Rabu, 24 Februari 2010

Kasih Ibu Sepanjang Masa…


Malam ini, saya hendak mengunci pintu kantor dan bersiap pulang menuju rumah. Rolling door sudah saya rekatkan serta lampu, komputer dan AC sudah saya matikan semua. Namun ketika gembok hendak saya letakkan pada daun telinga pintu, mata saya tertumbuk pada sesosok tubuh kecil yang tergeletak tertidur pulas di atas lantai keramik di depan pertokoan Islamic Centre Kota Serang tempat kantor saya berada. Disisi bocah itu duduk seorang ibu paruh baya yang sedang asyik membaca sobekan koran dalam keremangan cahaya lampu sambil sesekali tangannya mengibaskan koran tersebut diatas tubuh anaknya yang mungkin terganggu oleh nyamuk dan serangga lainnya.

Udara diluar terasa dingin, karena sore tadi hujan mengguyur Kota Serang menyisakan genangan air dan lantai yang masih basah. Saya membayangkan dinginnya lantai dan aroma lembab yang pasti ditimbulkan dari bekas hujan. Saya mencoba mendekati ibu muda tersebut, sambil berharap kehadiran saya tidak mengganggu konsentrasi dan keseriusannya menjaga sang buah hati yang sedang terlelap.

Saya memulai percakapan dengan menanyakan mengapa anaknya tertidur di atas lantai tanpa alas sehelai kain atau karton yang mungkin bisa sedikit menahan rasa dingin. Ia hanya tersenyum dan mengatakan bahwa ia sedang mencari sang suami. Pekerjaan sang suami katanya berprofesi sebagai pengamen jalanan, sedangkan ia harus bertemu dengan sang suami malam ini juga karena pemilik rumah tempat tinggalnya saat ini sudah mengharuskannya keluar dari kontrakannya karena sudah dua bulan tidak mampu membayar sewa. Huff…. Saya hanya mampu menahan nafas ini….

Saya membayangkan rasa putus asa menghadapi hidup yang dialami sang Ibu. Namun ketegarannya mampu menahan rasa lelahnya menyusuri jalanan Kota Serang demi mencari pujaan hatinya yang juga mungkin sedang berjibaku ‘menjual’ suaranya sebagai pengamen jalanan.

Sang Ibu menceritakan bahwa anaknya tadi berkata sudah sangat kelelahan berjalan kaki dari rumah kontrakan mereka di daerah Sempu di selatan Kota Serang, dan meminta istirahat sampai akhirnya sang anak tertidur di emperan samping kantor saya…. Hmm, saya merasa berdosa karena tidak memperhatikan apa yang terjadi diluar kantor sampai saya hendak pulang malam ini.

Saya kembali membayangkan bagaimana rasanya tidur tanpa alas di tempat terbuka. Saya pernah tidur di tempat terbuka saat kemping dan naik gunung, namun dengan perlengkapan yang cukup serta jaket anti dingin. Tapi saya masih tidak bisa membayangkan ketika hal ini terjadi pada seorang anak yang ditemani oleh ibunya yang tidak sanggup memberi ‘nilai’ lebih pada buah hatinya karena dikalahkan oleh keadaan.

Saya menawarkan untuk mau menginap di rumah saya, tapi ia menolaknya karena masih ingin mencari suaminya walaupu sampai besok. Huff… saya membayangkan urgensi adanya Trauma Center yang bisa menampung saudara-saudara kita semacam ini… saya membayangkan adanya Baitul Maal yang mampu mengayomi orang miskin dalam situasi terdesak… saya membayangkan pasal-pasal dalam Undang-Undang Dasar 1945 perihal ‘orang miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara’… hihihi… saya hanya bisa tersenyum kecut.

Saya sudah tidak ingin membayangkan teman-teman saya yang duduk sebagai anggota dewan yang terhormat di DPR, DPD, serta DPRD ataupun rekan saya yang duduk sebagai pemangku kebijakan di pemerintahan yang setiap perjalanan dinasnya selalu meminta fasilitas hotel bintang 3, 4 dan lima ditambah plus-plus yang lainnya…. tenggorokan saya seperti tercekat.

Saya menatap wajah anak itu dan wajah ibunya yang masih terlihat buliran keringat mengalir di wajahnya. Saya merasa berdosa malam ini karena tidak sempat memberinya apapun, karena saat saya kembali lagi ke lokasi semula dari mengambil sedikit dana di ATM…. si ibu dan anaknya sudah pergi entah kemana….. seperti raibnya rasa keadilan dan rasa sosial di negeri ini. Saya merasa sangat bersalah karena mungkin sudah terlalu banyak bertanya dan tidak memberinya apapun….. malam ini langit begitu kelam dan gelap…. Segelap harapan jutaan rakyat yang berharap adanya perubahan dinegeri ini…. Tapi saya percaya Allah tidak tidur…..

Selasa, 23 Februari 2010

CENTURY DAN ONGKOS POLITIK RAKYAT


Malam ini, pembacaan keputusan hasil Pansus Bank Century di DPR RI seperti menyedot perhatian seluruh rakyat Indonesia. Mang Jaim, penjaga malam di salah satu kantor di Kota Serang saat saya jumpai pagi tadi terus ‘mengoceh’ dengan segala sumpah serapah tentang uang 6.7 Trilyun yang katanya dia sendiri tidak tahu ada berapa angka nol di belakang 6.7 tersebut.

Lain lagi dengan Ucil (dipanggil Ucil karena perawakannya yang kecil seperti anak SD walaupun usianya sudah 19 tahun), loper koran di Pisang Mas yang sehari-hari mengantar koran di kantor. Pagi tadi ia bercerita panjang lebar tentang Bank Century… seperti pengamat politik lainnya (padahal ia hanya tamatan sekolah dasar di Serang). Ia mengutuk tujuh turunan penggunaan dana 6.7 trilyun yang katanya kalau uang itu dibelanjakan untuk beli beras bisa buat stok beberapa tahun di Kota Serang… (katanya semua data ia baca di Koran yang ia jajakan.. hehehe, pinter juga dia).

Saya tidak mau su’udzon atau menuduh kepada orang atau lembaga yang harus bertanggung jawab siapa dan kepada apa uang itu bisa digelontorkan…? Saya jadi ingat masa-masa kampanye 1997, 1999, 2004, 2009 dan beberapa kali pemilihan Gubernur, Bupati serta walikota di Banten yang saya sedikit banyak ikut terlibat didalamnya. Memang tidak ada korelasinya secara langsung dengan uang Bank Century… tapi saya menghitung-hitung ongkos politik dalam roda demokrasi di Indonesia bahkan di dunia.

Saya ingat kasus ‘ongkos politik’ yang terjadi di Amerika yang melibatkan Bos Taipan asal Indonesia yang memiliki kantor pusat di Banten… ya tepatnya di Karawaci Tangerang. Dialah James T. Riyadi pemimpin Group Lippo yang harus menerima putusan kerja sosial selama 400 jam di tahun 2001 dan membayar ganti rugi 8.6 juta USD (setara 86 milyar jika kurs 10.000). James juga harus memakai seragam khusus dengan tulisan ‘bersalah’ di punggungnya dengan cara membersihkan toilet umum, panti jompo dan fasilitas sosial lainnya. Hal ini karena James terbukti memberikan sumbangan illegal terhadap Bill Clinton saat akan menjadi presiden Amerika di tahun 1992 dan tahun 1996.(http://www.gatra.com/2001-01-12/artikel.php?id=2919).... Permasalahan selanjutnya, apakah di Indonesia bisa diterapkan hal serupa..?

Saya membayangkan berapa ongkos politik yang dikeluarkan partai-partai, para caleg, calon gubernur, calon bupati, calon walikota dan calon kepala desa di kampung. Saya ingat cerita rekan saya yang saat ini menjadi kepala desa di beberapa lokasi di Banten. Untuk ukuran kursi kepala desa saja, seseorang tidak sungkan untuk merogoh kocek sampai ratusan juta rupiah…. Weleh-weleh…. Ketua Dewan Penasehat Partai Golkar Surya Paloh, memiliki pengalaman tersendiri. Dia menghabiskan dana lebih dari Rp1 miliar hanya untuk berpidato selama 15 menit di panggung kampanye di sebuah lapangan sepakbola, di Mandailing Natal, Sumatera Utara saat kampanye 2009…. ckckckck. Untuk partai-partai, VIVAnews melaporkan bahwa Partai Gerakan Indonesia Raya tercatat sebagai partai dengan dana kampanye terbesar di Komisi Pemilihan Umum yakni Rp 308 miliar. Partai Hati Nurani Rakyat jauh di bawah jumlah itu yakni Rp 19 miliar, Partai Amanat Nasional Rp 18 miliar dan Partai Kebangkitan Bangsa Rp 3,6 miliar (http://politik.vivanews.com/news/read/63443-inilah_laporan_dana_kampanye_gerindra)

Sedangkan untuk calon presiden dan wakil presiden, saldo awal dana kampanye tiga pasang calon presiden dan wakil presiden diumumkan. Pasangan kandidat dengan saldo awal tertinggi adalah Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Boediono, yang mencapai lebih dari Rp 20 miliar… hehehe, itu baru saldo awal (http://politik.vivanews.com/news/read/61913-dana_kampanye_sby_boediono_tertinggi__rp_20_m)

Saya tidak merasa heran jika banyak pihak menenggarai, bahwa dana talangan Bank Century habis di pakai ‘bancakan’ oleh partai tertentu yang kemdian didistribusikan kepada para peserta partai koalisi… cabe deh… terbukti banyaknya penerima dana dari Bank Century yang fiktif tercatat di bank tersebut.

Lain lagi cerita teman saya yang sedang melakukan penelitian di sebuah Taman Nasional di Kalimantan, yang menceritakan bahwa setiap akan diadakan pemilihan kepala daerah di wilayah tersebut selalu ada alih fungsi hutan dari hutan negara menjadi hutan rakyat yang dapat di konversi menjadi lahan pertanian dan tempat tinggal, padahal itu adalah lahan konservasi… huff, alasannya kandidat dari calon-calon kepala daerah tersebut memberikan konsensus tersebut dengan harapan akan dipilih lagi…. cara lain money politik… hihihi

6.7 Trilyun… saya sudah tidak ada gairah untuk membayangkan berapa nol dibelakangnya…. Saya hanya terbayang wajah-wajah para politikus…. (yang sebagian diantara mereka adalah kawan-kawan saya juga… hihihi). Hampir semua kasus hukum dan kasus politik di negeri ini selalu diungkap setelah ada tuntutan dari masyarakat… itu juga setelah alasan-alasan yang diungkapkan selalu mentah….

Indonesia memang terlalu luas… terlalu banyak permintaan dari rakyat…. terlalu banyak harapan yang ditumpukan pada pemimpin… dan terlalu banyak janji dari para parpol dan para kandidat untuk meningkatkan kesejahteraan… saya teringat sebuah iklan salah satu produk furniture beberapa tahun lalu…. “kalau sudah duduk lupa berdiri”… hehehe, bukan hanya lupa berdiri…. Juga lupa pada konstituennya. Tidak percaya…? Bukalah sedikit memori politik anda…. Seberapa sering dulunya saat kampanye, para parpol dan para kandidat mengunjungi kita semua…? Setelah jadi…? Cukup lihat rakyat yang kurang gizi dari televisi, cukup lihat sekolah roboh dari Koran, dan cukup sekian cerita saya.

Ciaooooo, I Luv U Fullll Indonesia.

Jumat, 19 Februari 2010

Mencari Kerja Halal…


Siang tadi, ketika saya berkeliling kota Serang hingga kawasan Cipocok, mobil yang saya kendarai berpapasan dengan bocah usia belasan yang sedang berkeliling menjajakan dagangannya berupa cobek…. ya cobek, yaitu alat untuk mengulek (menghaluskan) bumbu masakan di dapur, terbuat dari batu kali yang berat. Anak kecil itu memilkul sekitar sepuluh buah cobek berbagai ukuran, masing-masing lima buah di tiap sisi pikulannya.

Sepanjang perjalanan saya tidak habis berpikir, saat jam pelajaran sekolah berlangsung, anak tersebut justeru berkeliling dari satu kampung ke kampung lainnya sekedar menjajakan cobek. Padahal seperti kita ketahui dalam sehari belum tentu barang dagangannya tersebut ada yang membeli. Dengan beban berat di pundaknya, tak nampak sebersit keluh kesah yang terucap di bibirnya.

Saya teringat beberapa minggu lalu saat saya berkunjung ke Baduy Dalam bersama rekan-rekan dari Jakarta. Sepanjang jalan setapak yang kami lalui, ada seorang bocah Baduy Luar yang terus mengikuti kami sambil menawarkan air mineral dalam kemasan. Awalnya guide kami sesama orang Baduy menolak dan menyarankan agar si anak tak usah menawarkan pada rombongan kami, karena dalam group kami, perbekalan air dan makanan sudah lebih dari cukup.

Saya melihat sebuah kardus yang dipikulnya sepanjang jalan dengan terus membuntuti kami, sampai ketika kami melewati Kampung Gazebo di Baduy Luar, si anak ikut beristirahat da kembali menawarkan air mineral yang ia jajakan. Hmm, saya tertarik memulai pembicaraan dan menanyakan berapa botol yang ia bawa hari itu. Dan sambil tersenyum si anak mengatakan bahwa ia membawa dua puluh lima botol air mineral ukuran 500 ml…. woow, kuat sekali bocah ini yang sanggup membawa beban demikian berat dengan kondisi jalan naik turun bukit dan kondisi jalan basah akibat habis di guyur air hujan.

Saya menanyakan berapa harga jual satu botolnya, dan ia menjawab dua ribu lima ratus rupiah. Haaa..? harga tersebut sama dengan dan bahkan lebih murah jika kita membelinya di warung pinggir jalan dengan merek yang sama. Saya menanyakan berapa keuntungan satu botol dari hasil berjualannya. Dan ia kembali menjawab tiap satu botol ia mengambil margin lima ratus rupiah saja…… amazing….

Dan malam ini, ketika saya sempatkan mampir ke kantor untuk satu urusan. Saya kembali berjumpa dengan kawan anak si penjual cobek yang siang tadi saya temui. Ia sedang menunggu teman-temannya di emperan pertokoan Masjid Agung Serang karena mereka janjian bertemu di Masjid ini sekedar melepas lelah melewati malam untuk melanjutkan perniagaannya esok hari.

Saya merasa kelu lidah dan lemas badan melihat perjuangan anak-anak usia belasan tersebut yang sudah harus mencari nafkah dengan beban hidup yang harus mereka jumpai. Kerasnya kehidupan dan cueknya para pemimpin akan realitas yang ada membuat hati kecil ini …. mungkin tertawa.. ya, saya hanya bisa tertawa melihat rekan-rekan di legislatif yang demikian semangat membahas anggaran dan melihat pola tingkah laku rekan-rekan di eksekutif yang ‘semangat’ juga untuk merealisasikan anggaran yang telah di sahkan di legislatif.

Besarnya anggaran pendidikan bagi anak bangsa seolah lenyap seperti bulir-bulir es yang terpanggang di bawah sengatan matahari di kala terik. Mobil yang saya kendarai melewati rumah orang nomer satu di provinsi ini…. dan melewati kantor salah satu partai pendukung calon bupati yang sebentar lagi bertarung…. yang tampak hanya kesan angker dengan pagar tinggi dan penampakan kemewahan di hadapan rakyatnya.

Hanya saja, sayangnya anak penjual cobek itu bukan dilahirkan dari rahim seorang ibu yang kebetulan menjabat sebagai gubernur atau bupati…. Tapi ia terlahir dari seorang rahim ibu warga negara biasa yang tidak memiliki koneksi dan akses kepada pusat pemerintahan…..

Rabu, 17 Februari 2010

Administrasinya…. Up to You


Rekan saya dari Jepang menceritakan pengalaman berurusan dengan birokrasi di Indonesia yang baginya memberikan pengalaman menarik…. dan sangat menarik mungkin bagi kita juga, atau sudah menjadi budaya bagi kita saat mengurus KTP, SIM, KK atau Pasport. Ceritanya berawal ketika beliau akan mengurus izin tinggal sementara di Indonesia atau biasa di singkat KITAS (Kartu Izin Tinggal Sementara) sehubungan dengan tugas belajar dan penelitian di Indonesia.

Semua persyaratan dan dokumen yang dibawanya dari Universitas Kyoto di Jepang sudah semuanya dilengkapi termasuk surat-surat dari Konjen RI di Osaka dan izin penelitian dari LIPI. Semua urusan birokrasi nyaris lengkap dan tinggal mengurus beberapa izin untuk tempat tinggal di lokasinya bermukim.

Mulai dari surat pengantar di kelurahan, kecamatan hingga kelengkapan administrasi di Polres. Namun semua itu serasa hambar karena dalam hal pengurusan di salah satu instansi pemerintah masih harus dilakukan untuk melengkapi satu surat pengantar. Saat menunggu surat pengantar dikeluarkan, serasa sangat lama sekali nyaris membuat hati kesal. Akhirnya beliau menanyakan, kenapa surat pengantarnya tidak kunjung selesai…. “Sebentar mbak, sedang dalam proses”. Dengan sabar ia menunggu dan terus menunggu.

Sampai matanya tertumbuk pada papan pengumuman bahwa pengurusan surat-surat administrasi apapun di kantor tersebut dinyatakan gratis alias tidak usah membayar. Ya memang untuk urusan SOP (standard operation procedure) Indonesia tidak kalah dengan luar negeri. Sama halnya jika kita akan membuat SIM di kepolisian, semua harga yang harus kita bayarkan sudah tertera sangat jelas didinding pengumuman dan biasanya ada plang atau spanduk pengumuman bertuliskan “Jangan Menggunakan Jasa Calo dalam Membuat/Memperpanjang SIM”…. Sangat reformis.

Namun semua slogan itu seperti hiasan dinding semata. Mulai dari tarik menarik saat kita sampai di lokasi (seperti penumpang ditarik dan diajak naik bis saat masuk terminal.. hiiii), hingga tawaran mempermudah pengurusan jika menggunakan ‘orang dalam’ kalau mau cepat mengurus SIM. Dan anehnya yang menawari semua itu adalah orang-orang yang berseragam juga….. slogan tinggal slogan, kenyataannya memang susah untuk menjadikan peraturan berjalan sesuai SOP…. Cabe deh…

Kembali pada cerita kawan saya tersebut, akhirnya ia kesal juga ketika harus mengunggu begitu lama dan ia bertanya kembali pada petugas di kantor pemerintah tersebut…. “Pak, apakah surat saya sudah selesai…?” (tentu dengan bahasa Indonesia yang gado-gado karena memang baru belajar bahasa Indonesia) dan bapak tersebut katanya tersenyum dan mengeluarkan secarik kertas yang disodorkan padanya dan mengatakan…. “Oh iya, sudah selesai silahkan diterima ya… tapi anda harus menyelesaikan biaya administrasi”. Teman saya bingung, karena di pengumuman tertera bahwa pengurusan surat gratis tapi kok harus bayar…? Dan ia kembali bertanya… “berapa biaya administrasinya Pak..?”.. sambil tersenyum-senyum katanya si Bapak menjawab sekenanya… “Administrasinya, up to you”

Tentu saja kawan saya tambah bingung berapa ia harus keluarkan dalam pengertian ‘Up to You’…. Karena tafsir ‘up to you’ begitu luas…. dan akhirnya ia mengeluarkan uang bergambar Sultan Mahmud Badaruddin II tiga lembar berwarna merah yang diserahkan kepada petugas tadi yang katanya langsung dimasukkan kedalam kantong petugas tadi sambil mengucapkan tengkyu… tengkyu… tengkyu… Hmm, I luv U full Indonesia…..

Sekali Lagi Tentang Rasa MALU (Catatan untuk Plagiarisme)


Dua hari ini (15-16 Feb) saya sengaja mengikuti Internasional symposium dengan tema ‘Melihat Hubungan Jepang-Indonesia’ yang diselengarakan oleh Japan Fondation, Program Paska sarjana Kajian Jepang Universitas Indonesia dan CSEAS - Universitas Kyoto bertempat di Universitas Indonesia.

Undangan ini saya dapatkan dari rekan saya di Japan Fondation yang kebetulan juga beberapa pembicara dari Kyoto University adalah kawan dekat yang memang sering berinteraksi untuk beberapa urusan. Semua pemateri baik dari Jepang maupun dari Indonesia yang tampil sangat memukau dan memberikan pencerahan baru dari berbagai topik yang dibahas, mulai ekonomi, sosial, politik hingga topik humaniora yang kadang diluar pemikiran umum seperti kartun dan gaya hidup serta keseharian masyarakat muslim di Jepang dan para pekerja Indonesia disana.

Saya merasa bersyukur karena dapat mengikuti acara ini secara utuh….. dan gratis pula… he he he. Disela-sela symposium, kami para peserta dan beberapa pembicara saling bertukar pikiran dan berdiskusi kecil menyikapi perkembangan internasional, topik nasional hingga gossip lokal menyangkut Banten. Hal ini dikarenakan beberapa peserta yang hadir sebagai peserta adalah rekan ‘seperjuangan’ di Banten…. Kayak tahun 45 aja pake istilah seperjuangan… hehehe.

Satu topik yang menjadi pembicaraan serius yaitu seputar gossip lokal munculnya isu plagiat yang dilakukan oleh salah seorang professor di Universitas Negeri Sultan Ageng Tirtayasa…… ya, sengaja saya cantumkan Universitas Negeri…. karena dulunya universitas ini adalah universitas swasta yang begitu ‘ngototnya’ mengejar status negeri dalam kesempatan yang bersamaan ketika Provinsi Banten baru lahir. Euforia menyambut lahirnya universitas negeri ini sangat mengharu biru civitas akademika di Banten pada umumnya…. sayapun salah seorang yang menyambut dengan suka cita hadirnya universitas negeri ini, hingga saya mendaftarkan diri menjadi mahasiswa kelas non regular di salah satu fakultasnya.

Karena latar belakang yang sepi dari dunia kampus, saya mencoba memahami beberapa ‘kasus’ menarik yang bagi saya agak ganjil ketika mengikuti perkuliahan yang selalu sepi dari kehadiran mahasiswa dan berbalik seratus delapan puluh derajat saat akan ujian UAS… he he he (maaf saya terlalu jujur…hihihi). Saya mencoba semakin memahami saat beberapa kawan saya ‘mengadakan’ sidang ujian skripsi di salah satu hotel di kawasan Anyer… hehehe, sekalian liburan kali ya…? Tapi itu dulu, ketika universitas negeri ini baru berdiri.

Saya teringat ketika saya menjalani siding skripsi di fakultas (karena saya tidak bergabung dalam kelompok Anyer, maka jadinya saya ikut ujian di kampus)….. saat itu saya seolah terbanting dari atas tebing ke jurang paling dalam saat mengikuti ujian sidang…. Hal ini dikarenakan salah seorang penguji mengatakan bahwa skripsi saya saya tidak layak dan dianggap terlalu mengawang-awang serta terlalu tinggi untuk ukuran Banten…? Hehehe, tengkyu Pak. (padahal saya ingat ketika salah satu penguji tersebut mengatakan…. Jangan sekali-sekali mengutip tulisan orang lain atau tulisan asing yang tidak bisa dipertanggung jawabkan asal tulisan tersebut…. (padahal saya sudah menyertakan footnote…. sabar… sabar..)

Beberapa tahun kemudian, saat saya mengikuti perkuliahan di Nanyang Technological Universtity di Singapore untuk kelas post graduate, salah seorang dosen senior saat memberikan perkuliahan umum mewanti-wanti agar setiap mahasiswa untuk tidak…. tidak…. dan tidak…. menjadi plagiator dalam hal menyusun paper atau tugas kuliah. Karena pihak universitas NTU memiliki software pelacak plagiat. Mendengar hal ini beberapa rekan saya ‘jiper’…. salah seorang rekan saya menjadi kutu buku dadakan, salah seorang lainnya menjadi anak perpustakaan, dan yang sangat miris adalah salah seorang rekan saya dari utusan militer harus ‘angkat koper’ karena ketatnya sistem pembelajaran dan pembuatan tugas-tugas kuliah yang membuatnya stress duluan.

Hari ini, kami membicarakan kasus dugaan plagiat yang dilakukan oleh salah seorang professor di Universitas Tirtayasa di salah satu pojok kantin Universitas Indonesia. Kami semua menjadi terdiam dan terpaku…. Membayangkan wajah sang professor yang sampai hari kelima dari munculnya aksi gugatan di milis dan facebook seputar aksi plagiat tersebut. Saya membayangkan aksi gentleman seorang professor di Universitas Parahiyangan yang beberapa hari kemarin meminta maaf atas kasus plagiat yang dilakukanya di Koran The Jakarta Post dan pihak redaksi Jakarta Post juga telah mencabut dan meminta maaf atas termuatnya artikel sang professor dari Bandung tersebut yang menurut pihak redaksi sangat memalukan…. Tinggal kini keberanian media massa di Banten dan civitas akademika di Untirta menyikapi hal ini.

Rekan saya di Kyoto University mengomentari kejadian ini dengan membandingkan kejadian serupa yang pernah terjadi di Jepang. Kata beliau, di Jepang pernah terjadi kasus plagiat. Salah seorang pelaku plagiat meminta maaf dan mengundurkan diri dari kampus…. dan salah seorang lagi pelaku plagiat melakukan aksi bunuh diri untuk menutupi rasa malunya. Saya merinding membandingkan aksi professor di Jepang dengan di Banten…. Aksi professor di Parahiyangan selaku ‘pelaku plagiat’ yang meminta maaf minggu kemarin adalah salah satu aksi simpatik…. tidak mencari-cari alasan dengan beribu alasan lain yang dikemukakannya. Karena kebohongan yang dikemukakan untuk menutupi kebohongan akan menciptakan kebohongan yang lebih besar.

Kiranya para mahasiswa dan masyarakat pembaca koran sudah mahfum…. Teman saya diujung sana berteriak lantang….. Ini Banten Bung!

Sabtu, 13 Februari 2010

Banjir dan Publisitas Pemimpin Kita


Kemarin dalam perjalanan melewati Kota Jakarta, ada yang sedikit aneh ketika melewati beberapa ruas jalan di jalur dalam kota. Biasanya jika hari libur, jalan-jalan di Jakarta tidak akan macet karena aktifitas keramaian menyusut dikarenakan berkurangnya aktifitas perkantoran. Namun kemarin agak sedikit berbeda, bukan karena adanya mobil yang mogok di dalam jalan tol ataupun adanya demonstrasi. Namun kemarin beberapa ruas jalan di tutup, atau lebih tepatnya tertutup oleh aliran ‘air kiriman’ dari Bogor yang biasanya disebut banjir tahunan. Orang-orang media massa selalu menyebutnya ‘banjir kiriman’.

Kok bisa-bisanya media massa menyebutnya banjir kiriman…? Memangnya banjir tersebut dikirim pakai Pos atau DHL…? Sehingga disebut banjir kiriman…? weleh-weleh…. memang tidak salah, karena banjir di beberapa wilayah pemukiman di Jakarta seperti ritual tahunan yang harus ‘pasrah’ diterima oleh warganya bila datang musim penghujan. Kalau yang dikirim adalah duren atau rambutan apalagi dukuh, tentunya akan menyenangkan kita semua. Tapi kalau yang datang setiap tahun adalah banjir…??? Tentu tidaaaaaaaak.

Dengan sigap, ketika informasi dari penjaga pintu air di Bogor mengatakan bahwa air sudah melewati garis normal, maka para pejabat sudah dengan sigapnya berbicara didepan media bahwa bantuan logistik akan segera datang yang akan diantar langsung oleh pejabat tadi….. HEBAT. Sangat hebat untuk sebuah peningkatan citra, tapi tidak untuk masa depan masyarakat yang setiap tahunnya dihantui kiriman banjir dan bukannya bantuan sementara yang hanya bisa ‘meninabobokan’ sekejap saja.

Saya ingat kejadian banjir yang juga selalu menerjang wilayah Banten Selatan, tepatnya di kawasan Patia dan sekitarnya di Kabupaten Pandeglang. Setiap tahunnya wilayah ini juga selalu mendapat banjir kiriman dari hulu sungai di kawawsan perbukitan.

Hampir semua pejabat dari tingkat Gubernur, Bupati, anggota DPRD, Partai politik, Camat dan kepala Desa dibuat sibuk. Pada hari-H saat banjir datang semua pihak berubah bentuk menjadi ‘sinterklas’ yang dengan keramahan hati mendistribusikan bantuan langsung kepada masyarakat sekitar Patia yang diterjang banjir. Sangat bagus memang dan sangat tepat, walaupun program ‘sunat’ bantuan sudah menjadi rahasia umum.

Ritual tahunan banjir dan pemberian bantuan seperti menjadi kebiasaan yang setiap tahun harus dijalani. Beberapa pejabat hanya enteng mengatakan bahwa kejadian banjir di wilayah-wilayah tersebut merupakan kejadian biasa setiap tahunnya, ketika pejabat tersebut menyikapi dimuatnya foto banjir di Patia Pandeglang tahun yang lalu dimuat di salah satu media massa luar negeri…. Ha ha ha, saya jadi tertawa mendengarnya. Ada alasan lebih konyol dari beberapa pengurus partai politik yang mengatakan bahwa pemberian bantuan ke masyarakat tersebut tidak perlu lagi dilakukan, karena dengan pengalaman mereka, katanya bantuan diterima oleh masyarakat, tapi saat pencoblosan pemilu suara mereka selalu jeblok…. Weleh-weleh… katanya kalau nyumbang harus ikhlas.. ? piye’ toh mas..?

Yang menjadi pertanyaan, apakah memang masyarakat harus ‘pasrah’ menerima keadaan lokasinya menjadi wilayah banjir setiap tahunnya..? Saya jadi terbayang bagaimana Belanda dapat membangun tanggul yang begitu kokohnya untuk menahan laju air yang berada lebih tinggi dari daratannya (walau katanya dana pembangunan tanggul tersebut berasal dari nusantara). Saya juga teringat pembangunan kanal timur di Jakarta yang sampai saat ini menjadi ‘rebutan’ politik dengan beragam alasan.

Banjir di negeri ini menjadi sangat menarik untuk dikaji, disoroti, dinikmati dan dijadikan komoditas pembicaraan dalam parlemen. Anggaran setiap tahun selalu disediakan untuk penanggulangan banjir dan bantuan untuk korban banjir, namun yang disayangkan selalu menguap entah ditelan siapa.

Menjadi lelucon publik tentunya, kalau Pemerintah Provinsi Banten sanggup membiayai peningkatan tinggi ruas jalan di sekitar lampu merah Palima dengan alasan banjir…. dan lupa akan membuat tanggul di Patia yang dalam kenyataannya lebih urgen. Semoga saudara-saudara kita di lokasi-lokasi banjir dapat nyenyak tidur tanpa dihantui rasa takut akan datangnya banjir saat lelap dalam tidurnya…. Minimal dapat bermimpi saat lelapnya kalau-kalau para pemimpinnya masih memperhatikan nasib rakyatnya… amiiin.

Jumat, 12 Februari 2010

Rasa Malu


Siang tadi ketika saya sedang berbincang-bincang dengan rekan saya Kang Indra Kusuma (Fajar Banten) di sisi jalan protokol Kota Serang, tepat di sebelah sebuah kantor salah satu instansi pemerintah Banten, kami dikejutkan oleh aksi ‘simpatik’ yang dilakukan oleh salah seorang satpam di kantor tersebut. Kegiatan yang ia lakukan mungkin juga ‘ritual’ kecil setiap akhir pekan…. Ya, satpam tersebut mengganti plat nomer mobil tersebut yang semula berwarna merah (A-XX ) diganti dengan plat mobil berwarna hitam, konyolnya lagi plat mobil tersebut berseri (B-XXXX-NFL). Woow, dari plat berwarna merah bisa ‘disulap’ menjadi warna hitam dan dari seri A bisa ke B… saluuut. Dan itu dilakukan untuk mobil sekelas kepala dinas.

Kami hanya tertawa saja melihat kelakuan satpam tersebut, ia mungkin hanya melakukan apa yang di tugaskan oleh atasannya. Ya, sebagai seorang bawahan terkadang kita memang agak sulit menolak perintah atasan. Ketika saya ngobrol dengan tersebut sore harinya, katanya hari senin nanti plat tersebut diganti lagi ke plat merah…. hehehe

Saya jadi teringat kejadian beberapa minggu terakhir, saat masyarakat ribut-ribut soal pembagian jatah mobil mewah mulai dari para menteri, anggota DPR, anggota DPRD Banten, anggota DPRD Serang dan terakhir rencana pembelian mobil dikalangan kantor dinas di Banten.

Dari rencana dan pendistribusiannya memang tidak ada yang menyalahi prosedur hukum. Karena semua terlihat sudah sesuai dengan juknis, namun pertanyaannya apakah semua itu sudah sesuai hati nurani…? Karena hati nurani tidak bisa dibohongi. Disaat masyarakat masih disibukkan dengan naiknya kebutuhan hidup, mulai dari biaya sekolah (katanya sudah gratis SPP, tapi pungutan lainnya menyusul tinggi), biaya sembako yang merangkak berlari berdasar deret ukur, kesulitan mencari pekerjaan, hingga lahirnya kebijakan-kebijakan pemerintah yang semakin berlari menjauh dari harapan masyarakat.

Penggantian plat mobil milik kepala biro pemerintah daerah tersebut ternyata hanyalah sebuah gunung es, sebab penggantian plat mobil dari ‘Warna merah’ menjadi hitam katanya disebabkan oleh maraknya demonstrasi mahasiswa terhadap mobil berplat merah.,,, hehehe, saya jadi tertawa sendiri (kalau tidak mau di demo, ya kelakuan pemilik mobil plat merah jangan neko-neko), alasannya untuk menghindari kejaran demonstran, jadi lebih baik diganti menjadi plat hitam (beberapa mobil dinas berplat hitam ditandai dengan akhiran….. NR alias Nomer Rahasia)… asyiiik.

Tentunya keasyikan ini berlanjut, sebab setelah dilihat-lihat dan diikuti alur perjalanan saat akhir pekan, mobil-mobil tersebut lebih banyak berkeliaran di mall, lokasi wisata, dan konyolnya beberapa diantaranya mampir di klub malam dan spa….. woow lebih asyik lagi tuh….

Nasib rakyat kecil saat ini di Indonesia memang harus lebih bisa memahami keinginan para pejabat. Tidak usah kita bermimpi akan kehadiran Umar bin Abdul Azis yang mematikan pelita di rumahnya ketika datang puteranya ke rumah dan ingin membicarakan keperluan keluarga… alasannya sederhana, pelita itu dinyalakan dengan uang negara dan harus dipakai untuk keperluan negara bukan untuk keperluan keluarga….. kalau pejabat kita pasti sudah menyiapkan berjuta alasan. Keperluan keluarga tapi katanya untuk menunjang keperluan negara… cabe dehhhh.

Cerita tentang kisah Umar, kisah para shalafus saleh yang mengikuti alur zuhud saat ini cukup untuk pelajaran di bangku madrasah dan sekedar cerita pengantar tidur semata, bukan lagi menjadi qudwah di zaman yang butuh kemewahan sebagai jaminan penghormatan….

Kamis, 11 Februari 2010

Sekali lagi tentang Nasi Aking*

Siang tadi saat istirahat kantor, saya menyempatkan diri ke toko buku di salah satu departemen store di Kota Serang. Karena jaraknya yang cukup dekat, saya memutuskan berjalan kaki saja… sampai tiba-tiba saya tertegun melihat seorang nenek paruh baya yang sedang menjemur nasi aking di trotoar jalan protokol seberang Bank Jabar-Banten. Hari gini masih makan nasi aking..? tidak ada yang salah memang, hanya saja ada yang mengganjal di hati ini.

Saya jadi teringat, kisah setahun lalu saat kampanye pilpres…. Salah seorang kandidat sampai membela-belakan diri datang ke Banten untuk sekedar lesehan dan makan nasi aking bersama warga Kota Serang yang hidup dibawah garis kemiskinan. Anehnya saat itu banyak yang kebakaran jenggot…. (padahal saya tau mereka-mereka itu kebanyakan nggak punya jenggot.. hihihi). Mulai dari birokrat, pejabat, sampai para rival politik. Dan lucunya beberapa statement para pejabat mengatakan bahwa nasi aking adalah budaya masyarakat Banten… jadi katanya tidak ada yang perlu dirisaukan… hahahaha. Namun demikian, beberapa kepala daerah sampai marah-marah terhadap rekan wartawan televisi yang menayangkan gambar warganya sedang makan nasi aking…. Sampai-sampai rekan wartawan tersebut harus tiarap dulu…. Huff. Kalau memang nasi aking adalah budaya kita, harusnya dalam setiap jamuan makan saat menyambut tamu di pendopo harus ada menu nasi aking dan juga nasi aking di sajikan serta diperjual belikan di restoran dan rumah makan ternama…..??? cabe deh….

Dalam perjalanan ke toko buku, pikiran saya selalu terbayang nasi aking dan korelasinya dengan budaya dan daya beli masyarakat terhadap beras. Ya, Beras… karena beras selaku bahan baku nasi selalu jadi komoditas politik dan komoditas pembicaraan masyarakat kita. Tadi saya sempat berbincang dengan nenek tersebut, dan sedikit menanyakan perihal kenapa beliau mengkonsumsi nasi aking. Jawabannya sederhana…. sesederhana ketika ia mengatakan, “kalau ada uang mah lebih baik makan nasi biasa…”

Saya membayangkan wajah birokrat yang mengatakan di media massa kalau nasi aking adalah bagian dari budaya masyarakat. Saya sangat setuju, karena memang pengkonsumsian nasi aking adalah budaya kepepet masyarakat, yang mana lebih baik masih makan nasi aking daripada yang mana tidak makan sama sekali….

Politik beras kita selalu menyengsarakan rakyat. Saat musim tanam, harga pupuk dan pestisida membumbung tinggi (bahkan lebih sering hilang dari pasaran)… dan saat musim panen, harga gabah petani selalu dihargai rendah dan anjlok di pasaran…. Jadinya para petani selalu tekor dalam berusaha. Padahal para petani kita saat ini lebih banyak yang hanya menjadi buruh garapan saja, sebab tanah persawahan di pedesaan sudah lebih banyak dikuasai oleh tuan tanah di kota.

Musim pilkada saat ini (Kab. Serang, Kota Cilegon, Kab. Pandeglang serta Kota Tangerang Selatan sebentar lagi mau nyari pimpinannya) adalah musim ‘panen’ bagi masyarakat biasa. Para pemimpin dan kandidat jadi lebih sering turun ke kampung dan pedesaan. Saatnya mendapat baju baru (walaupun bergambar orang yang terkadang tidak dikenalnya), saatnya mendapat bingkisan dan amplop beserta isinya (padahal bukan lebaran), musimnya perang ayat antar para ustadz dan kyai (padahal bukan kontes MTQ), dan musim panen beneran bagi insan pers (maklum iklan pilkada sangat menjanjikan).

Namun kisah nasi aking, kisah penderita gizi buruk, dan kisah marjinal masyarakat kita lainnya seperti kisah seribu satu malam yang selalu jadi tontonan dan cerita tiada henti tanpa pernah ada keseriusan untuk menanggulanginya, bahkan kalau bisa nantinya dijadikan proyek penanggulangan kemiskinan… hihihi.


*) Nasi aking adalah makanan yang berasal dari sisa-sisa nasi yang tak termakan yang dibersihkan dan dikeringkan di terik matahari. Nasi aking biasanya dijual sebagai makanan unggas. Tetapi belakangan masyarakat pun mulai mengkonsumsi nasi aking. Nasi aking bukanlah makanan yang layak dikonsumsi manusia; berwarna coklat dan dipenuhi jamur. Namun, masyarakat kelas bawah menjadikannya sebagai makanan pokok pengganti nasi karena tak mampu membeli beras. Untuk menghilangkan bau, nasi aking terlebih dahulu dipisahkan dari kotoran, dicuci, dijemur, lalu diberi kunyit untuk mengurangi rasa asam akibat jamur yang tertinggal (wikipedia).

Rabu, 10 Februari 2010

Maaf 'numpang' lewat....


Siang tadi saya seperti hari-hari lainnya, melewati jalan protokol dari rumah menuju kantor. Sampai di jalan raya, suara meraung-raung terdengar dikejauhan dalam kondisi menunggu lampu merah di perempatan Sumur Pecung, Kota Serang.


Pikiran pertama saya pasti akan ada mobil ambulance yang akan lewat... namun dugaan saya meleset, karena yang lewat adalah sebuah mobil land cruiser warna hitam berplat (A 45 CH-plat hitam) di dampingi oleh sebuah mobil polisi didepannya. Waduh... enak bener orang didalamnya, tidak usah menunggu lamanya lampu merah berganti warna... tidak usah menunggu dalam terik matahari.... hiks


Saya jadi berpikir lagi, bukankah beberapa tahun silam ada peraturan jika pengawalan tidak dibolehkan selain pejabat tertentu (ini juga masih dipertanyakan..? kenapa harus pejabat). Yang melintas barusan adalah sebuah mobil kandidat pemilihan Bupati Serang dengan slogan 'Tuntas'... weleh-weleh, saya jadi heran plus bingung... bisa-bisanya sebuah mobil 'biasa' yang tertempel atribut pilkada melenggang dengan pengawalan polisi melabrak lampu merah dan beberapa polisi lainnya memberhentikan kendaraan lain, walaupun saat itu lampu sedang hijau...


Saya jadi teringat beberapa 'gerombolan' motor besar yang sering lewat saat hari libur selalu mengeluarkan suara meraung-raung saat melewati jalan protokol dan konyolnya selalu didampingi oleh aparat kepolisian... huff. Kami-kami rakyat jelata yang hanya mengendarai mobil biasa, angkot, motor dan sepeda apalagi becak... harus menyingkir terlebih dahulu ke tepian jalan untuk memberikan jalur kepada rombongan dengan pengawalan tersebut.


Dipikir-pikir, kita seperti warga negara kelas dua dalam sebuah negeri yang kita yakini sudah merdeka ditahun 1945. Saya jadi teringat apakah status kepemilikan kendaraan yang berbeda menyebabkan perbedaan pelayanan selaku pengguna jalan..? padahal kita juga membayar pajak saat memperpanjang STNK, membayar pajak saat membuat SIM... huff


Ternyata, banyak orang berlomba jadi pejabat.. seperti jadi Bupati, Walikota, Gubernur atau anggota dewan yang terhormat karena memang pelayanan yang diterima kelak sangat 'aduhai' alias bergelimang penghormatan.... bahkan sampai di cium tangannya sama rakyat.... hmm


Tapi tunggu dulu, apakah mereka memikirkan kita saat sudah menjabat...? No Way...

Pengalaman membuktikan selama kemerdekaan diraih... ujug-ujug pemerintah mau mikirin kita, lah wong mikirin balik modal aja nggak habis-habis.... sebentar ya, saya mau tambah mobil baru, mau tambah rumah baru, mau tambah usaha baru dan mau tambah jabatan untuk kakak, adik, anak, sepupu, adik ipar, suami, istri, sampe nambah pusing rakyat yang melihat kelakuan para petinggi di republik ini.... ciaooooo


Memulai Dari Yang Berserakan


Hari ini, saya akan memulai menuliskan tentang apa yang saya lihat, saya dengar dan saya rasakan dalam meniti hidup di tanah para Jawara, tanah para Ulama, tanah para penguasa dan tanah milik rakyat yang sesungguhnya.


Alasan saya menulis artikel di Blog ini karena dengan inilah saya bisa mengekspresikan kemampuan saya. Mohon maaf jika ada yang tersinggung... mohon maaf jika ada kata-kata yang melukai... saya menyadari bahwa saya hanyalah manusia biasa...


Namun demikian, banyak hikmah yang saya dapatkan dari semua pengalaman saya tentang Tanah Banten yang sangat saya cintai. Jika semua perjalanan hidup ini selalu mulus, tentunya tidak akan ada dinamika dan pelangi kehidupan. Bukankah yang membuat roller coaster menjadi wahana permainan yang sangat menantang karena alur rel yang dimilikinya meliuk-liuk seperti rangkaian tubuh ular yang naik turun sehingga membuat adrenalin ini menjadi sumringah...


Tulisan-tulisan ini tidak akan 'menguliti' borok-borok para penguasa... karena saya sadar bahwa saya juga bukan malaikat yang putih bersih dari dosa... namun saya hanya seorang manusia biasa yang terkadang 'terpeleset' dan terkadang tergoda oleh manisnya dunia. Untuk itu, saya ingin berkontribusi melalui apa yang saya bisa.... walaupun hanya melalui untaian kalimat melalui blog ini. Saya hanya akan menuliskan tentang kehidupan masyarakat biasa seperti saya. Biarkanlah kehidupan para penguasa berjalan sendiri... syukur-syukur kalau mereka mau berbagi dengan kita walau hanya berbagi cerita.... dan tentunya bukan berbagi 'golok' apalagi berbagi kekerasan.


Selamat membaca.... Bravo Banten.... selamat untuk para rakyat selaku pemegang sah kekuasaan...