Selasa, 09 Maret 2010

Kereta Api dan Angkutan Massal


Kemarin pagi saya sengaja memilih kereta api dalam perjalanan dari Bogor menuju Jakarta. Mungkin bagi masyarakat umum di kedua daerah ini, menggunakan kereta api adalah hal biasa. Namun bagi saya yang tinggal di Kota Serang, menggunakan kereta api untuk kegiatan sehari-hari adalah hal yang belum lazim. Karena di Banten pada umumnya, kereta belumlah atau mungkin sudah mulai ‘dilupakan’ oleh para pengambil kebijakan. Bagaimana tidak, ketika saya menelusuri jalan di hampir setiap sudut kota di Banten, jalur kereta api peninggalan Belanda masih terlihat pada beberapa sisinya. Dari Kota Kecamatan Labuan di sisi selat Sunda hingga di Bayah sepanjang bibir pantai laut selatan pesisir Banten. Namuin saat ini yang masih aktif digunakan untuk angkutan umum tinggal jalur rel dari Merak sebagai kota pelabuhan di ujung barat Pulau Jawa hingga ke tanah abang dan kota yang hanya melewati beberapa wilayah saja di Banten. Adapun jalur eksekutif rel ganda hanya dari Jakarta hingga Serpong saja, selebihnya dilayani oleh jalur ekonomi.

Jujur saja, saya baru beberapa kali menggunakan angkutan massal ini di Banten. Justru saya lebih sering menggunakan kereta di Kuala Lumpur (monorel) dan di Singapura (MRT), bukan apa-apa karena di kedua negara tersebut naik kereta api sangat nyaman dan murah. Pengalaman saya setelah beberapa kali naik kereta api dari Kota Serang ke Jakarta dengan menggunakan kereta api ekonomi jurusan Merak ke Tanah Abnag, beberapa diantaranya saya ‘dapati’ pengalaman yang amat… dan amat amazing.

Ketika pertama kali naik kereta sekitar awal tahun 90-an saat masih sekolah di SMA, saya mencoba kereta jurusan Jakarta yang saya naiki dari Stasiun Serang di samping Taman Sari di sisi timur pusat perbelanjaan Royal. Karena memang letak stasiun di belakang SMA 1 yang memang sangat dekat dengan letak sekolah, jadinya saya tertarik dan ingin mencobanya, karena selama saya tinggal di Sulawesi, kereta api merupakan barang langka. Padahal kata orang tua saya, dulu sewaktu kecil saya telah beberapa kali naik kereta dari Jakarta ke Surabaya atau sebaliknya, mungkin karena masih belia dan imut, maka pengalaman tersebut belum terekam dalam memori ini… hmm.

Saya sempat heran, ketika merasakan bagaimana kereta yang saya tumpangi berhenti di areal persawahan di sekitar perbatasan Serang – Rangkas Bitung…. Weleh-weleh, kok bisa-bisanya kereta berhenti bukan di stasiun tapi di tengah areal persawahan…. Ow..ow..ow, ternyata sang masinis kala itu sedang menaikkan penumpang yang membawa berbagai ‘atributnya’ yang kemungkinan akan dijual ke Jakarta, seperti daun pisang, janur, kelapa dan berbagai hasil bumi lainnya…. Untuk apa ada stasiun, kalau penumpang bisa menyetop kereta di tengah rel…? dan ternyata kebiasaan itu masih berlangsung sampai sekarang…. Hehehe

Pengalaman berikutnya, saya rasakan ketika awal tahun 2000-an ketika berpergian dari Serang ke Rangkas Bitung menggunakan kereta pagi bersama rekan saya yang saat ini tinggal di Abu Dhabi. Kami dua keluarga, ingin memperkenalkan bagaimana rasanya naik kereta kepada anak-anak, namun apesnya rekan saya tersebut menyadari ketika telah turun di stasiun bahwa hand phone beliau telah berpindah tangan…. Kami hanya bisa mengurut dada, cukup sudah pengalaman ini menjadi pelajaran.

Saya juga pernah merasakan bagaimana menjadi ‘masinis’ tanpa harus berprofesi sebagai masinis beneran. Kejadiannya saat saya pulang kemalaman sekitar tahun 2000 ketika banjir melanda Kota Rangkas Bitung. Saat itu jam menunjukkan sekitar pukul 11 malam, ternyata angkot dan bis umum sudah tidak ada yang ke Serang… huuu, sempat panik juga sampai salah seorang tukang ojek menyarankan saya naik kereta api. Saya heran, apakah masih ada jadwal kereta api ditengah malam seperti itu…? Nyali saya sempat ciut jika mengingat cerita-cerita horror seputar kereta, seperti cerita kereta hantu di UI, atau cerita kereta tanpa penumpang di stasiun kota… hiiiii. Namun akhirnya sang pengojek meyakinkan saya untuk mencoba kereta, yang ternyata adalah kereta barang yang mengangkut batu bara dari pelabuhan Ciwandan di Cilegon ke Bekasi dan sebaliknya sebagai salah satu bahan bakar pabrik di semen.

Dan ternyata betul, saya dinaikkan ke gerbong lokomotif bersama dengan beberapa penumpang lainnya. Woow, ternyata ruang lokomotif yang seharusnya hanya untuk masinis, disesaki oleh sekitar sepuluh orang… hehehe, dan ternyata ‘pembayaran karcis’ dilakukan diatas kereta yang langsung ditarik oleh masinis dan tarifnya juga bisa ditawar…. Cihuyyyy. Ternyata berlaku juga asas ‘kepepetisme’… sama-sama diuntungkan, padahal kalo dipikir-pikir berbahaya juga kejadian seperti ini. Saya membayangkan menjadi seorang cowboy yang akan melintasi sisi barat amerika menuju sisi timurnya dengan kejaran kuda dari cowboy lainnya…. (ngayal.com)

Kembali kecerita tadi pagi, saya mendapatkan kereta api kelas ekonomi-AC seharga 5.500 rupiah dari Bogor tujuan Jakarta Kota. Saya anggap masih sesuai dengan kantong rata-rata orang Indonesia, dengan fasilitas AC dan kebersihan yang relatif terjaga walaupun keretanya adalah kereta bekas dari Jepang…. Hehehe. Saya jadi berpikir apakah PT. INKA (industry nasional kereta api) tidak mampu untuk membuat kereta semacam ini…? atau tidak diberikan kesempatan untuk mengembangkan teknologi perkereta-apian di negaranya sendiri. Saya jadi membandingkan industri-industri strategis macam PT. PAL, PT. Dirgantara Indonesia, dan PT. INKA yang hanya dijadikan sebaai industri kebanggaan di atas kertas saja dan ompong dalam kenyataan.

Saya jadi ingat, kisah perdagangan bebas Indonesia dan China yang selalu dijadikan bahan protes, tapi tidak juga mengoreksi kebijakan yang memang tidak pro-rakyat. Yang selalu jadi bahan demo adalah mengapa pemerintah harus melakukan free trade dengan China…? Tetapi masyarakt yang memprotes lupa atau tidak ingat yang membebani ekonomi biaya tinggi di Indonesia adalah pungutan tidak resmi dan berbagai birokrasi yang membebani tingginya ongkos produksi. Beberapa minggu lalu, China baru saja meluncurkan kereta api cepat semacam Shinkanzen di Jepang atau TUV di Prancis. Saya melihat artikel dikoran pagi ini yang membahas rencana pembangunan monorel di Jakarta yang kembali jadi pedebatan dan tak kunjung selesai jadi topik diskusi politik yang tak berujung pangkal…. Hiks

Saya melihat ke luar jendela yang kebetulan kereta kami memasuki stasiun Manggarai….. gile beneeerrrr, tuh penumpang sampai full duduk diatas atap kereta…… amboyyyyy Indonesia. Saya juga membayangkan bagaimana rasanya menikmati kereta ekonomi saat jam pulang kantor yang pernah saya naiki saat hari kerja dari Serpong menuju Rangkas Bitung…. Didalam gerbong penuh sesak, gelap gulita tanpa penerangan dan panasnya suasana karena tanpa kipas angin apalagi AC…. Sambil sesekali terdengar suara awas copet, awas pantat dan awas kelewat dari teriakan sesama penumpang untuk saling mengingatkan…. Hehehe, karena begitu pekat dan sesaknya penumpang, jangan lagi berbicara tentang batas aurat… jangan lagi berbicara tentang kenyamanan berkendaraan…. Pokoknya nikmati saja kata teman saya….. Sekali lagi I Luv U full Indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar