Sabtu, 13 Februari 2010

Banjir dan Publisitas Pemimpin Kita


Kemarin dalam perjalanan melewati Kota Jakarta, ada yang sedikit aneh ketika melewati beberapa ruas jalan di jalur dalam kota. Biasanya jika hari libur, jalan-jalan di Jakarta tidak akan macet karena aktifitas keramaian menyusut dikarenakan berkurangnya aktifitas perkantoran. Namun kemarin agak sedikit berbeda, bukan karena adanya mobil yang mogok di dalam jalan tol ataupun adanya demonstrasi. Namun kemarin beberapa ruas jalan di tutup, atau lebih tepatnya tertutup oleh aliran ‘air kiriman’ dari Bogor yang biasanya disebut banjir tahunan. Orang-orang media massa selalu menyebutnya ‘banjir kiriman’.

Kok bisa-bisanya media massa menyebutnya banjir kiriman…? Memangnya banjir tersebut dikirim pakai Pos atau DHL…? Sehingga disebut banjir kiriman…? weleh-weleh…. memang tidak salah, karena banjir di beberapa wilayah pemukiman di Jakarta seperti ritual tahunan yang harus ‘pasrah’ diterima oleh warganya bila datang musim penghujan. Kalau yang dikirim adalah duren atau rambutan apalagi dukuh, tentunya akan menyenangkan kita semua. Tapi kalau yang datang setiap tahun adalah banjir…??? Tentu tidaaaaaaaak.

Dengan sigap, ketika informasi dari penjaga pintu air di Bogor mengatakan bahwa air sudah melewati garis normal, maka para pejabat sudah dengan sigapnya berbicara didepan media bahwa bantuan logistik akan segera datang yang akan diantar langsung oleh pejabat tadi….. HEBAT. Sangat hebat untuk sebuah peningkatan citra, tapi tidak untuk masa depan masyarakat yang setiap tahunnya dihantui kiriman banjir dan bukannya bantuan sementara yang hanya bisa ‘meninabobokan’ sekejap saja.

Saya ingat kejadian banjir yang juga selalu menerjang wilayah Banten Selatan, tepatnya di kawasan Patia dan sekitarnya di Kabupaten Pandeglang. Setiap tahunnya wilayah ini juga selalu mendapat banjir kiriman dari hulu sungai di kawawsan perbukitan.

Hampir semua pejabat dari tingkat Gubernur, Bupati, anggota DPRD, Partai politik, Camat dan kepala Desa dibuat sibuk. Pada hari-H saat banjir datang semua pihak berubah bentuk menjadi ‘sinterklas’ yang dengan keramahan hati mendistribusikan bantuan langsung kepada masyarakat sekitar Patia yang diterjang banjir. Sangat bagus memang dan sangat tepat, walaupun program ‘sunat’ bantuan sudah menjadi rahasia umum.

Ritual tahunan banjir dan pemberian bantuan seperti menjadi kebiasaan yang setiap tahun harus dijalani. Beberapa pejabat hanya enteng mengatakan bahwa kejadian banjir di wilayah-wilayah tersebut merupakan kejadian biasa setiap tahunnya, ketika pejabat tersebut menyikapi dimuatnya foto banjir di Patia Pandeglang tahun yang lalu dimuat di salah satu media massa luar negeri…. Ha ha ha, saya jadi tertawa mendengarnya. Ada alasan lebih konyol dari beberapa pengurus partai politik yang mengatakan bahwa pemberian bantuan ke masyarakat tersebut tidak perlu lagi dilakukan, karena dengan pengalaman mereka, katanya bantuan diterima oleh masyarakat, tapi saat pencoblosan pemilu suara mereka selalu jeblok…. Weleh-weleh… katanya kalau nyumbang harus ikhlas.. ? piye’ toh mas..?

Yang menjadi pertanyaan, apakah memang masyarakat harus ‘pasrah’ menerima keadaan lokasinya menjadi wilayah banjir setiap tahunnya..? Saya jadi terbayang bagaimana Belanda dapat membangun tanggul yang begitu kokohnya untuk menahan laju air yang berada lebih tinggi dari daratannya (walau katanya dana pembangunan tanggul tersebut berasal dari nusantara). Saya juga teringat pembangunan kanal timur di Jakarta yang sampai saat ini menjadi ‘rebutan’ politik dengan beragam alasan.

Banjir di negeri ini menjadi sangat menarik untuk dikaji, disoroti, dinikmati dan dijadikan komoditas pembicaraan dalam parlemen. Anggaran setiap tahun selalu disediakan untuk penanggulangan banjir dan bantuan untuk korban banjir, namun yang disayangkan selalu menguap entah ditelan siapa.

Menjadi lelucon publik tentunya, kalau Pemerintah Provinsi Banten sanggup membiayai peningkatan tinggi ruas jalan di sekitar lampu merah Palima dengan alasan banjir…. dan lupa akan membuat tanggul di Patia yang dalam kenyataannya lebih urgen. Semoga saudara-saudara kita di lokasi-lokasi banjir dapat nyenyak tidur tanpa dihantui rasa takut akan datangnya banjir saat lelap dalam tidurnya…. Minimal dapat bermimpi saat lelapnya kalau-kalau para pemimpinnya masih memperhatikan nasib rakyatnya… amiiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar