Selasa, 24 Agustus 2010

BANDAR UDARA PANIMBANG UNTUK SIAPA..?


Rencana pembangunan Bandara Udara di Kecamatan Panimbang, Banten Selatan sepertinya sudah mendekati tahap akhir. Bupati Pandeglang, Erwan Kurtubi mengatakan bahwa beliau sangat mendukung pembangunan Bandara di Panimbang yang rencananya mulai dikerjakan pada tahun 2016 karena akan menggerakkan roda ekonomi masyarakat sekitar (Kompas, 15 Juni 2010). Sementara itu Ratu Atut selaku Gubernur Banten mengatakan bahwa ia sangat mendukung pembangunan Bandara Udara di Panimbang dengan syarat pembebasan lahan untuk lokasi bandara tersebut harus bebas dari masalah hukum (Tempo interaktif, 13 Juni 2010). Sementara itu, Toni Fathoni Mukson dilain kesempatan mengatakan bahwa salah satu alasan pembangunan bandara tersebut adalah untuk memudahkan penanganan bencana, karena disekitar Panimbang adalah kawasan rawan banjir (Kompas, 15 Juni 2010). Dilain pihak, Aah Maulany Kepala Bapeda Pandeglang mengatakan bahwa salah satu efek dari pembangunan bandara tersebut adalah banyaknya warung-warung kecil yang akan muncul dari pembangunan bandara tersebut (FBnews, 20 Agustus 2010).

Terus terang, dari semua pernyataan-pernyataan tersebut diatas, belum ada yang dapat menjelaskan secara detail akan manfaat riil dari pembangunan Bandara Udara di Kecamatan Panimbang. Beberapa pejabat yang pernah saya wawancarai secara random seputar pembangunan bandara tersebut mengatakan bahwa pembangunan bandara tersebut akan membawa manfaat besar pada perkembangan pariwisata di Banten Selatan. Benarkah demikian..? Untuk itu, berbekal sedikit pengalaman saya yang pernah bergelut dalam industri penerbangan nasional, saya akan membedah satu-persatu alasan yang dikemukakan para pejabat yang terhormat.

Alasan ekonomi di balik pembangunan bandara udara di Panimbang memang masih debatable, bagaimana tidak untuk memaparkan nilai positif dari sisi ekonomi banyak faktor yang harus dijadikan tolak ukur demi pencapaian target dari hasil keuntungan yang hendak dicapai. Teori ekonomi dasar mengatakan bahwa sesuatu bidang usaha yang hendak dilakukan adalah untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, apakah itu keuntungan materi atau keuntungan non-materi. Jika keuntungan materi yang hendak dicapai, apakah hitung-hitungan seberapa besar lama modal akan kembali sudah sesuai dengan yang akan digelontorkan..? karena modal yang hendak digunakan adalah dana APBD dan APBN yang ditanamkan dalam BUMD Banten Global sebesar 1 trilyun sebagai dana awal, maka selayaknya dana tersebut harus 'sedikit' diketahui oleh rakyat Banten. Sementara untuk efek dari perubahan sosial budaya masyarakat sekitar akibat dari keberadaan bandara udara harus dipikirkan secara matang.

Pendapat Aay yang mengatakan bahwa akan banyak warung-warung kecil yang akan muncul dari keberadaan bandara tersebut sangat naïf dan terlalu dangkal. Contoh kasus keberadaan Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta, apakah sudah memberikan tempat yang layak bagi keberadaan warung-warung kecil milik warga pribumi di sekitar Cengkareng..? Apakah ada warga asli Cengkareng yang memiliki warung atau gerai didalam area ataupun disekitar luaran Bandara Udara Soekarno-Hatta..? kecuali warga sekitar hanya menjadi tukang ojek motor dan porter alias 'tukang pikul' di airport serta menjadi pedagang asongan yang terus dikejar-kejar dan main 'kucing-kucingan' di area parkir sekitar terminal Bandara Soekarno-Hatta.

Alasan faktor ekonomi dengan dibangunnya bandara udara tersebut sebagai katalisator pembangunan bagi Banten Selatan kiranya harus masih dikaji lebih dalam, sebab Provinsi Banten sendiri telah memiliki Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang yang masih bisa lebih dioptimalkan bagi pembangunan ekonomi Banten dan Banten Selatan tentunya. Belum lagi telah adanya Bandara Pondok Cabe di Tangerang Selatan yang juga masih masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Banten yang juga bisa lebih dioptimalkan bagi percepatan pembangunan Banten Selatan yang memiliki kedekatan geografis dengan wilayah Lebak.

Sebagai usaha pembangunan bandara perintis, sudah selayaknya apabila pemerintah Provinsi Banten memikirkan secara matang berbagai efek domino yang akan timbul dari pembangunan Bandara perintis tersebut. Beragam hitung-hitungan harus secara cermat perlu diperhatikan. Apakah dengan label perintis, pemerintah sudah mendapatkan operator penerbangan yang mau melayani rute tersebut...? Apakah kelayakan masyarakat sekitar dapat menjangkau harga tiket untuk penerbangan didaerah tersebut dengan jumlah penduduk yang minim di daerah tersebut..?

Pengalaman penulis yang pernah bertugas di salah satu flight carrier di Indonesia, mencari penumpang pesawat udara untuk menutupi load factor pesawat apalagi sebagai bagian dari bandara udara perintis bukanlah persoalan mudah. Apakah operator yang akan menerbangi rute tersebut mau menjadi 'kelinci' percobaan dengan membuka rute setiap harinya..? Padahal seperti kita ketahui, jumlah kunjungan wisatawan yang datang berkunjung ke Tanjung Lesung dan Pulau Umang adalah tamu dengan karateristik week end atau dengan kata lain hanya datang pada waktu akhir pekan. Sebagai perbandingan, Kabupaten Tana Toraja sebagai destinasi wisata nasional, sampai saat ini keberadaan Bandara Pontiku hanya mampu diterbangi oleh dua maskapai kecil dari Makassar dan Balikpapan yang masih harus disubsidi oleh pemerintah daerah setempat yang itupun masih kesulitan menjaring penumpang untuk menutupi load factor pesawat. Jangan sampai keberadaan bandara udara di Panimbang menuai hasil yang sama.

Jalur Selatan-Selatan
Beragam potensi dan obyek wisata yang terbentang di jalur selatan Banten merupakan mutu manikam yang menunggu polesan berbagai pihak untuk dapat dioptimalkan. Mulai dari pesisir barat Anyer dan Carita yang menyambung ke Tanjung Lesung. Namun kendala akan muncul manakala para wisatawan telah tiba di Tanjung Lesung, para wisatawan harus memutar jalur melalui Cibaliung untuk dapat ke Sumur sebagai pelabuhan transit ke Pulau Peucang, Panaitan dan Handeleum. Sebenarnya jalur jalan dari Tanjung Lesung ke Sumur sudah mulai dirintis pada tahun anggaran kemarin. Sangat potensial apabila jalur jalan perintis ini lebih bisa dipercepat agar dapat memotong jumlah waktu yang terbuang. Belum lagi infrastruktur wisata lainnya dari Sumur menuju Bayah melalui jalur selatan yang sampai saat ini masih memprihatinkan. Ditambah jalur jalan wisata dari Leuwidamar menuju Ciboleger yang nasibnya juga setali tiga uang apabila dihubungkan dengan jalur wisata melalui Gunung Kencana.

Jika saja pemerintah mau sedikit serius untuk memajukan pariwisata, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menumbuhkan pedagang kecil, sudah selayaknya pemerintah haarus fokus dan lebih terarah dalam mengambil kebijakan yang pro-rakyat dan bukan pro pada makelar tanah atau pro pada kontraktor pencari proyek sesaat.

Rencana pembangunan Bandara Udara perintis di Panimbang sebaiknya ditinjau ulang. Ditinjau dari berbagai aspek, pembangunan bandara ini tidak layak bila beralasan untuk percepatan ekonomi, penanganan bencana atau menumbuhkan pedagang kecil..?

Jalur jalan dan keberadaan terminal yang tersebar di Pandeglang dan Labuan sampai saat ini masih memprihatinkan. Sudah selayaknya, prioritas pembangunan lebih diarahkan untuk perbaikan jalan dan pembukaan jalur baru yang lebih dibutuhkan serta pembangunan pelabuhan perintis di Kecamatan Sumur yang merupakan sentra percepatan ekonomi di wilayah selatan. Sebab dengan mempertimbangkan kedekatan Bandara Udara Soekarno-Hatta yang hanya beberapa kilometer dari Banten Selatan sangat naïf bila harus dibangun bandara serupa walau masih bersifat rintisan.... Jangan sampai ketika bandara sudah jadi, malah hanya sapi dan kambing saja yang menjadi penghuni tetap.

Dikhawatirkan dengan digelontorkannya dana trilyunan rupiah untuk sebuah gengsi pembangunan bandara udara lantas mengabaikan prioritas pembangunan lain yang sebenarnya lebih dibutuhkan oleh masyarakat di Banten Selatan.


*) penulis : mantan Manager Citilink Garuda Indonesia Cabang Makassar.

Sabtu, 21 Agustus 2010

DESA KITA, MINIATUR INDONESIA YANG TERLUPA


Beberapa hari kemarin saya berkesempatan menemani rekan-rekan dari Jepang yang melakukan penelitian tentang Desa di beberapa lokasi di Indonesia, seperti di Banten, Jogja, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Banyak pengalaman baru yang saya dapatkan dari berkunjungan langsung, melihat dan merasakan keseharian para penggerak pemerintahan Desa.

Sebagai institusi terlengkap dengan infrastruktur pemerintahan yang mengurusi hajat hidup orang banyak, sebuah Desa memiliki peranan yang sangat vital, mulai dari mengurusi surat pengantar pembuatan KTP, KK, Kartu Kuning, sampai urusan menjadi 'kantor perwakilan' pajak dengan mengumpulkan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dari masyarakat.

Ironisnya, mayoritas kepala desa di Indonesia tidak ada yang digaji tetap dari pemerintah selain tunjangan yang nilai rupiahnya jauh dari angka minimal upah pekerja seperti UMK atau UMR. Kebalikannya jumlah peminat setiap pemilihan kepala desa selalu penuh dengan kandidat yang bernafsu untuk meraih tahta agar dapat duduk di kursi kepala desa yang terkadang menghabiskan uang ratusan juta rupiah... weleh-weleh.

Akibat dari lebih besarnya pasak daripada tiang, seringkali untuk mengakali pendapatan, para kepala desa sering bermanuver dengan 'penyelewengan' dana pembangunan, pembelokkan pembagian raskin, hingga mengutip dana pembuatan KTP dan KK yang seringkali dinilai tidak wajar oleh para warganya sendiri. Bila fungsi BPD (Badan Pengawas Desa) sesuai dengan fungsi dan tugas yang sesuai, maka kontrol terhadap kinerja kepala desa akan lebih efektif, namun lebih banyak BPD sendiri memaklumi dan sebagian lainnya tidak mengetahui fungsinya kerjanya sendiri.

Ternyata, dari tujuh puluh dua ribu jumlah desa di Indonesia masih harus ditelusuri lagi, seberapa banyak desa yang memiliki kantor sendiri..? Untuk Kecamatan Banjarsari di Kabupaten Lebak, 10 dari 16 desa belum memiliki kantor, begitupula di wilayah Kota Serang, dari 12 desa di Walantaka hanya delapan desa yang memiliki kantor desa. Belum lagi dengan desa-desa hasil pemekaran yang notabene sebagai desa baru yang belum memiliki infrastruktur. Hal ini disebabkan oleh beragam faktor, mulai dari sengketa lahan hingga perebutan aset dan perhatian pemerintah daerah yang 'kurang serius' memperhatikan pembangunan kantor desa sebagai representatif kantor urusan pemerintah pusat dan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Secara otomatis, urusan pelayanan administrasi kepada masyarakat seringkali dilakukan di rumah kepala desa atau dirumah sekretaris desa dan bahkan yang lebih konyol kadangkala urusan administrasi dilakukan secara mobile atau berpindah-pindah... hehehe.

BANTUAN DESA
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat dirubah statusnya menjadi kelurahan.

Disinilah dualisme itu muncul, disatu sisi Desa diperlukan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, disisi lain Desa tidak juga diakui secara riil sebagai bagian dari perangkat daerah.

Hal ini merupakan pengingkaran terhadap hak-hak dasar penyelenggaraan pemerintahan, beberapa desa yang saya kunjungi para kepala desa harus bermanuver dalam mencukupi keuangan desa masing-masing. Ada yang membuat puluhan proposal agar dapat proyek dari pemerintah daerah, provinsi dan pusat. Namun ironisnya, puluhan proposal hanya menjadi tumpukan semata bila tidak memiliki jaringan politik dan koneksi yang kuat dengan kepala daerah.

Sahabat saya Yayan yang menjadi Kepala Desa di daerah Lebak Selatan menjadi terkenal dengan sebutan Kades Proposal. Ia mengakui kalau tidak menyebarkan proposal demi mendapatkan proyek pembangunan di desanya, sangat sulit untuk menutupi keuangan desa dam membiayai pembangunannya. Lain lagi dengan sahabat saya di Kota Serang yang menjadi Kepala Desa di Kalodran, beliau mengakui sudah menyebarkan puluhan proposal pembangunan, namun sayangnya sejak menjabat sejak tiga tahun lalu, belum satupun proposal pembangunan yang ia ajukan direalisasikan... huff. Hal ini ia akui, bahwa ia memang tidak memiliki koneksi terhadap partai politik atau 'orang dekat' walikota. Untuk menambah penghasilan, sampai sat ini ia masih bekerja di salah satu perusahaan swasta.

Hal ini berlaku juga dengan beberapa Lembang (Desa) di Tanah Toraja, koneksi politik yang kuat sangat diperlukan dalam mencari proyek. Ironisnya proses Musrembang (Musyawarah Rencana Pembangunan) yang berlaku di tiap desa biasanya hanya menjadi kertas kerja yang akan menjadi tumpukan kertas setiap tahunnya di meja para birokrat di tingkat kabupaten atau provinsi.

Yang sedikit menggelitik, biasanya Desa akan kebanjiran bantuan saat mendekati Pemilu dan Pilkada Bupati/Walikota atau Pilkada Gubernur. Aneka bantuan dana Desa seperti Fresh Money atau nama lain yang intinya adalah 'pendekatan' penguasa untuk mengambil hati kepala desa agar tetap 'mendukung' program dan melanjutkan pembangunan dengan 'tetap' mengkondisikan pemenangan calon yang berkuasa. Yang memprihatinkan adalah apabila lewat masa pemilu atau pilkada maka bantuan tersebut akan dihentikan sampai waktu yang tidak ditentukan.

Status seorang Kepala Desa yang memegang 'kuasa' dengan ratusan bahkan ribuan jiwa, merupakan sekelompok penduduk yang menjadi target suara pemilih bagi penyumbang suara kursi DPRD dan DPR. Hal ini menjadikan posisi Kepala Desa menjadi sangat vital dan menentukan saat pemilu dan Pilkada, yang merupakan posisi 'basah' bagi para pencari suara. Tidak sedikit para calon legislatif dan calon pemimpin daerah selalu mendekati kepala desa di saat-saat seperti itu. Seperti sudah lazim, bila pesta pemilihan legislatif dan pesta pemilihan kepala daerah telah selesai, maka dapat dipastikan beribu janji dan iming-iming saat pendekatan dulu hanya menjadi cerita pepesan kosong.

Desa sebagai miniatur Indonesia sekali lagi hanya menjadi bahan dan perebutan kekuasaan dengan melupakan eksistensinya sendiri. Arti kesejahteraan dan kemakmuran yang selalu dijadikan slogan seolah menguap seiring dengan berjalannya waktu. Jumlah pemuda dan pemudi yang bermukim di Desa menjadi semakin sedikit karena lapangan kerja bagi mereka seolah tertutup. Bagaimana tidak, ongkos produksi pertanian terkadang lebih tinggi daripada hasil jual pertanian itu sendiri. Potensi dan beragam sumber daya yang tersedia di pedesaan terkadang hanya menjadikan masyarakat di desa-desa tersebut sebagai penonton dalam gerak laju pertumbuhan ekonomi.

Tidak mengherankan bila 255 Desa yang tersebar di 15 Kecamatan di wilayah perbatasan Kalimantan Timur lebih enjoy menggunakan mata uang Ringgit Malaysia dan beberapa Desa di wilayah perbatasan di Papua lebih mudah menggunakan mata uang Kina (Koran Sindo, 17 Agustus 2010). Yang menakutkan bila kelak nantinya warga Desa tersebut memilih referendum dan meminta bergabung dengan negara tetangga..???

Sabtu, 17 Juli 2010

APAKAH MASIH PERLU MENGGUNAKAN PATWAL


Beberapa hari kemarin sebuah surat pembaca yang dimuat di Harian Kompas sempat membuat ‘geger’ istana. Hal ini dikarenakan surat pembaca tersebut mengkritisi ‘ritual’ patwal yang menjadi bodi kuat alias bodyguard sang presiden dari kediamannya di Cikeas ke Istana Negara di Medan Merdeka.

Dapat kita bayangkan bagaimana tidak nyamannya bila hampir setiap hari masyarakat harus berhadapan dengan kemacetan yang disebabkan oleh iring-iringan mobil kepresidenan yang seharusnya bbisa dihindari bila sang presiden mau tinggal di istana lebih sering daripada tinggal di Cikeas. Padahal jalur tersebut sudah sangat macet bila hari dan jam kerja.

Surat pembaca tersebut dari seorang wartawan bernama Hendra NS :

Redaksi Yth,
Trauma oleh Patwal Presiden Sebagai tetangga dekat Pak SBY, hampir saban hari saya menyaksikan arogansi Patroli dan Pengawalan (Patwal) iring-iringan Presiden di jalur Cikeas-Cibubur sampai Tol Jagorawi. Karena itu, saya-juga mayoritas pengguna jalan itu-memilih menghindar dan menjauh bila terdengar sirene Patwal.

Namun, kejadian Jumat (9/7) sekitar pukul 13.00 di Pintu Tol Cililitan (antara Tol Jagorawi dan tol dalam kota) sungguh menyisakan pengalaman traumatik, khususnya bagi anak perempuan saya.
Setelah membayar tarif tol dalam kota, terdengar sirene dan hardikan petugas lewat mikrofon untuk segera menyingkir. Saya pun sadar, Pak SBY atau keluarganya akan lewat. Saya dan pengguna jalan lain memperlambat kendaraan, mencari posisi berhenti paling aman. Tiba-tiba muncul belasan mobil Patwal membuat barisan penutup semua jalur, kira-kira 100 meter setelah Pintu Tol Cililitan. Mobil kami paling depan. Mobil Patwal yang tepat di depan saya dengan isyarat tangan memerintahkan untuk bergerak ke kiri. Secara perlahan, saya membelokkan setir ke kiri.

Namun, muncul perintah lain lewat pelantam suara untuk menepi ke kanan dengan menyebut merek dan tipe mobil saya secara jelas. Saat saya ke kanan, Patwal di depan murka bilang ke kiri. Saya ke kiri, suara dari pelantam membentak ke kanan. Bingung dan panik, sayapun diam menunggu perintah mana yang saya laksanakan.

Patwal di depan turun dan menghajar kap mesin mobil saya dan memukul spion kanan sampai terlipat. Dari mulutnya terdengar ancaman, “Apa mau Anda saya bedil?” Setelah menepi di sisi paling kiri, polisi itu menghampiri saya. Makian dan umpatan meluncur tanpa memberi saya kesempatan bicara. Melihat putri saya ketakutan, saya akhirnya mendebatnya.

Saya jelaskan situasi tadi. Amarahya tak mereda, malah terucap alasan konyol tak masuk akal seperti “dari mana sumber suara speaker itu?”, atau “mestinya kamu ikuti saya saja”, atau “tangan saya sudah mau patah gara-gara memberi tanda ke kiri”. Permintaan saya dipertemukan dengan oknum pemberi perintah dari pelantam tak digubris. Intimidasi hampir 10 menit yang berlangsung tepat di depan Kantor Jasa Marga itu tak mengetuk hati satu pun dari anggota Patwal lain yang menyaksikan kejadian itu. Paling tidak, menunjukkan diri sebagai pelayan pelindung masyarakat. Karena dialog tak kondusif, saya buka identitas saya sebagai wartawan untuk mencegah oknum melakukan tindak kekerasan. Ia malah melecehkan profesi wartawan dan tak mengakui perbuatannya merusak mobil saya. Identitasnya tertutup rompi. Oknum ini malah mengeluarkan ocehan, “Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini?”

Saat rombongan SBY lewat, ia segera berlari menuju mobil PJR-nya, mengikuti belasan temannya meninggalkan saya dan putri saya yang terbengong-bengong.

Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga.

HENDRA NS
Cibubur

Sederhana memang isi dari surat pembaca tersebut namun memiliki makna yang dalam bila Pak Presiden mau mendengar…. dan beberapa jam setelah surat pembaca tersebut dimuat di Kompas, hampir semua milis dan jejaring sosial mengomentari surat pembaca tersebut.

Mungkin diantara kita ada juga yang sering mendapatkan sikap yang tidak mengenakan ketika sedang berkendaraan lantas distop dan disuruh menyingkir untuk memberikan jalan bagi para pejabat… weleh-weleh.

Bulan lalu, ketika dalam perjalanan dari Danau Toba ke Kota Medan, mobil yang kami tumpangi sempat ditendang oleh para pengawal iring-iringan motor besar yang sedang melakukan konvoi. Supir didalam mobil yang saya kendarai awalnya sudah berhenti ketika seorang patwal menyuruhnya stop. Namun saya perintahkan kembali untuk tetap melajukan mobilnya setelah saya ketahui bahwa yang hendak lewat bukanlah ambulance tetapi hanya iringan motor besar alias Harley Davidson… huff, lantas secepat kilat seorang patwal dari arah belakang menendang mobil kami dan kami hanya bisa mengurut dada…. Baru beberapa hari kemudian ketika saya membaca harian Seputar Indonesia yang memuat ulasan dan foto Touring Harley di Sumatera Utara, ternyata para peserta iring-iringan motor besar tersebut adalah rombongan Kapolda Sumatera Utara… cabe deh.

Kejadian lainnya ketika salah satu kandidat calon bupati dengan slogan Tuntas di Provinsi Banten yang baru mendeklarasikan diri di Masjid Agung Serang lantas menyetop semua kendaraan yang hendak lewat di Jalan Veteran tepat di depan kantor yang saya tempati. Dalam hati, apa urgensinya memberikan jalan prioritas bagi pasangan calon bupati…? Selain brisik juga membuat pengguna jalan lainnya menjadi tidak nyaman tentunya.

Setelah kejadian tersebut, kiranya pemakaian patwal bagi para pejabat kiranya mesti ditinjau ulang..? selain menghabiskan anggaran tentunya juga merepotkan para pengguna jalan lainnya, padahal kita juga membayar pajak kendaraan dan pajak lainnya yang seharusnya sama berhak menggunakan jalan…??? Kalau untuk ambulance dan petugas pemadam kebakaran, memang harus diprioritaskan untuk diberikan jalan, namun untuk pejabat…? No Way…. Beberapa pejabat diluar negeri sangat tabu menggunakan patwal, tapi di negeri ini seperti menjadi kebutuhan dan kebanggan tersendiri.
Namun memang sebagai rakyat Indonesia, kita harus tetap sabar dan sabar… sabar saja, sudah untung bisa hidup di Indonesia…. I Luv U full Indonesia.

Minggu, 11 Juli 2010

Angkutan Rakyat


Sabtu kemarin saya ‘kembali’ mencoba angkutan rakyat yang paling popular di Pulau Jawa. Tidak salah lagi kalau itu adalah kereta api. Saya naik dari stasiun dari Kota Serang menuju Parung Panjang di Bogor. Dengan harga tiket sekali jalan seharga empat ribu rupiah. Sangat murah memang, kalau tidak dibilang terlalu murah. Namun tiket seharga segitupun masih banyak masyarakat yang lebih senang membayar diatas peron dibanding membeli tiket di loket, tentunya jika membayar di atas peron jauh lebih murah karena bisa ‘bermain mata’ dengan petugas… asyik.

Sejak pertama kali saya menikmati perjalanan dengan kereta api lima belas tahun lalu dengan rute Kota Serang-Tanah Abang, hingga kemarin ketika terakhir kali saya naik kembali dengan rute turun di Parung, tidak banyak yang berubah. Masih seperti yang dulu, kereta penuh sesak dengan penumpang, pedagang asongan yang seolah tidak pernah putus dan sepertinya lebih banyak pedagang daripada penumpang, iringan musik dari pengamen yang jumlah disetiap gerbongnya selalu ada dengan lagu-lagu aneka warna mulai dari dangdut, pop sampai yang berlirik Inggris dengan dialek Sunda dan cegok Jawa.

Saya menjadi merinding dengan beragam sifat dan sikap penumpang ‘gelap’ yang berseliweran meminta belas kasihan dengan sedikit memaksa para penumpang. Saya katakan penumpang gelap karena bukan penumpang dengan tiket dan bukan pula pedagang asongan yang hilir mudik, mereka penumpang gelap adalah para penumpang yang meminta uang dengan beragam alasan. Ada yang meminta uang dengan menyebarkan amplop kosong dengan alasan pembangunan masjid, pondok pesantren hingga majlis taklim, ada juga peminta uang gaya preman yang memaksa penumpang karena telah membersihkan lantai peron… siapa juga yang nyuruh nyapu di kereta, kalau tidak dikasih, kaki penumpang, terutama kaum wanita akan di sapu-sapu terus… huff…. Belum lagi kerawanan angka kriminalitas di kereta yang tidak memiliki standar keselamatan dan keamanan yang memadai.

Sudah seharusnya disetiap peron ditempatkan satuan pengamanan (seperti di Busway), syukur-syukur kalau dari salah satu angkatan… bukan apa-apa, dalam sekali perjalanan kemarin beberapa penumpang kehilangan dompet, jam, hp dan lain-lain, dan itu belum termasuk pelecehan seksual yang nyata-nyata terjadi… mulai dari colak-colek ‘sekwilda’ alias sekitar wilayah dada hingga remas-meremas ‘maaf’ pantat yang seperti sudah mahfum terjadi…. Weleh-weleh

Pengalaman rekan saya Jaya Komarudin yang saat ini bermukim di Abu Dhabi beberapa tahun lalu yang lalu saat mencoba menikmati perjalanan dengan kereta bersama keluarga harus merelakan HP di kereta saat baru naik di stasiun Serang… huff… sabar Jay, sekarang sudah dapat penggantinya kan..? hehehe

Terkadang saya merasa iri dengan fasilitas angkutan kereta di wilayah timur yang memulai perjalanan dari Jakarta. Pilihan kelas dari Jakarta yang menuju wilayah timur Pulau Jawa terasa sangat bervariasi dengan aneka kelas yang tersedia. Saya pernah menaiki kereta kelas eksekutif dari Jakarta ke Jogjakarta dengan fasilitas eksekutif... walaupun terkadang delay-nya nggak ketulungan. Saya juga pernah menaiki kereta wisata dari Jakarta ke Pekalongan dengan fasilitas wuiih… (kereta ini sering digunakan para pejabat dan artis Indonesia yang berpergian ke kota-kota di Jawa yang tidak disinggahi oleh pesawat). Tapi kereta penumpang yang ke wilayah barat... seperti tidak mendapat pehatian yang selayaknya. Fasilitas kereta di wilayah barat dari Jakarta ke Merak dan sebaliknya seperti hidup segan mati tak mau. Dulu pernah ada kereta bisnis tapi saat ini mati suri.

Kadang saya jadi berfikir ulang, apakah kita harus dijajah kembali untuk memperbaiki sistem transportasi perkerata apian di wilyah Banten.
Jika saya berjalan ke wilayah selatan Banten, sisa-sisa rel dari Labuan ke Saketi dan Bayah tinggal kenangan, begitu pula dengan sisa rel dan stasiun yang tersisa di Anyer… Saya sudah segan membandingkan fasilitas kereta kita dengan kereta serupa di Singapura, Malaysia dan Thailand…. Mimpi kali ye…..

Kereta Api di Banten dan Indonesia pada umumnya seperti sapi perah pada setiap jenjangnya, yang tidak mengalami perubahan signifikan selain gebrakan awal Menteri Fredy Numberi yang mencopot kepala stasiun Beos-Kota Jakarta seminggu dalam masa jabatannya sebagai menteri, namun kini sunyi sepi tak berarti.

Stasiun-stasiun yang disinggahi kereta disetiap tempat pemberhentiannyan tak ubahnya seperti pasar mendadak. Begitupula dengan lokasi pemberhentian kereta yang dapat menaikkan dan menurunkan penumpang dimana saja, seperti angkot yang dapat berhenti di tengah jalan….

Satu hal yang membuat saya tetap mencintai kereta api di Indonesia adalah suguhan pemandangan indah yang tidak bisa saya lupakan. I Love U full Kereta Api Indonesia……. mudah-mudahan para pemimpin di Banten bisa sedikit memperhatikan sarana angkutan kereta api, tidak perlu menggunakan kereta api sewaktu kunjungan kerja (dibeberapa negara Eropa, para pejabat harus menggunakan kereta dalam kunjungan kerja antar sesama negara Eropa), tidak perlu memakai kereta saat kampanye saja.... tapi cukup sedikit perhatian untuk memperbaiki sistem dan peremajaan kereta untuk rakyat... yah sedikit saja, asalkan kereta menjadi sarana yang layak, aman dan nyaman.

Kereta api adalah angkutan massal yang mampu menekan emisi dan efisiensi BBM. Jika sistem transportasi masssal dapat dibenahi, tingkat kemacetan, kesulitan akses pengangkutan dan masalah transportasi lainnya dapat sedikit teratasi... jadi tidak perlu menungu kembalinya penjajah untuk memperbaiki semua fasilitas tersebut...

Senin, 07 Juni 2010

Wahai Wakil Rakyat…. Apa lagi yang kau mau..?


Hari-hari terakhir ini ada lagi kabar santer yang terus menerus membuat kuping menjadi panas, mata menjadi merah dan dada bergejolak. Berita apalagi kalau bukan berita seputar anggota dewan yang terhormat.

Belum lagi kering dari ingatan seputar dana pelantikan anggota DPR yang mengeluarkan uang 28,5 miliar, permintaan computer dan laptop baru sebesar Rp 11,03 miliar, biaya renovasi rumah dengan total nilai 300 Milyar, permintaan mobil baru seharga 1.8 Milyar perorang, Biaya renovasi gedung DPR senilai 1.8 Trilyun… dan terakhir permintaan dana aspirasi setiap anggota dewan sebesar 15 Milyar perorang….. wuiiih, jangan coba hitung berapa angka nol jika semua nilai-nilai tersebut dijumlahkan…..

Saya hanya bisa mengurut dada melihat pola dan tingkah laku para wakil rakyat yang terhormat. Perdebatan seputar dana aspirasi seperti alur sinetron yang tidak ada ujung pangkalnya. Satu fraksi mendukung habis-habisan, fraksi lainnya menolak dengan ‘gagah’ didepan media namun tidak dinyatakan dalam suara bulat secara utuh melalui suara fraksi, dan ujung-ujungnya memang mereka sangat mengharapkan agar dana 15 milyar tetap bisa GOLLLL….

Sejak dilantik menjadi anggota dewan yang terhormat, para wakil rakyat seperti berlomba ‘memerah’ arus keuangan negara dengan beragam cara. Dengan alasan untuk menunjang kinerja dan produktifitas maka diperlukan beragam fasilitas yang mendukung agar semuanya berjalan lancar…. Weleh-weleh…

Perlombaan menunjukkan ‘kegagahan’ seperti hal lumrah untuk dipertontonkan kepada khalayak dan ummat yang memilihnya. Berita penolakan seperti angin lalu yang masuk telinga kiri dan akhirnya dengan mulus keluar melalui telinga kanan. Tidak ada rasa berdosa.. ataukah memang rasa berdosa itu sudah menguap entah kemana…???

Minggu kemarin saat saya mengikuti meeting dengan rekan Jepang di Hotel Atlet Century di Senayan-Jakarta, terlihat masuk ke lobby hotel salah seorang anggota dewan yang baru turun dari mobil Jeep Hummer…. Ya, dengan senyum kembang merekah tebar pesona gagah gemulai menapaki lobby hotel, beberapa room boy dan resepsionis berbisik-bisik dan saling pandang, lantas rekan saya dari Jepang menanyakan apakah mengenal orang tersebut… saya bilang saya mengenalnya tapi saya sangsi apakah beliau mengenal saya… hahahaha (Ge-Er amat sih..) Sebuah parodi tentang wakil rakyat sempat menjadi buah bibir di pagi itu menemani kami sarapan…. Hmmmmm, padahal gossip ini telah lama menjadi topik yang menarik dalam milis dan berita... huff

Akhirnya pembicaraan kami berputar kesana-kesini dalam meeting pagi itu yang menjadi hambar bagi saya. Beberapa hari lalu, rekan saya dari Jepang kembali mengirim berita seputar Perdana Menteri Hatoyama yang mengundurkan diri dari jabatnnya yang baru di emban beberapa bulan…. Salah satu alasannya adalah karena beliau tidak dapat menepati janji kampanye disamping tekanan rakyat seputar pangkalan amerika di Jepang….. saya jadi berpikir, kapan ada pemimpin atau wakil rakyat yang mau mengundurkan diri dari jabatannya bila mereka tidak bisa menepati janjinya saat kampanye. Belum lagi selesai gossip seputar tarik ulur dan men-delay-kan kasus-kasus hukum yang berimbas kepada hajat hidup orang banyak, beragam berita memilukan menghampiri kita setiap hari.

Bulan kemarin, saya beberapa kali bertemu dengan sahabat sekaligus ‘guru’ politik saya di Singapura… beliau mantan Anggota Parlemen, Mantan Sekretaris Kabinet dan mantan major (setingkat walikota). Saya terkadang menjadi malu sendiri, karena dalam kesibukan beliau menjabat sebagai komisaris di beberapa perusahaan di Singapura masih mau menjemput saya hingga beberapa kali di Changi Airport, padahal sudah saya tolak namun kata beliau lebih santai kalau ngobrol berawal dari airport….

Beberapa topik pembicaraan yang sering saya ajukan adalah gaya hidup para wakil rakyat Singapura. Walaupun beberapa rekan saya mati-matian benci dengan Singapura dengan alasan ‘pelindung’ para koruptor… tapi memang semuanya dikembalikan kepada political will pemerintah kita sendiri… kalau seorang Gayus dapat dipulangkan dengan mudah, mengapa koruptor kelas kakap lainnya tidak dapat dipulangkan dengan cara yang sama…? Ada apa dibalik semua ini..? saya hanya melihat ada udang dibalik rempeyek….

Sahabat saya tersebut menceritakan bagaimana keseharian menteri dan anggota parlemen di Singapura yang harus ‘minimal’ menyamai gaya hidup warga kebanyakan, dalam arti tidak boleh jor-joran sementara rakyatnya hidup dalam penderitaan. Begitu pula dengan aturan hukum yang berlaku sama, apakah masih menjabat ataupun setelah tidak menjabat. Dipikir-pikir, saya jadi malu hati sendiri melihat negeri ini…. Huff… semnagats… semangats… ganbatte

Minggu kemarin saya berkesempatan mengunjungi sahabat saya seorang ustadz muda di Ujung Kulon. Untuk mendatangi pesantrennya, mobil kami harus berjibaku dengan lumpur dan aneka lubang yang siap menggoyang seisi mobil… gerrrr. Jarak tempuh Jakarta-Ujung Kulon sejauh 230 kilometer harus kami tempuh dalam lima jam perjalanan darat tanpa istirahat…. Weleh-weleh,,,,, kata teman saya yang turut serta dari Jakarta, nikmati saja Indonesia kita….

Saya masih ingat beberapa janji saat kampanye…. Penguatan infrastruktur (entah infrastruktur yang mana yang mau diperkuat..? infrastruktur keuangan pribadi atau alur dan jalur lalu lintas..?). Rekan-rekan saya di PHRI (Persatuan Hotel & Restaurant Indonesia) Cabang Banten sampai harus ‘mengemis’ agar jalan dari dan ke lokasi wisata diperhatikan…. Nyatanya, sampai saat ini jalan menuju Anyer, Carita, Ujung Kulon, Baduy dan Sawarna seperti menjadi pengiring musik hidup yang siap menggoyang isi perut para penumpang mobil yang melintasinya…. Dan mirisnya beberapa kali kecelakaan terjadi disebabkan karena jalanan yang rusak….

Tidak perlu data Gizi buruk, tidak perlu data anak putus sekolah, tidak perlu data jalan rusak… saat ini yang ‘mereka’ butuhkan adalah bagaimana dan selayaknya nafsu syahwat agar dana 15 Milyar per-daerah pemilihan bisa cair… bagaimana agar wibawa dan citra tetap terjaga dihadapan konstituen, bagaimana agar tidak ada lagi yang mengkritisi dan tetap langgeng menikmati dana rakyat hingga tiba waktu kampanye dan telah siap dengan secangkir beras, beberapa bungkus mie instan, kaos bergambar dan selipan amplop sesaat sebelum pemilihan…. Beresss semuanya…. Untuk menikmati pendidikan bermutu, kesehatan berkualitas dan jalan yang mulus, mari kita tidur dulu hingga kita bisa bermimpi…. I Love U full Indonesia….

Minggu, 02 Mei 2010

Pengembangan Pariwisata Kota Solo… Sebuah Catatan


Minggu kemarin, selama dua hari saya habiskan keliling Kota Solo dalam rangka pendampingan Studi Banding Dinas Pariwisata Provinsi Banten dan Kota Serang ke Kota Solo, Jawa Tengah. Pemilihan Solo sebagai salah satu kota tujuan studi banding adalah karena keberhasilan kota ini ‘menyulap’ beberapa bagian dari kota ini yang dulunya kumuh menjadi lebih ‘berbudaya’ termasuk beberapa lokasi wisata.

Sebelumnya saya telah beberapa mengunjungi kota ini, tapi tentunya sekelebat saja dan tidak focus melihat pengembangan Solo menjadi Kota Wisata berbasis budaya. Namun tahun lalu rekan sekaligus ‘guru’ saya Okamoto Masaaki yang saat ini menetap dan mengajar di Kyoto memberikan data-data seputar kesuksesan Kota Solo saat beliau melakukan studi komparatif tentang kota tersebut. Beliau bercerita tentang kesuksesan pengembangan Solo dibawah kepemimpinan Walikota Joko Widodo yang akrab disapa ‘Jokowi’. Minggu kemarin ketika saya tiba di Solo, baru saja kota tersebut melakukan pilkada yang kembali dimenangkan oleh Jokowi dengan perolehan suara mayoritas 90%.... setara dengan pilkada Kota Tangerang yang dimenangkan oleh Wahidin Halim.

Rencana ke Kota Solo berawal dari pembicaraan bulan lalu, teman saya yang berdinas di Pariwisata Provinsi Banten mengutarakan sedang mencari kota yang telah sukses mengembangkan pedagang kaki lima yang berkutat di bisnis kuliner, dan akhirnya setelah berdiskusi pilihan itu jatuh pada Kota Solo yang sukses mengembangkan Langen Bogan sebagai sentra kuliner Surakarta.

Tidak salah memang, dua hari di Solo dalam ‘pengembaraan’ mencari informasi seputar Langen Bogan dan tempat-tempat wisata lainnya, kami mendapatkan banyak info baru dari para pengambil kebijakan. Awalnya kami akan berdiskusi dengan Pak Walikota, namun karena saat kami datang beliau sedang tidak menjabat karena baru melakukan pilkada… maka kami diterima oleh Kepala Dinas Pariwisata Kota Surakarta dan Kepala Dinas Perindustrian Kota Surakarta. Hal ini dikarenakan kawasan Langen Bogan berada di bawah kedua institusi ini.

Jika melihat sepintas, kawasan Langen Bogan tidak ubahnya seperti jalan Diponegoro di Kota Serang yang dipenuhi dengan tenda-tenda penjual makanan…. Atau kawasan selatan Alun-alun Kota Serang yang mulai ditumbuhi oleh para pedagang makanan. Namun ada yang khas dari Langen Bogan, yaitu managemen pengorganisasian para pedagang kaki lima (PKL) yang mau dan mampu diajak untuk menuju perbaikan.

Beberapa data singkat yang saya dapatkan, kawasan Langen Bogan di Kota Solo adalah sentra kuliner yang menjajakan ragam makanan khas Solo dan Jawa pada umumnya. Awalnya sentra ini dibiayai oleh dana APBD dan mendapat hibah dari kementrian perindustrian. Selain itu, pengelolaan sumber listrik, air dan sampah serta keamanan dikelola secara swakelola dari iuran yang dikumpulkan dari para pedagang yang tergabung dalam kawasan ini sekitar 76 PKL. Iuran yang dikumpulkan ditarik secara regular setiap malamnya sebesar 15.000,-/pedagang, iuran yang masuk akal tentunya.

Jangan harap kita didatangi pengemis atau pengamen jalanan saat sedang makan…. atau khawatir bisingnya kendaraan bermotor yang melintas disamping tenda…. Semua itu tidak akan dijumpai di Langen Bogan. Atau mungkin khawatir uang di kantong tidak cukup saat akan membayar karena tidak adanya tarif resmi… semua itu sejenak dilupakan.

Saya punya pengalaman kurang mengenakan saat makan di kawasan Malioboro Jogja yang menetapkan tariff diluar kewajaran… atau ketenangan makan terganggu saat pengemis dan pengamen yang tidak putus-putusnya saat menyantap nasi sumsum di Ponegoro Serang…. Huff. Semua itu tidak terjadi di Langen Bogan, karena para pengemis dan pengamen dilarang keras masuk dalam kawasan ini karena dijaga oleh security internal dari masyarakat. Dan semua menu harus mencantumkan harga saat hendak ditawarkan kepada para konsumen….. hmmm.

Kota Solo, ternyata bukan hanya punya Bengawan Solo yang memang sudah tersohor di pentas dunia. Beberapa gebrakan baru yang dibuat oleh Jokowi membuat beberapa pemerhati dan pengamat menjadi terkesima. Bagaimana pemindahan para PKL yang berjumlah 989 dari dari Monjari ke Pasar Klithikan tanpa melibatkan satpol pp dan bahkan disuguhkan kirab pengawal istana dan karnaval…. Padahal beberapa walikota sebelumnya selalu buntu untuk memindahkan para PKL. Belum lagipemberian SIUP (Surat Izin Usaha Perdagangan) dan SITU (Surat Izin Tempat Usaha) yang diberikan secara gratis kepada masyarakat yang akan memulai usaha.

Saat di Bandara Adi Sumarmo, Koran Solo Post masih ditangan… saya hanya melihat berita seputar kemenangan Jokowi yang meraih 90% suara…. mutlak. Setiap masyarakat Solo yang Tanya tentang kepemimpinan walikotanya… semua memberikan apresiasi positif…. Bagi warga Solo yang penting dapat berusaha dengan mudah bagi rakyat kecil, pendidikan terjangkau untuk seluruh masyarakat dan kepastian berinvestasi, kata pengusaha…..

Beberapa saat lalu, saat saya di Singapura, kebetulan rekan saya yang bekerja di Kedutaan Singapore member kabar bahwa sore itu Solo Batik Carnival sedang ikut dalam Chingay Parade…. Dan bulan kemarin sahabat saya di Belanda mengabarkan adanya rombongan Solo Batik Carnival yang ikut dalam bagian Pasar Malam di Belanda… wuiiih.

Saya melihat jadwal penerbangan Solo-Singapore yang diterbangi oleh Silk Air, dan Solo-Kuala Lumpur yang dijalani oleh Air Asia meruapakan bukti bahwa pertumbuhan pariwisata Solo tidak bisa dipandang sebelah mata…. Kapan kota-kota di Banten menyusul..? insya Allah, karena Kepala Dinas Pariwisata Kota Serang dan Kasi Destinasi Pariwisata Provinsi Banten didalam pesawat saat terbang pulang mengutarakan grand design Taman Sari yang hendak dikembangkan menjadi sentra wisata kuliner di Kota Serang dan Pelabuhan Karang Antu di Banten Lama yang juga hendak dikembangkan menjadi sentra kuliner sea food…. namun beliau sedikit tertawa kecil karena menurut beliau anggaran untuk itu semua masih harus melobi DPRD dan meminta partisipasi pihak lain. Saya katakan, kita kerjakan saja dulu apa yang kita bisa… kalau memang kita saat ini masih bisa ‘bermimpi’, maka bermimpi saja dulu sampai kita terbangun hingga ada pengusaha dan kesadaran dari para stake holder yang ingin berpartisipasi……. Saya jadi teringat slogan saat kampanye beberapa waktu lalu “Bersama Membangun Banten”…..???
(http://www.bantenkini.blogspot.com)

Senin, 26 April 2010

TOLONG JANGAN AJARI KAMI UNTUK KORUPSI…


Kemarin siang saya mengajak keluarga untuk menonton film “Alangkah Lucunya Negeri ini”…. Sebuah film satir yang menggambarkan kondisi riil masyarakat Indonesia saat ini. Cerita tentang Indonesia mini tersaji, mulai dari sarjana yang pengangguran, lakon yang keranjingan ikut kuis berhadiah, aktor partai politik dengan ragam dan lenggak-lenggoknya hingga aksi para pencopet jalanan yang memang nyata di Ibu Kota Jakarta. Film berdurasi 90 menit itu terasa sangat pendek namun memberikan arti mendalam. Anak saya Ghifar yang masih berusia 8 tahun, sampai menangis diakhir penayangan film, ia sesegukan melihat ending film yang dibuat menggantung oleh Dedy Mizwar yang menggambarkan sulitnya mencari nafkah secara halal.

Saya merasakan kok banyak persinggungan yang mirip-mirip dengan yang saya jalani selama ini. Terbayang wajah rekan-rekan saya yang lulusan S1 yang masih menganggur, senior saya yang digambarkan dalam lakon aktor politik, keseriusan pemerintah dalam mengurus rakyatnya hingga kelakuan para pencopet yang meregang nyawa dan kalah pamor oleh koruptor… ya, koruptor yang beberapa tahun belakangan ini sangat popular layaknya artis dalam serial sinetron.

Saya menarik garis lurus dengan dunia kerja saya yang mengharuskan bepergian keluar kota hingga keluar negeri bahkan menelusuri rimba pedalaman Baduy dan Ujung Kulon sampai ke Pulau Weh di Aceh dan pesisir Bunaken, menyebabkan saya sering berinteraksi dengan beragam orang yang memiliki latar belakang, profesi dan pendidikan yang berbeda. Kadang malam ini saya makan dengan anggota parlemen, besok bisa minum kopi dengan para pengamen jalanan. Kadang pagi ini masih terlelap diatas ranjang Novotel, tapi besok sudah harus merasakan tikar kasar Suku Baduy Dalam. Bahkan tidak jarang harus mengangkat koper milik komisaris PT. X dan besok ransel saya dipikul oleh porter di Rinjani.

Ragam pengalaman yang saya rasakan adalah konsekuensi dari tuntutan pekerjaan dalam dunia traveler. Saya bisa merasakan empuknya kursi kelas bisnis dalam maskapai nasional walaupun tiket dalam genggaman adalah kelas ekonomi karena pilot yang menerbangkannya dulu pernah satu kantor…. Hehehe. Atau terkadang harus duduk berhimpitan dalam mobil ELF empat orang dalam barisan depan bersama pak supir pada rute ke Bayah, Palopo atau Agam.

Ragam cerita yang saya terima kadang bertolak belakang dengan realita kehidupan masyarakat Indonesia. Rekan saya seorang Menteri Besar di Negara Bagian Selangor-Malaysia pernah berseloroh bahwa Indonesia adalah “Guru” daripada Malaysia. Baru minggu kemarin, saat saya makan malam dengan seorang mantan anggota parlemen senior di Singapura, beliau mengatakan Indonesia sudah cukup kaya untuk memakmurkan rakyatnya, tapi kenapa masih banyak yang miskin…?” Obrolan ini kami lakukan pada sebuah kedai makan milik seorang imigran asal Pakistan di Serangon Roan Little India.
Masih dalam lingkup minggu kemarin, saya beberapa kali mendapat tawaran mengelola pekerjaan dengan skala proyek ratusan juta sampai milyaran rupiah. Bagi pengusaha skala menengah atas mungkin nilai ini dianggap biasa. Tapi bagi saya pengusaha biasa-biasa saja, nilai ini cukup besar. Tapi saya harus melakukan penolakan atas tawaran ini. Bagaimana tidak…. Dari beberapa proyek tersebut, saya harus menyisihkan 20% - 40% untuk para pemberi proyek… hiiiiiiiiiiiiii.

Saya tidak habis berpikir, bagaimana mungkin mereka masih bisa tersenyum menawarkan nilai proyek tersebut sementara saya harus menyisihkan anggaran yang katanya memang sudah menjadi ‘budaya’ dalam birokrasi. Saya teringat rekan saya dulu dari salah satu departemen ‘basah’ di negeri ini. Beliau mendapat beasiswa di Singapura walaupun memang beda jurusan dengan saya di NTU. Beliau menggambarkan porsi yang harus di sisihkan dari setiap pinjaman luar negeri yang masuk ke Indonesia…. Edaaaan bener, jika kita tahu berapa nilai yang ‘tersisihkan’ dari setiap pinjaman luar negeri….. hiiiiiiii, bisa membuat ratusan sekolah dasar, bisa membuat jalan menjadi mulus walau untuk beberapa kilometer, bisa membuat tingkat kesejahteraan guru ‘agak’ terangkat…. dan lainnya.

Gila Lu…. Proyek segitu di tolak…!!! Itu cemohan yang saya terima siang tadi, dari rekan saya yang memang biasa menggarap proyek. Kata beliau, itu memang sudah biasa…. Dan tenang saja katanya, karena KPK tidak akan masuk kedalam proyek dibawah satu milyar…???? Wuiih, saya tambah pusing. Saya mengurut dada…. Film kemarin siang masih terbayang dalam ingatan, tentang bagaimana sulitnya mencari rejeki halal di negeri ini.

Bulan kemarin saya didatangi oleh Toni seorang TKI yang menjadi langganan di kantor saya, padahal nama sebetulnya adalah Rahmanudin… ia rubah panggilannya agar lebih keren katanya… hahahaha. Ia mengajak saya untuk terjun dalam bisnis mengirim TKI ke Malaysia Timur. Ia menggambarkan betapa perusahaan-perusahaan di Malaysia yang bergerak dalam bidang Kelapa Sawit dan pengolahan kayu membutuhkan ratusan hingga ribuan tenaga kerja dalam proyek ini. Dan ternyata ia sendiri sudah mengirimkan ratusan rekan-rekannya dari Sobang di Pandeglang menjadi TKI di Sabah dan Serawak.
Bulan kemarin saya seharian di Genting, kawasan wisata yang terkenal dengan pengelolaan perjudian dan pusat permainan keluarga di Malaysia. Rekan dari Serang sampai terheran-heran melihat betapa banyaknya pengunjung Genting Highland yang beragama Islam… ya, karena dari pakaiannya dan pola tingkah lakunya mereka dalam kelompok kecil menikmati aneka permainan layaknya Dunia Fantasi di Ancol. Namun yang menarik, 75% para pekerja di Genting berasal dari Indonesia…. Mulai dari cleaning service, para koki, para pekerja maintenance, dan lainnya. Saya sempatkan mengobrol dengan beberapa TKI yang menceritakan bahwa menjadi TKI adalah pilihan sulit yang harus ditempuh. Mereka bukanlah para pekerja professional yang dapat kembali minimal setahun sekali ke tanah air. Namun mereka harus menabung dua sampai lima tahun baru dapat kembali ke kampung halamannya.

Saya teringat kembali ending film ‘Alangkah Lucunya Negeri ini’… yang mana menjadi TKI adalah pilihan sulit namun harus dilakoni karena susahnya mencari kerja didalam negeri… apalagi mau menciptakan peluang kerja. Sogok sana dan sogok sini sudah menjadi tradisi. Dua minggu lalu, sahabat saya pusing tujuh keliling karena harus menyediakan ‘dana segar’ untuk melunasi tumbal adik sepupunya yang ternyata ada deal tertutup dengan salah satu oknum di salah satu kota di Banten. Ia uring-uringan ternyata adik sepupunya sesaat sebelum ikut tes CPNS telah membuat akad dengan salah satu oknum yang katanya mampu menggolkan menjadi PNS…. Dan setelah menjadi PNS, oknum tersebut mengejar-ngejar terusssssss…. Wuiiih, dan yang memalukan adalah oknum tersebut adalah perempuan… gileeee beneeer.

Selama seminggu ini, saya dalam kebimbangan yang luuuarrrrr biasa. Ajakan menerima proyek dan penolakan dalam hati begitu kuat… sampai saya menonton film ‘Betapa Lucunya Negeri ini’, saya mantap menolak segala proyek tersebut…… ya, saya punya satu keputusan, biar saja teman-teman mengatakan saya gila…. Teman-teman mengatakan saya sok suci… tapi hati ini tetap tidak tenang menerima proyek yang penuh ‘indikasi’ suap. Walaupun beberapa rekan yang lainnya mengatakan dapat ditarik kedalam fiqh ‘ghanimah’… hahahaha. Saya membolak-balik beberapa kitab kuning hingga enslikopedia Hukum Islam…. Tidak ada justifikasi untuk hal tersebut. Atau memang saya kolot menyikapi perubahan zaman yang terus berubah…..

Saya terbayang artikel beberapa tahun lalu tentang Mona Sahlin seorang politikus asal Swedia yang mundur dari pencalonan Perdana Menteri karena ketahuan membelikan puterinya sebatang cokelat seharga tidak lebih USD 20 (setara dengan 180ribu rupiah) dengan menggunakan kartu Riksdagnya, yaitu kartu debit dan kartu kredit yang dibiayai oleh pemerintah…. Weleh-weleh, 180 ribu…..

Atau sebuah berita tentang Huang Guanyu, seorang miliarder China yang merupakan pendiri toko elektronik terbesar kedua di China telah ditahan sejak bulan Januari tahun lalu yang ternyata ketahuan mendapatkan hasil kekayaannya dari korupsi dengan hasil patgulipat dalam bursa saham…. Ancaman hukuman mati sudah menanti didepan mata…. Hiiiii

Serta ada berita dari negeri antah berantah yang kita anggap negara terbelakang, Ghana… dua anggota senior pemerintah Ghana mengundurkan diri setelah tuduhan menerima suap dari satu perusahaan konstruksi internasional. Menteri Kesehatan George Sipa Yankey dan Menteri Negara Amadu Seidu meletakkan jabatan dengan tuduhan bahwa beberapa pejabat pemerintah menerima suap dari perusahaan jembatan Inggris, Mabey & Johnson antara 1993 dan 2001…. Hehehe

Saya hanya mencoba untuk melakukan dari yang terkecil…. Air mata anak saya tidak sanggup saya lihat ketika ia sendiri dengan geramnya melihat ketidakadilan dalam Tanah Air Indonesia yang tentunya ia cintai…. Indonesia, I Love U Fulllllll.

Kalau memang tradisi suap, sogok, ruswah, hadiah, ghanimah adalah tradisi yang telah terbentuk… ya Allah, tolong jauhkan dari keluarga kami, tolong jauhkan dari teman-teman dekat kami…. dan tolong jauhkan dari tradisi dan budaya kami…. Dan tolong ‘Jangan Ajari Kami untuk Korupsi’.

Setiap pagi dan sore di depan kantor saya, ada Ibu Aminudin penjual Bakso Ikan yang berkeliling Kota Serang dengan berjalan kaki untuk uang delapan ribu rupiah….. ada Aki penjual singkong yang harus berjualan kaki dari Palima sejauh 10 kilometer bolak-balik hanya untuk menjual singkong dan daunnya dalam menghidupi kesehariannya…. Atau ada Ucil seorang pemuda cacat yang setiap hari menjajakan Koran di perempatan Pisang Mas yang baru saja keluar dari Rumah Sakit karena mengidap Liver dan Thipus…. Huffffff, saya tidak dapat membayangkan wajah-wajah mereka…. untuk lembaran ribuan rupiah mereka harus berjibaku menghadapi pahit getirnya kehidupan.

Saya juga membayangkan beberapa rekan yang saat ini duduk di kursi legislatif dan eksekutif di negeri ini. Rumah di kawasan elit, mobil baru, jalan-jalan dengan alasan kunjungan kerja… dan tabungan yang terus menumpuk…. Wallahu’alam.

Senin, 05 April 2010

Gaji Guru Kita….. (sepenggal kisah tentang potret pendidikan)


Kemarin siang, sahabat saya seorang kyai muda di Kecamatan Sumur-Ujung Kulon menelpon memberikan kabar seputar pesantren yang dikelolanya. Saya mengenal beliau sekitar sepuluh tahun lalu sewaktu saya melakukan perjalanan backpacker ke Ujung Kulon, saat itu saya sempatkan mampir karena melihat masih adanya sebuah lembaga pendidikan di ujung pulau Jawa.

Kemarin ia ‘curhat’ seputar pesantren yang dikelolanya, bahwa pesantren yang diusulkan ke kantor departemen agama akhirnya diakui untuk dijadikan tsanawiyah (setingkat SMP) walaupun prosesnya memakan waktu lima tahun lebih. Ia begitu gembira menceritakan panjang lebar tentang keberhasilannya meyakinkan para pegawai di departemen agama Kabupaten Pandeglang. Namun diakhir cerita, ia mengharapkan ‘sedikit’ bantuan dari teman-teman… karena kebetulan saya pernah mengajak beberapa komunitas melakukan bakti sosial di pesantren beliau, terakhir saat saya masih bekerja di MCCI, kami dari pengurus Masjid Perusahaan melakukan pengobatan gratis dan pembagian buku serta alat tulis kepada para santri.

Ia hanya menitip pesan, jika ada teman Mas Arif yang kelebihan rezeki bisa dibagi sedikit ke Tsanawiyah beliau, karena saat ini muridnya baru 30 orang dan santri di pesantrennya sekitar 80. Saat ini sistem belajarnya masih belajar di lantai tanpa adanya bangku dan meja, hanya sebuah papan tulis yang dipakai bergantian dengan pesantren, hmm…. Saya katakan insya Allah, tapi saya harus ke pesantren beliau untuk mengambil foto dan mewawancarai beberapa santri untuk meyakinkan teman-teman.

Tadi siang, seorang sahabat saya mantan ketua organisasi mahasiswa di Banten berbicara lama dan berbagi pengalaman, sampai kepada topik tentang cerita pesantren di Ujung Kulon. Ia juga ‘curhat’ tentang istri beliau yang sudah enam bulan belum digaji oleh salah satu SMA swasta yang juga bergabung dengan pesantren di daerah Kramat Watu, Kabupaten Serang, padahal gaji setiap bulannya ‘tidak lebih dari seratus ribu rupiah. Alasannya sangat klasik, karena anak murid yang bersekolah disekolah tersebut sebagian besar adalah orang tidak mampu. Weleh-weleh…… Kata teman saya, kalau bukan karena semangat ‘perjuangan’ mungkin sudah lama pekerjaan mengajar itu ditinggalkan oleh istrinya.

Saya teringat dengan kekompakan teman-teman istri yang mengelola sebuah sekolah anak usia dini (setingkat TK/TPA) di daerah Cipocok. Dengan modal kebersamaan, mereka mengelola sekolah tersebut karena permintaan dari masyarakat terutama kaum perempuannya karena fasilitas sekolah untuk anak-anak tidak ada di daerah tersebut. Awalnya memang sekolah tersebut lancar, namun kabar terakhir yang saya dapatkan dari istri siang tadi, sekolah tersebut bulan ini belum menggaji guru-gurunya, padahal satu orang gurunya bergaji 75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) perbulan dan kepala sekolahnya digaji 250.000,- karena merangkap sekalian dengan profesi guru.

Saya hanya bisa mengurut dada… karena melihat fenomena pendidikan kita yang seperti jalan di tempat dan hanya berpihak bagi mereka yang berpunya. Setelah beberapa hari lalu Mahkamah Konstitusi mengabulkan tuntutan masyarakat terhadap Badan Hukum Pendidikan (BHP) digugurkan. Mereka yang apatis dan pesimis hanya berucap peduli amat dengan terbitnya sebuah undang-undang, namun demikian sesungguhnya gugurnya undang-undang Badan Hukum Pendidikan adalah kemenangan rakyat. Padahal persoalannya sangat mendasar seperti akses pendidikan, tingginya angka putus sekolah dan minimnya sarana sekolah yang telah ditimbulkan dari terbitnya UU BHP.

Saya teringat perjalanan saya tiga tahun berturut-turut mengunjungi beberapa sekolah di Singapore, Malaysia dan Thailand dalam rangka tugas pendampingan. DI Singapore kami mengunjungi Yangzhen Primary School, sebuah sekolah negeri (sekelas inpres kalo di Indonesia) yang memberikan pelayanan pendidikan kelas wahid bagi ukuran rata-rata Indonesia. Di Malaysia kami mengunjungi Sekolah Kebangsaan Negara (setingkat SMP) di Kuala Lumpur yang rata-rata siswanya adalah masyarakat menengah bawah (beberapa siswa/i berasal dari Indonesia yang sudah mendapatkan resident card) dan di Thailand kami berkunjung ke Thai Rath Thai School (Setingkat SD) yang dimiliki oleh Bos media Thailand, sekolah ini memiliki jaringan lebih dari seratus sekolah yang menyebar rata di Thailand. Jika di Singapore dan Malaysia para siswa dan siswi masih harus bayar, walaupun sangat murah untuk ukuran negara tersebut, di Thailand semuanya gratis dan menanggungnya adalah Koran Thai Rat Thai… CSR yang berjalan baik. Fasilitas perpustakaan, lab, olah raga dan kegiatan eskulnya semua berjalan dan dapat dinikmati oleh para siswanya.

Saya kembali teringat kisah para guru yang ‘gagal’ gajian di Banten… kok masih bisa dan masih ada seperti itu… padahal katanya ada dana BOS, ada Bantuan Madrasah, ada alokasi APBD untuk gaji Guru Bantu di sekolah…. Saya tidak mampu berucap lagi dan hanya bisa membayangkan INDONESIA. Minggu kemarin saya dikunjungi oleh Mustafa, seorang kepala sekolah Madrasah Ibtidaiyah di Sawarna, sebuah desa wisata di selatan Banten. Ia datang berkunjung ke Kota Serang karena akan mengambil dana bantuan dari Pemprov… tapi sesampainya di pemprov ternyata orang akan dijumpainya sedang tidak berada di kantor, padahal ia datang dengan mengendarai sepeda motor selama lima jam… wuiih, sore itu ia kembali ke Sawarna dengan tangan kosong… sekosong harapan akan majunya pendidikan kita.

Sabtu, 03 April 2010

Gaya Hidup dan Keseharian kita


Berita Gayus yang menghiasi pemberitaan kita beberapa hari ini membuat mata sebagian masyarakat kita terbelakak. Bagaimana tidak, dengan jabatan golongan IIIA, tentunya sangat patut dipertanyakan dari mana sumber kekayaan yang didapatkannya saat ini, selain dari warisan jika memang ada….?

Namun demikian, saya tertawa sendiri jika membayangkan kehidupan yang melompat secara signifikan yang juga tergambar dari kehidupan tetangga, rekan dan sahabat saya yang sangat drastis yang duduk di jabatan publik. Bukannya kita iri atau jengah, namun apa layak hidup di istana sedangkan tetangga masih ‘senin-kamis’ kehidupannya ditambah ‘gossip’ yang santer bahwa asal muasal dari sumber kekayaannya masih bisa dipertanyakan… hmm.

Kisah Gayus sang pekerja pajak, kisah para pejabat kepolisian yang memiliki Harley dan kisah-kisah lainnya yang membuat hati miris seperti kisah dalam untaian cerita seribu satu malam yang tidak pernah berakhir. Bisa jadi Gayus hanyalah sebuah melodrama kecil diantara sendratari dan epik pameran kekayaan yang selalu dipertontonkan oleh para pejabat publik selagi aji mumpung.

Beberapa dan bahkan sudah menjadi rahasia umum, kalau kepala daerah di Indonesia seperti seorang yang mendapat durian runtuh jika terpilih dan bisa duduk di atas singgasana pemerintahan. Begitu pula dengan para wakil rakyat yang berlomba-lomba atas nama rakyat untuk dapat duduk dan mewakili ‘konstituennya’ di gedung rakyat yang terhormat.

Cerita tentang lompatan kehidupan para pemimpin seperti rangkaian kehidupan yang sistemik (meminjam) istilah Bank Century. Jika dahulu sebelum menjabat mereka hanya memiliki satu rumah, satu mobil dan bahkan sering tidak punya… namun saat menjabat beberapa bulan sudah mendapatkan ‘kemewahan’ yang sangat wah.

Rekan saya kepala cabang salah satu bank nasional di Banten sampai terheran-heran melihat gaya hidup salah satu bupati di Banten yang memiliki rumah dan mobil yang berderet-deret… ditambah gaya hidup anak-anak dan istri beliau yang mengalami kehidupan super wuperrrr… beliau membandingkan dengan kehidupan sebelumnya yang terlihat biasa-biasa saja.

Rekan saya yang menjadi manajer sebuah pabrik petrokimia di Anyer juga tidak habis pikir melihat beberapa anggota dewan yang terhormat, dapat dengan enjoynya membangun rumah super dan membeli mobil pribadi diatas rata-rata masyarakat. Padahal sebelumnya, kehidupan para anggota dewan sangat bersahaja…. Hmm.

Masyarakat kita memang hanya diam melihat semua ini. Namun kediaman mereka dapat kita maknai bahwa mereka ‘nrimo’ saja akan status dan kehidupan para pejabatnya… atau sebaliknya, mereka hanya bisa mencaci dalam diamnya…. (bukankah doanya orang teraniaya cepat di kabulkan..?).
Sumber kekayaan yang begitu drastis dan pola kehidupan yang begitu fantastis menjadi budaya biasa dalam kehidupan kita saat ini. Kasus terbongkarnya kepemilikan rumah dan mobil mewah milik Gayus, Harley dan tabungan para petinggi Polri, merupakan sebuah gunung es yang boleh jadi hanya sebuah titik hitam diantara kelamnya asal muasal kekayaan hingga terbongkar disuatu saat.

Hampir setiap minggu, saat ini kita dapat menyaksikan dan melihat dalam setiap pemberitaan tentang mantan menteri yang masuk penjara karena korupsi, mantan gubernur yang diseret paksa masuk bui dan mantan anggota dewan yang terhormat yang harus rela ‘menginap’ di hotel prodeo…. Naudzubillah.

Rekan saya dari Kyoto, sampai terheran-heran ketika suatu saat beliau bertemu janji dengan salah satu rekannya di Hotel Sultan (dulunya Hotel Hilton Jakarta)… karena saat makan malam, nyaris seluruh kursi di restaurant tersebut penuh sesak dengan orang-orang Indonesia dan kejadian ini terus berulang setiap beliau berkunjung ke Hotel Sultan, yang ironisnya menurut beliau… berita seputar gizi buruk dan busung lapar masih menjadi headline berita di Indonesia… padahal ukuran makan malam di hotel Sultan tidak bisa dibilang murah… alias mencekik kantong.

Lain lagi rekan yang satunya masih dari Kyoto, beliau sampai terheran-heran melihat lahan parkir mobil di kampus-kampus di Jakarta yang selalu full dengan mobil dan sepi dari sepeda. Saya katakan, bahwa jika mahasiswa Indonesia memakai sepeda untuk kuliah… bisa dikatakan, jika tidak karena idealisme.. ya karena kepepet harus menggunakannya karena ukuran kantong.

Gaya hidup yang memaksa kita untuk tetap ‘eksis’… rupanya memang di tularkan dari para pemimpin kepada rakyatnya. Jadi tidak dapat disalahkan jika masyarakat kita juga lebih bersifat praktis melihat kehidupan ini. Setiap pemilu berlangsung, praktek politik uang selalu berseliweran dan semua kandidat seperti memberi ruang untuk meninabobokan para konstituennya…. Setiap hari selalu saja bermunculan berita baru tentang para tersangka yang menggelapkan uang rakyat… namun seperti kisah Al Pacino atau Robin Hood… semua seperti hilang ditelan bumi seiring dengan memori politik dan memori sejarah masyarakat kita yang teramat sangat pendek.

Tidak perlu sekolah tinggi, tidak perlu moral yang baik…. Yang diperlukan masyarakat saat ini adalah cash money dalam setiap pemilu, dalam setiap pilkada dan dalam setiap penyelesaian perkara…. Ada Uang Abang di Sayang, tak ada Uang Abang cari koalisi baru….

Kisah Gayus, Kisah Susno, Kisah-kisah lainnya di bumi pertiwi semoga dapat memberikan hiburan bagi masyarakat kita yang sudah bosan dengan film horor dan film vulgar serta parodi politik. Jika kita masih mau mendengar kisah zuhud para sholafus saleh atau kehidupan para nabi..? jangan cari dalam kehidupan nyata… cukup cari saja dalam lembaran-lembaran sirah yang mungkin masih tersimpan dalam lemari-lemari para santri di pesantren atau cukup cari dalam dongeng pengantar tidur. Pilihan hidup tentunya ada pada diri masing-masing....

Rabu, 17 Maret 2010

Satu Cinta Untuk Indonesia


Sore tadi rekan saya yang aseli orang Indonesia yang sedang liburan dari tempatnya bekerja di Dubai saat ini mampir ke kantor, maklum saja sudah sekitar setahun kami tidak bertemu. Dulunya kami sama-sama menjadi ‘kuli’ di salah satu pabrik di daerah Merak, hanya saja pilihan hidup yang membuat kemudian kami memilih jenis pekerjaan yang berbeda.

Saya memilih berwiraswasta walaupun masih harus jatuh bangun sampai saat ini. Sedangkan rekan saya memilih peruntungan nasib ke negara Gulf. Kami masih ingat bagaimana saat masih menjadi kuli… hehehe, terkadang kita merumuskan angka kenaikan gaji yang lumayan alot dan terkadang harus tarik menarik kepentingan dengan pihak manajemen perusahaan.

Rekan saya mengajak kembali peruntungan tersebut untuk bersama-sama bekerja di Gulf… kata beliau, sangat bisa mengeksplore aneka hobby baru. Beliau saat ini sudah tidak canggung mengendarai mobil 4WD atau SUV yang bagi orang Indonesia masih menjadi ‘barang langka’, kata beliau kalau di Gulf asal bisa bawa dan bisa merawat, kita bisa mendapatkan aneka mobil mewah dengan harga miring.

Kami bersama-sama membuka foto miliknya yang berpose di aneka lokasi berbeda di timur tengah dan bahkan beberapa foto menunjukkan gaya beliau di Eropa. Karena menurutnya, liburan di Eropa masih lebih murah tiket pesawatnya daripada ke tanah air yang memang jauh jaraknya. Saat ini sudah tidak terhitung lagi rekan-rekan ‘seperjuangan’ dulu yang mengabdi di perusahaan-perusahaan luar negeri yang memang menawarkan tingkat kesejahteraan diatas rata-rata perusahaan disini… huff.

Jika dilihat dari segi pendapatan, rata-rata teman saya seperti mendapat ‘durian runtuh’ dengan bekerja di daerah timur tengah yang menyebar di Saudi, Qatar, UAE, Kuwait, Bahrain dan Oman. Tapi rata-rata dari mereka sebenarnya ‘lebih memilih’ untuk bekerja di dalam negeri jika saja pendapat yang mereka terima minimal mendekati yang mereka terima saat ini di luar negeri. Rata-rata mereka bekerja di level para professional.

Rekan saya di Karibia, setiap pulang kampung ke Lebak selalu membeli tanah untuk investasi di kampungnya tersebut, walaupun di kapal pesiar ia hanya seorang room boy. Begitu pula teman saya di Darwin yang selalu membeli rumah BTN untuk dijadikan kontrakan yang dijadikannya lahan tambahan setiap bulannya yang dikelola oleh saudaranya, padahal di Darwin ia ‘hanya’ menjadi pekerja serabutan… terkadang cuci piring di restaurant China dan sesekali menjadi tukang servis elektronik.

Saat menjadi kuli dulu, kami sempat keki ketika mengetahui bahwa gaji yang kami terima selevel operator industry sangat jauh dibawah standar dari makanan seekor anjing penjaga gerbang di pabrik. Awalnya kami tidak percaya, kalau saja dulu pacar saya yang juga bekerja di perusahaan yang sama di bagian keuangan tidak memberikan copy kwitansi pembelian makanan anjing yang harganya dua kali lipat dari gaji kami dalam satu bulan…. Hahaha. Saya ingat ketika itu dipenghujung tahun 98-an, gaji saya masih sekitar 800ribuan dan kwitansi makanan anjing penjaga pintu di pabrik seharga 1.7juta…. weleh-weleh

Belum lagi ketika kami melihat perbedaan fasilitas antara pribumi dan ekspat…. Para pekerja ekspat bisa menikmati liburan di Bali atau Australia setiap tahunnya, belum lagi fasilitas Golf setiap minggunya…. Cihuyyy… dulu beberapa supervisor ekspat sering mengajak kami liburan menikmati ‘kemewahan’ yang mereka dapatkan… lumayan juga merasakan jadi OKB sesaat… merasakan bagaimana halusnya rumput lapangan golf… enaknya masakan chef kelas dunia dan jalan-jalan gratis keliling ibu kota saat libur shift tiba…. Hehehe

Saya baru mengetahui beberapa tahun kemudian, saat saya sudah tidak lagi bekerja di pabrik. Ternyata perbedaan standar dalam sistem penggajian di Indonesia bukan hanya ditentukan oleh skim KHM (Kebutuhan Hidup Minimum), tapi lebih banyak ditentukan oleh tarik menarik politik, baik ditingkat lokal atau nasional.

Rekan saya di DPRD di salah satu kota di Banten, bisa dengan leha-leha mendapat ‘jatah’ amplop saat pembahasan penentuan UMK (dulu UMR) saat pembahasan sedang berjalan. Belum lagi rekan yang lain yang duduk manis di DPR, sumber amplop bukan hanya dari pembahasan UMR tapi amplop dari izin pembukaan lahan tambang, lahan perkebunan dan izin-izin lainnya yang kesemua ampolp tersebut didapat dari para pengusaha…. Tentunya para pengusaha tersebut ‘rela’ mengorbankan kesejahteraan karyawannya untuk menutupi biaya non budget tersebut.

Sore tadi, obrolan kami tutup dengan saling tertawa dan mengubur mimpi tentang mendapatkan UMR yang sesuai….. tunggu dulu, UMR yang sesuai siapa..? mau sesuai dengan KHM (kebutuhan Hidup Minimum)…? Silahkan keluar dari pabrik dan cari kerja diluar… begitu dulu doktrin yang kami terima.

Disisi lain saya bangga kepada rekan-rekan yang mampu dan mau bekerja dan berusaha di luar negeri. Karena mustahil, mengharapkan nilai sepadan dengan standar internasional dari negeri Indonesia yang kita cintai saat ini…. Kepada rekan-rekan yang membeli mobil mewah, rumah mewah dan jalan-jalan ke berbagai pelosok negara lain… adalah hal yang lumrah untuk kalian… tapi bagi rekan-rekan di kursi legislatif dan eksekutif … huff… saya tidak bisa komentar saat ini.. takut salah… piss ah, VIVA INDONESIA.

Jujur saja, rekan-rekan saya yang bekerja di luar negeri lebih merindukan dapat bekerja di dalam negeri jika saja situasi dan kondisi kesejahteraan yang diberikan oleh perusahaan di dalam negeri mendukung.... tapi untuk saat ini...???

Jumat, 12 Maret 2010

Sony Lawan ’Sony' - Nama Sama Hanya Nasib yang Berbeda …


Apa yang salah ketika ibunda Sony memberi nama anaknya dengan sebutan Sony, anak tersayangnya tersebut bernama lengkap Sony Arianto Kurniawan, yang akhirnya di somasi oleh sebuah perusahaan raksasa Jepang SONY Corp. Hal ini dilandasi karena Sony-AK yang orang Indonesia ASLI memiliki domain ‘www.Sony-AK.com’. Kemarin siang ia menuliskan unek-uneknya dalam forum Pasar domain.com ;

“Domain saya di tuntut oleh Sony Corporation Japan (minta pendapat)
________________________________________
Dear all,
Saya Sony Arianto Kurniawan dan saat ini baru saja dapat "musibah" karena domain saya sony-ak.com di-sue oleh Sony Corporation Japan melalui kuasa hukumnya di Indonesia. Padahal itu saya register-kan berdasarkan nama saya sendiri dan sudah saya gunakan sejak lama untuk kepentingan murni penyebaran ilmu pengetahuan di bidang IT.

Saya ingin tahu bagaimana pendapat rekan-rekan di forum ini.

Best regards,
Sony AK
www.sony-ak.com

Siang tadi, situs online berita DETIK juga memuat berita seputar somasi Sony Corp lewat kuasa hukumnya di Indonesia untuk mensomasi Sony AK karena diduga melanggar hak cipta… weleh-weleh. Padahal, Sony AK membuat domain sony adalah untuk tujuan sharing ilmu pengetahuan dan juga ada embel-embel “AK” dibelakangnya…. Atau mungkin juga Kang Sony yang orang Bogor ini ingat dengan temannya di Kota Serang yang punya inisial sama, Arif Kirdiat…. Sama-sama “AK”… ha ha ha.

Persoalan nama yang serupa dan rada-rada mirip, memang sering kali dibuat pusing. Bukan saja karena dugaan Hak Cipta, tapi juga bila nama kita mirip dengan orang yang dituduh teroris… hiiii, bisa ngeriiii. Rekan saya pernah mengalaminya, kejadiannya sekitar tiga tahun lalu ketika kami berangkat ke Singapura, ketika masuk ke negara tersebut, rekan saya harus tertahan tiga jam lebih dalam pemeriksaan Custom (imigrasi) di negeri singa tersebut, sialnya rekan saya tersebut tidak fasih berbahasa Inggris…. Huff, dan konyolnya kami rekan-rekannya tidak bisa masuk kembali ke ruangan imigrasi karena sudah lewat lebih dahulu. Nama beliau katanya terindikasi terrorist…. Hehehe, akhirnya bisa lewat juga setelah melewati interview yang berbelit-belit, karena memang bukan teroris… asli, bukan teroris.

Sony-AK, yang saat ini sedang dirudung ‘cobaan’.... tapi bagi saya kasus Sony akan seperti kasus Prita dengan Koin Prita-nya atau seorang pemuda Kanada bernama ‘Mike Rowe’ yang akhirnya memenangkan simpati publik saat digugat oleh Microsoft. Persoalannya sepele, “….Pada tahun 2003, Mike yang hobi mendesign web dan programing kecil-kecilan mendaftarkan domain bernama www.mikerowesoft.com. Singkatan dari Mike Rowe (namanya sendiri) dan soft (sebab ia pikir lucu dan imut jika menggunakan kata ’soft’ di belakang namanya).

Tak lama kemudian, Microsoft perusahaan software raksasa marah-marah dan menuduh Mike melakukan plagiasi pada domain mereka karena menggunakan nama yang nyaris sama. Lalu, mereka mencoba melakukan upaya akuisisi pada domain mikerowesoft.com milik Mike. Caranya, pihak Microsoft menawarkan kompensasi uang sebesar $10 dollar Amerika kepada Mike Rowe agar menjual domain itu kepada mereka.

Langsung saja Mike Rowe berang. Ia merasa dilecehkan. Pertama karena dianggap ‘tengah mencuri nama microsoft’ (Padahal orang tua Mike Rowe sama sekali tidak berniat memberi nama anaknya mirip seperti perusahaan perangkat lunak dari Redmont yang bernama Microsoft Corp). Kedua karena apabila nama Mike Rowe begitu penting untuk Microsoft, kenapa hanya ditawar sebesar US $10 saja? (*Ia lalu meminta US $10 ribu untuk domain itu. Semata-mata karena kesal atas perlakuan Microsoft*)
Microsoft tentu saja ngamuk berat. Dengan segerombolan pengacara yang bergaji hingga ribuan dollar perjamnya, mereka membuat 25 halaman tuntutan terhadap Mike Rowe. Bahkan diantara tuntutan adalah memenjarakan Mike Rowe dan mendenda pemuda berusia 17 tahun yang sial karena memiliki nama Mike Rowe (hampir mirip dengan Micro) sebanyak US $100.000

Mike Rowe menolak menerima kriminalisasi itu. Ia membuka kasus ini ke pers dan publik. Hasilnya adalah situs mikerowesoft.com dikunjungi oleh 250 ribu orang dalam tempo waktu 12 jam saja. Situs itu lumpuh segera akibat tidak bisa menerima kunjungan segitu banyak orang. Di sisi lain, Mike Rowe ternyata mampu menggalang dukungan dari banyak orang. Memperoleh donasi US $6000 untuk membayar ongkos perkara dan juga memperoleh bantuan legal dari pengacara yang mau bekerja membelanya Pro Bono, tanpa bayaran.

Kasus ini benar-benar memicu kemarahan publik. Arogansi Microsoft Corp benar-benar dipertanyakan. Mike Rowe vs Microsoft mampu memicu media menganalogikannnya sebagai cerita versi cyber modern David vs Goliath. Si kecil yang teraniaya vs Raksasa yang jahat tiada tara. Dalam beberapa hari setelah kasus ini mencuat di publik, terjadi kekacauan administrasi di tubuh Microsoft sendiri. Beberapa orang pengembang perangkat lunak jenius yang bekerja di Microsoft menganggap bahwa sudah semestinya mereka keluar dari perusahaan yang berubah jadi setan ini. Ribuan telpon berdering setiap hari di meja resepsionis mengutuk aksi Microsoft. Intinya, terjadi tekanan di tubuh dalam perusahaan dan juga dari luar. Oh! Bad for business. Kasus ini akhirnya bisa diselesaikan dengan baik di luar jalur hukuum. Microsoft mengakui betapa arogannya mereka. Lalu menghadiahkan Mike Rowe hadiah-hadiah khas Microsoft. (http://labo.bangaip.org)

Kembali ke kasus Sony, kiranya pihak Sony Corp harus berpikir ulang untuk mensomasi seorang Bloger bernama Sony… bukan tidak mungkin upaya somasi yang akan dilakukan oleh Sony akan berbalik menjadi boomerang dan menjatuhkan kredibilitasnya sebagai perusahaan kelas dunia di mata masyarakat Indonesia yang berpenduduk 240 juta jiwa, yang merupakan pasar potrensial bagi Sony Corp.

Saya tidak membayangkan mulai senin besok, resepsionis PT. Sony Corp di Jakarta akan menerima telepon yang mempertanyakan kasus ini, beribu-ribu dering telepon…alangkah merepotkan bukan…? Belum lagi gerakan sejuta dukungan bagi Sony-AK dari rekan-rekan di fesbuk…. Ini Indonesia Bung…. I Luv U Full, INDONESIA. Janganlah menggebuk lalat dengan pukulan GAJAH…. Proposional saja Bung.

Rabu, 10 Maret 2010

"Wisata Fisika" : Indah, Nyaman dan Menyenangkan


Kemarin sore saya bertemu dengan salah satu puteri terbaik bangsa ini. Ia memang tidak popular seperti artis film atau sinetron, atau popular seperti para pejabat dan anggota DPR yang sering muncul dengan move dan ‘dagelan’ politik yang mampu membuat rakyat tertawa walau untuk sesaat. Ia hanyalah seorang pengajar biasa, walau sebenarnya ia berasal dari komunitas yang luar biasa. Pertemuan ini, dilatar belakangi oleh persamaan pandangan terhadap iklim bumi yang semakin panas dan persamaan keinginan kami untuk mewujudkan penggunaan solar cell (tenaga matahari… maaf saya jelaskan lagi arti solar cell karena siang tadi ada rekan saya di DPRD yang menyangka kalau solar cell adalah listrik berbahan bakar solar….??? Cabe deh) dalam aplikasi yang lebih nyata dan mudah diaplikasikan, terdengar mengawang-awang tentunya.

Beberapa minggu sebelumnya, saya dijanjikan oleh rekan saya Bang Johan, alumni Universitas Indonesia untuk dapat bertemu dengan sang guru…. Ya beliau memang seorang guru besar alias professor di FMIPA Universitas Indonesia. Karena kesamaan pandangan dan kekhawatiran terhadap pola konsumsi terhadap bahan bakar fosil di Indonesia dan belum konsennya para pengambil kebijakan di negeri ini, maka pertemuan tersebut dapat terlaksana di salah satu kedai kopi di Selatan Jakarta.

Awalnya saya sempat terkejut, karena dalam pandangan saya seorang professor fisika tentunya adalah seorang tua renta yang maaf ‘sudah botak’ di kepalanya dan berjalan agak bungkuk. Namun semua rekaan saya buyar saat berjumpa dengan beliau. Saya berjumpa dengan seorang wanita paruh baya yang enerjik dalam bertutur dan bercerita panjang lebar seputar fisika dan turunannya. Bahkan ternyata beliau adalah salah satu ahli ‘nano teknologi’ yang di dunia ini masih sangat jarang yang menguasainya. Gelar S-2 dan S-3 beliau didapatkan dari Jerman, negara produsen BMW…… Beliau adalah Prof. Dr. rer.nat Rosari Saleh

Artikel beliau di Koran Kompas telah beberapa kali menyita perhatian publik. Beberapa kampus swasta di negeri ini sudah menawari beliau untuk dapat bergabung dan tentunya dengan iming-iming penghasilan yang jauuuuh lebih tinggi dari penghasilan beliau saat ini. Namun semua itu ditolak dengan halus. Saya penasaran akan jawaban yang beliau utarakan, saya tanyakan apa yang ada dalam benak beliau …? Jawabannya sangat sederhana… saya ingin berbuat sesuatu yang berguna buat negeri ini dan tidak mau hanya ‘duduk’ saja dalam menara gading. Hmmmmm………….

Beberapa tawaran yang lebih menggiurkan ternyata sudah lebih dulu mampir padanya. Kampus-kampus ternama di luar negeri sudah menawarinya bergabung dengan segala macam fasilitas tentunya. Namun lagi-lagi, semuanya ditolak. Kami berdiskusi, kira-kira dengan cara apa kami akan melangkah..? Beberapa langkah awal telah beliau rintis dalam upaya mensosialisasikan bahwa fisika itu mudah, indah dan menyenangkan. Situs dan soal-soal fisika dan contoh yang aplikatif telah beliau gulirkan dibantu dengan tim kecil beliau yang sementara ini menurut rekan saya Kang Johan, beliau modali sendiri dari kantong pribadinya.

Delapan ribu soal dan CD interaktif serta aplikasi fisika yang sederhana telah dibuat oleh Prof Ocha begitu ia biasa dipanggil. Semua soal tersebut beserta CD dibagikan gratis ke sekolah-sekolah yang membutuhkannya….. beliau trenyuh, saat melihat pemerintah hanya konsen dengan olimpiade fisika yang hanya memperhatikan segelintir orang saja, kata beliau itu adalah hal bagus, namun alangkah lebih bagusnya jika fisika lebih memasyarakat dan lebih mudah diaplikasikan.

Saya ingat ketika masih duduk di bangku sekolah menengah…. Jika sudah melihat jadwal pelajaran dan ada jadwal mata pelajaran fisika…. Kok hati ini menjadi dag-dig-dug…. Plus menjadi lemas karena jika praktek, alat peraga fisika yang ada tidak memadai dan bahkan sering tidak tersedia, padahal saya waktu itu duduk di kelas fisika dan di SMA paling TOP di Kota Serang…. Hehehe. Sang professor mengatakan, jika semua guru fisika dibekali pembekalan dan pemahaman yang sederhana seputar fisika yang mudah dan aplikaitf, sungguh sangat sederhana menyelenggarakan praktek fisika dengan contoh-contoh dan alat yang murah serta tersedia di kehidupan sehari-hari…

Pembicaraan kami terus mengalir seputar solar cell yang menjadi ‘PR’… ya, menjadi tantangan karena menurut beliau, saat ini semua negara maju sedang dan secara berkelanjutan melakukan riset dan menerapkan pemakaian system tenaga listrik berbahan non-fosil seperti matahari dan mikro hydro. Namun, ironisnya Indonesia yang melimpah selama 12 bulan akan cahaya matahari (tanpa musim salju) dan banyaknya sungai-sungai kecil yang dapat di manfaatkan untuk penggerak sistem kelistrikan bagi masyarakat pedesaan masih tidak juga dilirik dan belum sepenuhnya pemerintah menerapkannya secara sungguh-sungguh….. kami terdiam lama, karena beberapa negara Afrika dan negara-negara dunia ketigapun saat ini juga sedang melakukan seperti apa yang dilakukan oleh negara maju.

Saya teringat mata kuliah Security Energy di kampus saya dulu dalam bidang pertahanan di Singapura, dalam kuliah tersebut diwanti-wanti akan terjadinya gejolak setiap saat yang mampu membuat semua negara gonjang-ganjing karena perebutan energi dalam sistem perekonomian. Saat inipun sudah terasa jika minyak bumi semakin langka maka harganya mengikuti merangkak naik yang kemudian membuat panik para pemimpin dunia… dan bukan tidak mungkin akan memicu perang dunia… hmmm.
Kami juga sedikit menyinggung rencana kenaikan harga tariff dasar lisrtrik dalam beberapa minggu kedepan yang sudah dilontarkan oleh Pak Dahlan Iskan (Founder Jawa Pos) yang saat ini menjabat sebagai Dirut PLN.

Tidak muluk-muluk memang, malam kemarin kami berkomitmen untuk sedikit bergerak dalam dua arus yang berbeda. Arus pertama bahwa ilmu fisika harus terus disosialisasikan kepada seluruh siswa-siswi Indonesia tanpa mengenal status sosial, apakah ia peserta olimpiade sains atau bukan, apakah sekolah di kota atau sekolah di desa, serta bagi para pendidiknya di semua level, apakah guru SMA atau dosen, program-program seperti ini terdengar sangat tidak populis, tapi kami berkomitmen untuk dapat bergerak secara perlahan.

Arus kedua adalah sosialisasi penggunaan energy matahari (solar cell) kesemua level, termasuk para pengambil kebijakan. Sangat berat memang, tapi kami yakin bahwa ide besar ini harus terus disosialisasikan karena krisis energy adalah hal yang nyata di depan mata. Langkah ini berat, tapi kami harus memulainya perlahan-lahan….

Diakhir pembicaraan, professor mengatakan bahwa ia ingin agar setiap anak Indonesia kelak melihat mata pelajaran fisika tidak lagi menjadi momok yang menakutkan, karena sesungguhnya kata beliau fisika itu Indah, Nyaman dan Menyenangkan. Kalau dalam bahasa saya…. Orang yang sedang belajar fisika seperti orang yang ingin 'berwisata'… dalam hal ini menyenangkan dan ENJOY….. Keinginan ini seperti mimpi di siang bolong, tapi kami berkeyakinan bahwa semua ide besar selalu dimulai dari ‘mimpi’ kecil….anda mau bergabung...?

Selasa, 09 Maret 2010

Kereta Api dan Angkutan Massal


Kemarin pagi saya sengaja memilih kereta api dalam perjalanan dari Bogor menuju Jakarta. Mungkin bagi masyarakat umum di kedua daerah ini, menggunakan kereta api adalah hal biasa. Namun bagi saya yang tinggal di Kota Serang, menggunakan kereta api untuk kegiatan sehari-hari adalah hal yang belum lazim. Karena di Banten pada umumnya, kereta belumlah atau mungkin sudah mulai ‘dilupakan’ oleh para pengambil kebijakan. Bagaimana tidak, ketika saya menelusuri jalan di hampir setiap sudut kota di Banten, jalur kereta api peninggalan Belanda masih terlihat pada beberapa sisinya. Dari Kota Kecamatan Labuan di sisi selat Sunda hingga di Bayah sepanjang bibir pantai laut selatan pesisir Banten. Namuin saat ini yang masih aktif digunakan untuk angkutan umum tinggal jalur rel dari Merak sebagai kota pelabuhan di ujung barat Pulau Jawa hingga ke tanah abang dan kota yang hanya melewati beberapa wilayah saja di Banten. Adapun jalur eksekutif rel ganda hanya dari Jakarta hingga Serpong saja, selebihnya dilayani oleh jalur ekonomi.

Jujur saja, saya baru beberapa kali menggunakan angkutan massal ini di Banten. Justru saya lebih sering menggunakan kereta di Kuala Lumpur (monorel) dan di Singapura (MRT), bukan apa-apa karena di kedua negara tersebut naik kereta api sangat nyaman dan murah. Pengalaman saya setelah beberapa kali naik kereta api dari Kota Serang ke Jakarta dengan menggunakan kereta api ekonomi jurusan Merak ke Tanah Abnag, beberapa diantaranya saya ‘dapati’ pengalaman yang amat… dan amat amazing.

Ketika pertama kali naik kereta sekitar awal tahun 90-an saat masih sekolah di SMA, saya mencoba kereta jurusan Jakarta yang saya naiki dari Stasiun Serang di samping Taman Sari di sisi timur pusat perbelanjaan Royal. Karena memang letak stasiun di belakang SMA 1 yang memang sangat dekat dengan letak sekolah, jadinya saya tertarik dan ingin mencobanya, karena selama saya tinggal di Sulawesi, kereta api merupakan barang langka. Padahal kata orang tua saya, dulu sewaktu kecil saya telah beberapa kali naik kereta dari Jakarta ke Surabaya atau sebaliknya, mungkin karena masih belia dan imut, maka pengalaman tersebut belum terekam dalam memori ini… hmm.

Saya sempat heran, ketika merasakan bagaimana kereta yang saya tumpangi berhenti di areal persawahan di sekitar perbatasan Serang – Rangkas Bitung…. Weleh-weleh, kok bisa-bisanya kereta berhenti bukan di stasiun tapi di tengah areal persawahan…. Ow..ow..ow, ternyata sang masinis kala itu sedang menaikkan penumpang yang membawa berbagai ‘atributnya’ yang kemungkinan akan dijual ke Jakarta, seperti daun pisang, janur, kelapa dan berbagai hasil bumi lainnya…. Untuk apa ada stasiun, kalau penumpang bisa menyetop kereta di tengah rel…? dan ternyata kebiasaan itu masih berlangsung sampai sekarang…. Hehehe

Pengalaman berikutnya, saya rasakan ketika awal tahun 2000-an ketika berpergian dari Serang ke Rangkas Bitung menggunakan kereta pagi bersama rekan saya yang saat ini tinggal di Abu Dhabi. Kami dua keluarga, ingin memperkenalkan bagaimana rasanya naik kereta kepada anak-anak, namun apesnya rekan saya tersebut menyadari ketika telah turun di stasiun bahwa hand phone beliau telah berpindah tangan…. Kami hanya bisa mengurut dada, cukup sudah pengalaman ini menjadi pelajaran.

Saya juga pernah merasakan bagaimana menjadi ‘masinis’ tanpa harus berprofesi sebagai masinis beneran. Kejadiannya saat saya pulang kemalaman sekitar tahun 2000 ketika banjir melanda Kota Rangkas Bitung. Saat itu jam menunjukkan sekitar pukul 11 malam, ternyata angkot dan bis umum sudah tidak ada yang ke Serang… huuu, sempat panik juga sampai salah seorang tukang ojek menyarankan saya naik kereta api. Saya heran, apakah masih ada jadwal kereta api ditengah malam seperti itu…? Nyali saya sempat ciut jika mengingat cerita-cerita horror seputar kereta, seperti cerita kereta hantu di UI, atau cerita kereta tanpa penumpang di stasiun kota… hiiiii. Namun akhirnya sang pengojek meyakinkan saya untuk mencoba kereta, yang ternyata adalah kereta barang yang mengangkut batu bara dari pelabuhan Ciwandan di Cilegon ke Bekasi dan sebaliknya sebagai salah satu bahan bakar pabrik di semen.

Dan ternyata betul, saya dinaikkan ke gerbong lokomotif bersama dengan beberapa penumpang lainnya. Woow, ternyata ruang lokomotif yang seharusnya hanya untuk masinis, disesaki oleh sekitar sepuluh orang… hehehe, dan ternyata ‘pembayaran karcis’ dilakukan diatas kereta yang langsung ditarik oleh masinis dan tarifnya juga bisa ditawar…. Cihuyyyy. Ternyata berlaku juga asas ‘kepepetisme’… sama-sama diuntungkan, padahal kalo dipikir-pikir berbahaya juga kejadian seperti ini. Saya membayangkan menjadi seorang cowboy yang akan melintasi sisi barat amerika menuju sisi timurnya dengan kejaran kuda dari cowboy lainnya…. (ngayal.com)

Kembali kecerita tadi pagi, saya mendapatkan kereta api kelas ekonomi-AC seharga 5.500 rupiah dari Bogor tujuan Jakarta Kota. Saya anggap masih sesuai dengan kantong rata-rata orang Indonesia, dengan fasilitas AC dan kebersihan yang relatif terjaga walaupun keretanya adalah kereta bekas dari Jepang…. Hehehe. Saya jadi berpikir apakah PT. INKA (industry nasional kereta api) tidak mampu untuk membuat kereta semacam ini…? atau tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan teknologi perkereta-apian di negaranya sendiri. Saya jadi membandingkan industri-industri strategis macam PT. PAL, PT. Dirgantara Indonesia, dan PT. INKA yang hanya dijadikan sebaai industri kebanggaan di atas kertas saja dan ompong dalam kenyataan.

Saya jadi ingat, kisah perdagangan bebas Indonesia dan China yang selalu dijadikan bahan protes, tapi tidak juga mengoreksi kebijakan yang memang tidak pro-rakyat. Yang selalu jadi bahan demo adalah mengapa pemerintah harus melakukan free trade dengan China…? Tetapi masyarakt yang memprotes lupa atau tidak ingat yang membebani ekonomi biaya tinggi di Indonesia adalah pungutan tidak resmi dan berbagai birokrasi yang membebani tingginya ongkos produksi. Beberapa minggu lalu, China baru saja meluncurkan kereta api cepat semacam Shinkanzen di Jepang atau TUV di Prancis. Saya melihat artikel dikoran pagi ini yang membahas rencana pembangunan monorel di Jakarta yang kembali jadi pedebatan dan tak kunjung selesai jadi topik diskusi politik yang tak berujung pangkal…. Hiks

Saya melihat ke luar jendela yang kebetulan kereta kami memasuki stasiun Manggarai….. gile beneeerrrr, tuh penumpang sampai full duduk diatas atap kereta…… amboyyyyy Indonesia. Saya juga membayangkan bagaimana rasanya menikmati kereta ekonomi saat jam pulang kantor yang pernah saya naiki saat hari kerja dari Serpong menuju Rangkas Bitung…. Didalam gerbong penuh sesak, gelap gulita tanpa penerangan dan panasnya suasana karena tanpa kipas angin apalagi AC…. Sambil sesekali terdengar suara awas copet, awas pantat dan awas kelewat dari teriakan sesama penumpang untuk saling mengingatkan…. Hehehe, karena begitu pekat dan sesaknya penumpang, jangan lagi berbicara tentang batas aurat… jangan lagi berbicara tentang kenyamanan berkendaraan…. Pokoknya nikmati saja kata teman saya….. Sekali lagi I Luv U full Indonesia

Minggu, 07 Maret 2010

'Slands Plantentiun te Buitenzorg' ataoe 'Keboen Raija Bogor'


Sore tadi saya paksakan… ya saya paksakan untuk melangkah masuk ke Kebun Raya Bogor. Kalau dibilang norak, ya.. saya memang sangat dan sangat norak. Bagaimana tidak, Kota Bogor sudah seperti bagian tidak terpisahkan dari Ibu Kota Jakarta yang hanya beberapa menit saja dari Taman Mini dan Terminal Kampung Rambutan di ujung timur Jakarta atau Batavia tempo doeloe.

Jujur saja, walaupun mungkin sudah ratusan kali datang dan melewati Kota Bogor, diri ini sama sekali belum pernah masuk kedalam Kebun Raya Bogor yang menjadi ikon kota hujan ini. Benar-benar norak. Dulu diakhir tahun 90-an, James rekan saya dari Zurich sampai memaksa saya untuk masuk ke Kebun Raya Bogor saat kami baru saja turun dari Gunung Gede Pangrango, tapi ajakan itu saya tolak halus karena saya anggap masuk ke Kebun Raya Bogor seperti masuk kedalam taman kota biasa… hehehe.

Sampai tadi siang, rekan saya di JICA menceritakan pengalamannya setelah yang kedua kalinya masuk ke Kebun Raya Bogor (KRB). Haaa.. sudah dua kali..? dan ia menceritakan kalau didalam kebun raya ada juga guest house yang sangat asri dan terasa seperti menginap di zaman kolonial dan guest house itu sering ditinggali oleh para peneliti dari Jepang dan negara lain walau tidak ada AC yang terpasang. Ha ha ha… jadi tambah iri diri ini, padahal apa salahnya kalau dari dulu saya sempatkan masuk ke kebun raya, tapi saya ingat pepatah yang mengatakan last but not least… daripada yang mana tidak sama sekali maka lebih baik yang mana walau sekali… hehehe. Maka sore tadi saya sempatkan untuk masuk walau kesibukan yang mendera diri ini.

Dengan modal tiket masuk untuk dewasa 9.500,- saya masuk melalui gerbang sisi utara didepan kampus paska sarjana di jalan Padjajaran, ini merupakan salah satu pintu masuk yang tersedia dari beberapa yang ada. Mungkin karena hari minggu keramaian tampak sangat padat karena beberapa group perusahaan yang sedang melakukan outbound dan beberapa group ibu-ibu pengajian ramai membentuk rombongan yang menyusuri jalanan yang rindang didalam kebun raya, sementara disudut taman dan dibawah pohon-pohon besar banyak juga dua sejoli yang bercengkerama…. Padahal saya sangat ingat, pameo dan rumor yang beredar di masyarakat, jika pasangan yang masih pacaran masuk kedalam kebun raya sangat ‘pamali’, karena katanya bisa putus nantinya…? Hehehe…. Bagus juga gossip ini disosialisasikan agar taman atau kebun raya di Indonesia tidak seperti Monas yang bila malam tiba berubah jadi ‘Hotel Koran’… yang mana jika ingin tidur ditemani oleh pasangan cukup membeli koran bekas yang banyak dijajakan untuk sekedar alas ‘tidur’… wealah… tapi katanya sekarang sudah ada satpol pp yang patroli di sekitar Monas… mudah-mudahan

Melihat Kebun Raya Bogor, saya seperti melihat sebuah miniatur hutan Indonesia beberapa puluh tahun lalu… ya, beberapa puluh tahun lalu karena koleksi pepohonan di tempat ini sudah sangat mungkin susah untuk ditemui ditempat asalnya. Seperti beberapa jenis tanaman, antara lain Orchidaceae atau tanaman Anggrek, Arecaceae atau Palm-palman, Nepenthaceae atau Kantong Semar serta Cyateaceae atau Paku-pakuan. Hal ini dikarenakan telah banyak dieksploitasi masyarakat, sehingga sudah sangat jarang ditemui di hutan asli….. menyedihkan. Di dekat gerbang utama, ada juga salah satu umbi yang memiliki bunga yang sangat bau namun sangat cantik, yaitu Bunga Bangkai namun sayangnya minggu-minggu ini sedang tidak berbunga… hiks hiks hiks. Yang ironis, Bunga Bangkai lebih sering digunakan oleh negeri jiran Malaysia sebagai ikon pariwisata mereka… hiks hiks.

Menurut catatan sejarah, kebun raya ini dicetuskan pertama kali pada tanggal 15 April 1817 oleh Dr. Casper Goerge Carl Reinwardt yang diutus oleh pemerintah Belanda ke nusantara selaku penasehat ahli dari Tim Botani untuk pengembangan dan penelitian ilmu pengetahuan yang kemudian ide ini disampaikan kepada G.A.G.P. Baron Van Der Capellen,Komisaris Jendral Hindia Belanda saat itu dan beliau akhirnya menyetujui gagasan Reinwardt. Kebun Botani ini didirikan di samping Istana Gubernur Jendral di Bogor pada tanggal 18 Mei 1817, dilakukan pemancangan patok pertama yang menandai berdirinya Kebun Raya yang diberi nama 'Slands Plantentiun te Buitenzorg'.

Saya tidak dapat berlama-lama di kebun raya ini, karena ketika saya datang sudah jam 4 sore sedangkan jam buka dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore saja. Namun kenangan dan berjuta pesona Kebun Raya Bogor mampu memikat hati ini untuk datang dan insya Allah saya akan datang lagi….. hujan deras yang mengguyur kota ini mewanti-wanti untuk selalu membawa payung, karena memang Bogor dikenal sebagai Kota Hujan…. Hujan terus mengguyur sampai saya beranjak meninggalkan kebun raya ini.

Dalam daftar buku tamu banyak kesan dan pesan yang tertulis dari para pengunjung. Seperti ‘Trully Heaven on the Earth’ sebait kalimat yang ditorehkan Vasin Tanghaen salah seorang anggota dari the Group of Thai Palm and Cycad Lovers yang pernah berkunjung ke tempat ini. Kesan singkat lainnya juga di torehkan oleh Chalermchart Sooorangura ; ‘Excellent Garden with Very Knowledgeable staffs’.
I Luv U Full Bogor….