Sabtu, 17 Juli 2010

APAKAH MASIH PERLU MENGGUNAKAN PATWAL


Beberapa hari kemarin sebuah surat pembaca yang dimuat di Harian Kompas sempat membuat ‘geger’ istana. Hal ini dikarenakan surat pembaca tersebut mengkritisi ‘ritual’ patwal yang menjadi bodi kuat alias bodyguard sang presiden dari kediamannya di Cikeas ke Istana Negara di Medan Merdeka.

Dapat kita bayangkan bagaimana tidak nyamannya bila hampir setiap hari masyarakat harus berhadapan dengan kemacetan yang disebabkan oleh iring-iringan mobil kepresidenan yang seharusnya bbisa dihindari bila sang presiden mau tinggal di istana lebih sering daripada tinggal di Cikeas. Padahal jalur tersebut sudah sangat macet bila hari dan jam kerja.

Surat pembaca tersebut dari seorang wartawan bernama Hendra NS :

Redaksi Yth,
Trauma oleh Patwal Presiden Sebagai tetangga dekat Pak SBY, hampir saban hari saya menyaksikan arogansi Patroli dan Pengawalan (Patwal) iring-iringan Presiden di jalur Cikeas-Cibubur sampai Tol Jagorawi. Karena itu, saya-juga mayoritas pengguna jalan itu-memilih menghindar dan menjauh bila terdengar sirene Patwal.

Namun, kejadian Jumat (9/7) sekitar pukul 13.00 di Pintu Tol Cililitan (antara Tol Jagorawi dan tol dalam kota) sungguh menyisakan pengalaman traumatik, khususnya bagi anak perempuan saya.
Setelah membayar tarif tol dalam kota, terdengar sirene dan hardikan petugas lewat mikrofon untuk segera menyingkir. Saya pun sadar, Pak SBY atau keluarganya akan lewat. Saya dan pengguna jalan lain memperlambat kendaraan, mencari posisi berhenti paling aman. Tiba-tiba muncul belasan mobil Patwal membuat barisan penutup semua jalur, kira-kira 100 meter setelah Pintu Tol Cililitan. Mobil kami paling depan. Mobil Patwal yang tepat di depan saya dengan isyarat tangan memerintahkan untuk bergerak ke kiri. Secara perlahan, saya membelokkan setir ke kiri.

Namun, muncul perintah lain lewat pelantam suara untuk menepi ke kanan dengan menyebut merek dan tipe mobil saya secara jelas. Saat saya ke kanan, Patwal di depan murka bilang ke kiri. Saya ke kiri, suara dari pelantam membentak ke kanan. Bingung dan panik, sayapun diam menunggu perintah mana yang saya laksanakan.

Patwal di depan turun dan menghajar kap mesin mobil saya dan memukul spion kanan sampai terlipat. Dari mulutnya terdengar ancaman, “Apa mau Anda saya bedil?” Setelah menepi di sisi paling kiri, polisi itu menghampiri saya. Makian dan umpatan meluncur tanpa memberi saya kesempatan bicara. Melihat putri saya ketakutan, saya akhirnya mendebatnya.

Saya jelaskan situasi tadi. Amarahya tak mereda, malah terucap alasan konyol tak masuk akal seperti “dari mana sumber suara speaker itu?”, atau “mestinya kamu ikuti saya saja”, atau “tangan saya sudah mau patah gara-gara memberi tanda ke kiri”. Permintaan saya dipertemukan dengan oknum pemberi perintah dari pelantam tak digubris. Intimidasi hampir 10 menit yang berlangsung tepat di depan Kantor Jasa Marga itu tak mengetuk hati satu pun dari anggota Patwal lain yang menyaksikan kejadian itu. Paling tidak, menunjukkan diri sebagai pelayan pelindung masyarakat. Karena dialog tak kondusif, saya buka identitas saya sebagai wartawan untuk mencegah oknum melakukan tindak kekerasan. Ia malah melecehkan profesi wartawan dan tak mengakui perbuatannya merusak mobil saya. Identitasnya tertutup rompi. Oknum ini malah mengeluarkan ocehan, “Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini?”

Saat rombongan SBY lewat, ia segera berlari menuju mobil PJR-nya, mengikuti belasan temannya meninggalkan saya dan putri saya yang terbengong-bengong.

Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga.

HENDRA NS
Cibubur

Sederhana memang isi dari surat pembaca tersebut namun memiliki makna yang dalam bila Pak Presiden mau mendengar…. dan beberapa jam setelah surat pembaca tersebut dimuat di Kompas, hampir semua milis dan jejaring sosial mengomentari surat pembaca tersebut.

Mungkin diantara kita ada juga yang sering mendapatkan sikap yang tidak mengenakan ketika sedang berkendaraan lantas distop dan disuruh menyingkir untuk memberikan jalan bagi para pejabat… weleh-weleh.

Bulan lalu, ketika dalam perjalanan dari Danau Toba ke Kota Medan, mobil yang kami tumpangi sempat ditendang oleh para pengawal iring-iringan motor besar yang sedang melakukan konvoi. Supir didalam mobil yang saya kendarai awalnya sudah berhenti ketika seorang patwal menyuruhnya stop. Namun saya perintahkan kembali untuk tetap melajukan mobilnya setelah saya ketahui bahwa yang hendak lewat bukanlah ambulance tetapi hanya iringan motor besar alias Harley Davidson… huff, lantas secepat kilat seorang patwal dari arah belakang menendang mobil kami dan kami hanya bisa mengurut dada…. Baru beberapa hari kemudian ketika saya membaca harian Seputar Indonesia yang memuat ulasan dan foto Touring Harley di Sumatera Utara, ternyata para peserta iring-iringan motor besar tersebut adalah rombongan Kapolda Sumatera Utara… cabe deh.

Kejadian lainnya ketika salah satu kandidat calon bupati dengan slogan Tuntas di Provinsi Banten yang baru mendeklarasikan diri di Masjid Agung Serang lantas menyetop semua kendaraan yang hendak lewat di Jalan Veteran tepat di depan kantor yang saya tempati. Dalam hati, apa urgensinya memberikan jalan prioritas bagi pasangan calon bupati…? Selain brisik juga membuat pengguna jalan lainnya menjadi tidak nyaman tentunya.

Setelah kejadian tersebut, kiranya pemakaian patwal bagi para pejabat kiranya mesti ditinjau ulang..? selain menghabiskan anggaran tentunya juga merepotkan para pengguna jalan lainnya, padahal kita juga membayar pajak kendaraan dan pajak lainnya yang seharusnya sama berhak menggunakan jalan…??? Kalau untuk ambulance dan petugas pemadam kebakaran, memang harus diprioritaskan untuk diberikan jalan, namun untuk pejabat…? No Way…. Beberapa pejabat diluar negeri sangat tabu menggunakan patwal, tapi di negeri ini seperti menjadi kebutuhan dan kebanggan tersendiri.
Namun memang sebagai rakyat Indonesia, kita harus tetap sabar dan sabar… sabar saja, sudah untung bisa hidup di Indonesia…. I Luv U full Indonesia.

Minggu, 11 Juli 2010

Angkutan Rakyat


Sabtu kemarin saya ‘kembali’ mencoba angkutan rakyat yang paling popular di Pulau Jawa. Tidak salah lagi kalau itu adalah kereta api. Saya naik dari stasiun dari Kota Serang menuju Parung Panjang di Bogor. Dengan harga tiket sekali jalan seharga empat ribu rupiah. Sangat murah memang, kalau tidak dibilang terlalu murah. Namun tiket seharga segitupun masih banyak masyarakat yang lebih senang membayar diatas peron dibanding membeli tiket di loket, tentunya jika membayar di atas peron jauh lebih murah karena bisa ‘bermain mata’ dengan petugas… asyik.

Sejak pertama kali saya menikmati perjalanan dengan kereta api lima belas tahun lalu dengan rute Kota Serang-Tanah Abang, hingga kemarin ketika terakhir kali saya naik kembali dengan rute turun di Parung, tidak banyak yang berubah. Masih seperti yang dulu, kereta penuh sesak dengan penumpang, pedagang asongan yang seolah tidak pernah putus dan sepertinya lebih banyak pedagang daripada penumpang, iringan musik dari pengamen yang jumlah disetiap gerbongnya selalu ada dengan lagu-lagu aneka warna mulai dari dangdut, pop sampai yang berlirik Inggris dengan dialek Sunda dan cegok Jawa.

Saya menjadi merinding dengan beragam sifat dan sikap penumpang ‘gelap’ yang berseliweran meminta belas kasihan dengan sedikit memaksa para penumpang. Saya katakan penumpang gelap karena bukan penumpang dengan tiket dan bukan pula pedagang asongan yang hilir mudik, mereka penumpang gelap adalah para penumpang yang meminta uang dengan beragam alasan. Ada yang meminta uang dengan menyebarkan amplop kosong dengan alasan pembangunan masjid, pondok pesantren hingga majlis taklim, ada juga peminta uang gaya preman yang memaksa penumpang karena telah membersihkan lantai peron… siapa juga yang nyuruh nyapu di kereta, kalau tidak dikasih, kaki penumpang, terutama kaum wanita akan di sapu-sapu terus… huff…. Belum lagi kerawanan angka kriminalitas di kereta yang tidak memiliki standar keselamatan dan keamanan yang memadai.

Sudah seharusnya disetiap peron ditempatkan satuan pengamanan (seperti di Busway), syukur-syukur kalau dari salah satu angkatan… bukan apa-apa, dalam sekali perjalanan kemarin beberapa penumpang kehilangan dompet, jam, hp dan lain-lain, dan itu belum termasuk pelecehan seksual yang nyata-nyata terjadi… mulai dari colak-colek ‘sekwilda’ alias sekitar wilayah dada hingga remas-meremas ‘maaf’ pantat yang seperti sudah mahfum terjadi…. Weleh-weleh

Pengalaman rekan saya Jaya Komarudin yang saat ini bermukim di Abu Dhabi beberapa tahun lalu yang lalu saat mencoba menikmati perjalanan dengan kereta bersama keluarga harus merelakan HP di kereta saat baru naik di stasiun Serang… huff… sabar Jay, sekarang sudah dapat penggantinya kan..? hehehe

Terkadang saya merasa iri dengan fasilitas angkutan kereta di wilayah timur yang memulai perjalanan dari Jakarta. Pilihan kelas dari Jakarta yang menuju wilayah timur Pulau Jawa terasa sangat bervariasi dengan aneka kelas yang tersedia. Saya pernah menaiki kereta kelas eksekutif dari Jakarta ke Jogjakarta dengan fasilitas eksekutif... walaupun terkadang delay-nya nggak ketulungan. Saya juga pernah menaiki kereta wisata dari Jakarta ke Pekalongan dengan fasilitas wuiih… (kereta ini sering digunakan para pejabat dan artis Indonesia yang berpergian ke kota-kota di Jawa yang tidak disinggahi oleh pesawat). Tapi kereta penumpang yang ke wilayah barat... seperti tidak mendapat pehatian yang selayaknya. Fasilitas kereta di wilayah barat dari Jakarta ke Merak dan sebaliknya seperti hidup segan mati tak mau. Dulu pernah ada kereta bisnis tapi saat ini mati suri.

Kadang saya jadi berfikir ulang, apakah kita harus dijajah kembali untuk memperbaiki sistem transportasi perkerata apian di wilyah Banten.
Jika saya berjalan ke wilayah selatan Banten, sisa-sisa rel dari Labuan ke Saketi dan Bayah tinggal kenangan, begitu pula dengan sisa rel dan stasiun yang tersisa di Anyer… Saya sudah segan membandingkan fasilitas kereta kita dengan kereta serupa di Singapura, Malaysia dan Thailand…. Mimpi kali ye…..

Kereta Api di Banten dan Indonesia pada umumnya seperti sapi perah pada setiap jenjangnya, yang tidak mengalami perubahan signifikan selain gebrakan awal Menteri Fredy Numberi yang mencopot kepala stasiun Beos-Kota Jakarta seminggu dalam masa jabatannya sebagai menteri, namun kini sunyi sepi tak berarti.

Stasiun-stasiun yang disinggahi kereta disetiap tempat pemberhentiannyan tak ubahnya seperti pasar mendadak. Begitupula dengan lokasi pemberhentian kereta yang dapat menaikkan dan menurunkan penumpang dimana saja, seperti angkot yang dapat berhenti di tengah jalan….

Satu hal yang membuat saya tetap mencintai kereta api di Indonesia adalah suguhan pemandangan indah yang tidak bisa saya lupakan. I Love U full Kereta Api Indonesia……. mudah-mudahan para pemimpin di Banten bisa sedikit memperhatikan sarana angkutan kereta api, tidak perlu menggunakan kereta api sewaktu kunjungan kerja (dibeberapa negara Eropa, para pejabat harus menggunakan kereta dalam kunjungan kerja antar sesama negara Eropa), tidak perlu memakai kereta saat kampanye saja.... tapi cukup sedikit perhatian untuk memperbaiki sistem dan peremajaan kereta untuk rakyat... yah sedikit saja, asalkan kereta menjadi sarana yang layak, aman dan nyaman.

Kereta api adalah angkutan massal yang mampu menekan emisi dan efisiensi BBM. Jika sistem transportasi masssal dapat dibenahi, tingkat kemacetan, kesulitan akses pengangkutan dan masalah transportasi lainnya dapat sedikit teratasi... jadi tidak perlu menungu kembalinya penjajah untuk memperbaiki semua fasilitas tersebut...