Rabu, 17 Maret 2010

Satu Cinta Untuk Indonesia


Sore tadi rekan saya yang aseli orang Indonesia yang sedang liburan dari tempatnya bekerja di Dubai saat ini mampir ke kantor, maklum saja sudah sekitar setahun kami tidak bertemu. Dulunya kami sama-sama menjadi ‘kuli’ di salah satu pabrik di daerah Merak, hanya saja pilihan hidup yang membuat kemudian kami memilih jenis pekerjaan yang berbeda.

Saya memilih berwiraswasta walaupun masih harus jatuh bangun sampai saat ini. Sedangkan rekan saya memilih peruntungan nasib ke negara Gulf. Kami masih ingat bagaimana saat masih menjadi kuli… hehehe, terkadang kita merumuskan angka kenaikan gaji yang lumayan alot dan terkadang harus tarik menarik kepentingan dengan pihak manajemen perusahaan.

Rekan saya mengajak kembali peruntungan tersebut untuk bersama-sama bekerja di Gulf… kata beliau, sangat bisa mengeksplore aneka hobby baru. Beliau saat ini sudah tidak canggung mengendarai mobil 4WD atau SUV yang bagi orang Indonesia masih menjadi ‘barang langka’, kata beliau kalau di Gulf asal bisa bawa dan bisa merawat, kita bisa mendapatkan aneka mobil mewah dengan harga miring.

Kami bersama-sama membuka foto miliknya yang berpose di aneka lokasi berbeda di timur tengah dan bahkan beberapa foto menunjukkan gaya beliau di Eropa. Karena menurutnya, liburan di Eropa masih lebih murah tiket pesawatnya daripada ke tanah air yang memang jauh jaraknya. Saat ini sudah tidak terhitung lagi rekan-rekan ‘seperjuangan’ dulu yang mengabdi di perusahaan-perusahaan luar negeri yang memang menawarkan tingkat kesejahteraan diatas rata-rata perusahaan disini… huff.

Jika dilihat dari segi pendapatan, rata-rata teman saya seperti mendapat ‘durian runtuh’ dengan bekerja di daerah timur tengah yang menyebar di Saudi, Qatar, UAE, Kuwait, Bahrain dan Oman. Tapi rata-rata dari mereka sebenarnya ‘lebih memilih’ untuk bekerja di dalam negeri jika saja pendapat yang mereka terima minimal mendekati yang mereka terima saat ini di luar negeri. Rata-rata mereka bekerja di level para professional.

Rekan saya di Karibia, setiap pulang kampung ke Lebak selalu membeli tanah untuk investasi di kampungnya tersebut, walaupun di kapal pesiar ia hanya seorang room boy. Begitu pula teman saya di Darwin yang selalu membeli rumah BTN untuk dijadikan kontrakan yang dijadikannya lahan tambahan setiap bulannya yang dikelola oleh saudaranya, padahal di Darwin ia ‘hanya’ menjadi pekerja serabutan… terkadang cuci piring di restaurant China dan sesekali menjadi tukang servis elektronik.

Saat menjadi kuli dulu, kami sempat keki ketika mengetahui bahwa gaji yang kami terima selevel operator industry sangat jauh dibawah standar dari makanan seekor anjing penjaga gerbang di pabrik. Awalnya kami tidak percaya, kalau saja dulu pacar saya yang juga bekerja di perusahaan yang sama di bagian keuangan tidak memberikan copy kwitansi pembelian makanan anjing yang harganya dua kali lipat dari gaji kami dalam satu bulan…. Hahaha. Saya ingat ketika itu dipenghujung tahun 98-an, gaji saya masih sekitar 800ribuan dan kwitansi makanan anjing penjaga pintu di pabrik seharga 1.7juta…. weleh-weleh

Belum lagi ketika kami melihat perbedaan fasilitas antara pribumi dan ekspat…. Para pekerja ekspat bisa menikmati liburan di Bali atau Australia setiap tahunnya, belum lagi fasilitas Golf setiap minggunya…. Cihuyyy… dulu beberapa supervisor ekspat sering mengajak kami liburan menikmati ‘kemewahan’ yang mereka dapatkan… lumayan juga merasakan jadi OKB sesaat… merasakan bagaimana halusnya rumput lapangan golf… enaknya masakan chef kelas dunia dan jalan-jalan gratis keliling ibu kota saat libur shift tiba…. Hehehe

Saya baru mengetahui beberapa tahun kemudian, saat saya sudah tidak lagi bekerja di pabrik. Ternyata perbedaan standar dalam sistem penggajian di Indonesia bukan hanya ditentukan oleh skim KHM (Kebutuhan Hidup Minimum), tapi lebih banyak ditentukan oleh tarik menarik politik, baik ditingkat lokal atau nasional.

Rekan saya di DPRD di salah satu kota di Banten, bisa dengan leha-leha mendapat ‘jatah’ amplop saat pembahasan penentuan UMK (dulu UMR) saat pembahasan sedang berjalan. Belum lagi rekan yang lain yang duduk manis di DPR, sumber amplop bukan hanya dari pembahasan UMR tapi amplop dari izin pembukaan lahan tambang, lahan perkebunan dan izin-izin lainnya yang kesemua ampolp tersebut didapat dari para pengusaha…. Tentunya para pengusaha tersebut ‘rela’ mengorbankan kesejahteraan karyawannya untuk menutupi biaya non budget tersebut.

Sore tadi, obrolan kami tutup dengan saling tertawa dan mengubur mimpi tentang mendapatkan UMR yang sesuai….. tunggu dulu, UMR yang sesuai siapa..? mau sesuai dengan KHM (kebutuhan Hidup Minimum)…? Silahkan keluar dari pabrik dan cari kerja diluar… begitu dulu doktrin yang kami terima.

Disisi lain saya bangga kepada rekan-rekan yang mampu dan mau bekerja dan berusaha di luar negeri. Karena mustahil, mengharapkan nilai sepadan dengan standar internasional dari negeri Indonesia yang kita cintai saat ini…. Kepada rekan-rekan yang membeli mobil mewah, rumah mewah dan jalan-jalan ke berbagai pelosok negara lain… adalah hal yang lumrah untuk kalian… tapi bagi rekan-rekan di kursi legislatif dan eksekutif … huff… saya tidak bisa komentar saat ini.. takut salah… piss ah, VIVA INDONESIA.

Jujur saja, rekan-rekan saya yang bekerja di luar negeri lebih merindukan dapat bekerja di dalam negeri jika saja situasi dan kondisi kesejahteraan yang diberikan oleh perusahaan di dalam negeri mendukung.... tapi untuk saat ini...???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar