama besar Lippo sudah membayangi mata, pasti museum ini aka menjadi obat……. dan ternyata, Museum Krakatau ini lebih angker… betul-betul angker…. alias sudah tidak terawat. Untuk datang kesitu saja harus melewati rumput yang setinggi lutut…. dan pintunya telah di palang dengan kayu alias sudah tertutup… hiiiiii.

Akhirnya ketika mengetahui rombongan Wagub datang, salah seorang petugas membuka pintu dan terlihatlah beberapa artefak dari Banten Lama… foto dan lukisan Krakatau, Banten dan Suku Baduy yang tidak terawat… hiks… hiks. Sangat ironis… sampai ketika saya melihat-lihat artefak didalam… dan melihat anak-anak tikus yang masih berwarna merahhhhh…….ahhhhh…… saya langsung keluar…. Jujur binatang ini yang paling saya hindari…. hiiiiii

Cukup sudah…. Cukup sudah….. akhirnya perjalan ‘Sidak’ mendampingi Pak Wagub berakhir sampai disini saja…. saya hanya bisa mengelus dada…. Slogan Visit Banten yang sampai saat ini masih bertengger di pintu Tol Cikupa dengan wajah Ibu Gubernur tersenyum dan mengajak para wisatawan berkunjung ke Banten seperti ‘hambar’ dalam ingatan saya…. Billboard pariwisata Banten yang terpampang di Bandara Soekarno-Hatta seperti bertolak belakang dengan kenyataan yang ada….

Jangan dulu kita membandingkan Pariwisata Banten dengan dengan Singapura, Malaysia atau Thailand….. dengan Bali dan Bunaken saja, kita masih jauuuuuuh….. Tahun Kunjuungan Musem 2010, yang dicanangkan ASITA Banten dalam menarik wisatawan seperti menjadi blunder. Saya jadi ingat syair lagu Sheila Madjid...."Antara Anyer dan Jakarta... jalannya selalu rusaaaak"... piss ya Mbak Sheila... I Luv U Full Banten.