Rabu, 24 Agustus 2011
TKW dan kisah yang kesekian kalinya (Surat Terbuka untuk Jumhur Hidayat)
Malam kemarin, beberapa pesan singkat masuk kedalam BBM saya menceritakan tentang kisah kepiluan seorang TKW dari Malaysia yang diperas saat tiba dari Kuala Lumpur di Bandara Soekarno-Hatta. Pesan tersebut terkirim dari sahabat saya yang menetap di Kuala Lumpur yang kebetulan tinggal bertetangga dengan majikan sang TKW. Ternyata isi pesan tersebut bersumber dari majikan warga negara Malaysia yang galau karena TKW tersebut menelpon dari bandara Soekarno-Hatta di Jakarta meminta petunjuk dan arahan kepada sang majikan karena sang TKW sudah tertahan lebih dari 3 jam dan dimintai uang sebesar 2 juta rupiah untuk dapat lolos dari perasan oknum di terminal kedatangan Internasional Soekarno-Hatta tersebut. Pesan tersebut baru saya baca sekitar pukul sepuluh malam setelah sholat taraweh dan saat itu saya sedang berada di Kecamatan Baros Kabupaten Serang Provinsi Banten.
Agak panik juga saya ketika membaca isi pesan tersebut dan berlanjut hingga teman saya meminta nomer telepon untuk diberikan kepada rekan beliau yang juga adalah majikan TKW tersebut. Sampai saat majikan tersebut menelpon saya untuk meminta bantuan agar pembantu beliau dapat segera pulang ke kampungnya di Krawang, Jawa Barat dengan meng-cross check kondisi di Bandara. Sang majikan gelisah karena komunikasi terakhir antara dirinya dengan sang pembantu terjadi sekitar pukul 6 waktu Malaysia atau sekitar 5 sore waktu Jakarta. Setelah sang pembantu menceritakan kisah pemerasan tersebut komunikasi sudah tidak bisa tersambung lagi, hingga akhirnya sang majikan mengontak rekan-rekannya orang Indonesia yang tinggal berdekatan dengan rumah beliau di Kuala Lumpur untuk mencari solusi dari permasalahan tersebut.
Segala upaya saya lakukan agar pencarian informasi seputar TKW tersebut dapat terlacak. Pertama kali saya menghubungi teman saya yang bekerja di Bea Cukai Soekarno-Hatta dan menceritakan kondisi riil seperti diceritakan oleh majikan TKW tersebut, hingga akhirnya beliau memberikan nomer kontak pihak imigrasi di Bandara Soekarno-Hatta untuk cross check data record kedatangan sang TKW. Namun karena kondisi malam kemarin sudah larut, semua nomer telepon call centre imigrasi tidak ada yang mengangkat. Semua rekan wartawan, baik cetak maupun TV yang bertugas di sekitar Tangerang dan Jakarta saya hubungi untuk mencari informasi seputar informasi sang TKW yang bernama Sumarni. Namun hingga pukul 2 dini hari info seputar Sumarni masih nihil.
Pencarian informasi akhirnya dilanjutkan besok pagi, saya sengaja mengajak rekan wartawan lokal dari Banten agar dapat lebih mudah masuk dan keluar bandara. Dan alhasil baru siang harinya kami baru bisa berkunjung ke kantor BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia) di Terminal 4 Bandara Soekarno-Hatta yang memang lokasinya sangat jauh dari terminal 1, 2 ataupun terminal 3. Hal ini dikarenakan lokasi Termianal 4 terletak diluar kawasan bandara, karena jika orang umum ingin berkunjung kelokasi ini harus keluar terlebih dahulu melalui pintu M-1 dibelakang bandara, tepatnya dikawasan Selapajang, Tangerang.
Siang kemarin kami diterima oleh Pak Sukidjan selaku kepala operasional yang sedang bertugas. Oleh beliau kami diberikan data seputar TKW yang bernama Sumarni. Data ini lebih cepat dilacak karena majikan Sumarni memberikan nomer passport pembantunya kepada saya yang akhirnya memudahkan penelusuran data tersebut. Menurut catatan dari data yang tersimpan dalam hasil print out kedatangan di kantor BNP2TKI Terminal 4, bahwa Sumarni tiba di Terminal 4 pukul 16.15 WIB dan berangkat dengan angkutan Damri dengan tujuan Krawang pada pukul 16.49 WIB. Ada selang waktu sekitar dua jam lebih dari waktu saat kedatangan di Terminal 2. Namun para petugas di bandara, baik di terminal 2 maupun terminal 4 tidak tahu menahu perihal kasus pemerasan yang menimpa Sumarni.
Saat kami mencoba melacak alamat Sumarni di Krawang yang tertera dalam print out data TKW alamat jelas tidak tertera, hanya ada nama kampung dan kabupaten tanpa kecamatan dan nomer rumah. Akhirnya saya hanya bisa berkirim informasi dengan sang majikan dan rekan saya di Kuala Lumpur dan berharap Sumarni selamat sampai tujuan di kampungnya.
Beberapa saat setelah saya berpamitan dengan Pak Sukidjan datang seorang berperawakan tegap tidak lain adalah kepala BNP2TKI Terminal 4, yaitu Bapak Rolly Laheba. Saya berpamitan sekalian meminta izin memotret kawasan disekitar ruang tunggu TKI yang banyak terdapat TKW menunggu mobil jemputan untuk mengantar mereka ke kampung halaman.
Disela-sela memotret kawasan sekitar ruang tunggu, saya menyempatkan mengobrol dengan beberapa TKW yang malu-malu dipotret dan berpesan “mohon jangan dimasukkan ke koran dan tivi ya Pak”. Saya berdiaalog dengan beberapa diantara mereka, ada Cicih yang bekerja di Singapura berasal dari Pasar Kemis di Tangerang yang sudah menunggu lebih dari lima jam namun belum juga diantar kekampungnya yang masih berlokasi di Tangerang. Ada pula Dewi asal Ciamis yang bekerja di Saudi sudah habis 500 real untuk pengurusan porter dan administrasi yang tidak diketahuinya. Beliau sudah menunggu lebih dari 4 jam, namun belum juga ada jemputan. Sementara yang lainnya, Ida yang bekerja di Yordania berasal dari Indramayu yang sudah menunggu lebih dari dua belas jam namun belum juga ada jemputan yang mengantar ke kampungnya.
Lidah ini tiba-tiba kelu mendengar keluh kesah mereka, yang berbalik seratus delapan puluh derajat dari penjelasan Pak Sukidjan yang menjelaskan jika para TKI yang berada di Terminal 4 tidak akan berlama-lama menunggu jemputan ke kampungnya..???
Tiba-tiba dua orang satpam memanggil saya dan rekan wartawan dari media lokal agar segera meninggalkan lokasi ruang tunggu, karena izin kami masuk ke area tersebut hanya untuk memotret dan bukan untuk wawancara.
Kiranya, bagi Pak Jumhur Hidayat kepala BNP2TKI, mbak Dita Indah Sari yang menjadi staff ahli menakertrans dan Pak Muhaimin Iskandar selaku menakertrans, sudilah sekali-sekali mampir ke Terminal 4, mungkin harus menyamar menjadi TKI atau TKW, merasakan bagaimana menunggu dalam waktu yang cukup lama dengan segala permasalahan yang terjadi tanpa harus menunggu laporan dari bawahan, karena cerita-cerita miring seputar pemerasan dan lamanya waktu tunggu di Terminal 4 bukanlah isapan jempol belaka...
Sabtu, 23 April 2011
"Tuntutlah Ilmu" Hingga ke Pamarayan
Pamarayan, sebuah kota kecamatan yang terletak di Kabupaten Serang Provinsi Banten memang tidak memiliki hal yang dapat dibanggakan kecuali adanya Bendung Air Pamarayan yang dibangun pada zaman penjajahan Belanda yang kini fungsinya telah digantikan oleh bendungan air baru yang dibangun pada zaman orde baru.
Bendung air peninggalan Belanda tersebut yang letaknya beberapa ratus meter dihilir bendung air baru, saat ini kondisinya nyaris tidak terawat dan dipenuhi oleh kegiatan vandalisme dan beberapa gubug kaki lima yang tentu saja mengotori pemandangan bagi orang yang sengaja ingin menikmati salah satu obyek wisata yang menjadi destinsi wisata yang dimasukkan oleh dinas pariwisata Kabupaten Serang. Namun lagi-lagi obyek wisata tersebut nyaris tidak terawat kalau tidak dikatakan kumuh. Kali ini saya tidak akan mengomentari banyak tentang Bendung Pamarayan, karena kedua bendungan tersebut tentu saja sudah ada dinas terkait yang mengurusnya...?
Jujur saja, saya pertama kali berkunjung ke Pamarayan pertama kali sekitar akhir 90-an saat hinggar reformasi menjadi euforia di negeri ini. Ketika saya berkunjung kembali pada awal tahun ini, saya bersama Gabriel dan dua rekan beliau Gorka dan Mika dari Prancis. Awalnya saya heran kenapa mereka tidak tertarik berkunjung ke Bendung Air Pamarayan, namun memilih menginap di Kampung Ranca Lame di Desa Wirana. Mereka dari Prancis khusus ingin belajar Pencak Silat kepada Abah Juhro, salah seorang warga kampung di desa tersebut yang menjadi pimpinan Peguron (perguruan) Pencak Silat Pusaka Medal. Pada kunjungan kali ini, saya menganggap bahwa mereka pasti hanya ingin sekedar melihat perguruan silat tidak lebih dari sekedar dari kunjungan wisata biasa.
Beberapa minggu kemudian, tepatnya jum’at yang lalu saya kembali dikontak oleh rekan saya Gabriel, seorang warga Prancis yang sedang menyelesaikan studi S-3 di Banten. Beliau mengirimkan kabar bahwa akan datangnya dua rekan beliau dari Prancis, Cyril dan Fanny yang akan berkunjung ke Ranca Lame. Keingintahuan saya, kembali mencuat dan ingin mengetahui lebih tentang Ranca Lame, hingga pada saat saya mengantar ‘tamu’ saya tersebut sengaja saya tidak langsung pulang kembali ke Serang, tapi sengaja menunggu waktu malam tiba untuk melihat secara langsung kegiatan Peguron Pusaka Medal hingga bisa menarik warga Prancis untuk datang berkunjung.
Keseharian Abah Juhro terlihat sangat sederhana dan seperti kebanyakan warga kampung lainnya, yaitu bertani dan beternak. Setiap pagi ia pergi ke sawah dan pulang saat petang sambil menggembala kerbau. Begitu pula dengan kondisi rumah beliau yang terlihat sederhana seperti kebanyakan kondisi rumah lainnya dikampung ini. Secara otomatis, saat para tamu Prancis tersebut harus tinggal di rumah Abah Juhro, mereka harus menerima apa adanya segala keterbatasan yang harus mereka terima selama tinggal beberapa hari di kampung ini. Harus siap dengan listrik yang byar pet alias lebih sering mati dibanding menyala, harus siap dengan kondisi infrastuktur jalan yang tidak lebih baik dari kubangan serta menu makan yang harus dapat diterima lidah Eropa, walau terkadang harus merem-melek saat dicerna...
Selepas sholat Isya, latihan pencak silat sudah dimulai dengan beberapa anak-anak kampung yang berkumpul dan memperagakan jurus-jurus indah berupa gabungan ilmu bela diri dan seni tari. Tak lama berselang, Gabriel, Chloe, Cyril dan Fanny secara bergantian melakukan atraksi pencak silat yang ternyata sudah sangat mahir diperagakannya. Saya berdecak kagum, tidak lain karena seni bela diri Pencak Silat ternyata juga digemari dan ‘dilestarikan’ oleh warga Prancis.
Selepas latihan pada pukul 02.00 dini hari, saya sempatkan mengobrol dengan Cyril dan Gabriel yang menceritakan perkembangan pencak silat di Prancis yang katanya sudah ada sekitar 10 perguruan yang tersebar di Prancis. Peguron Pusaka Medal memiliki cabang di Belgia dan Maroko dengan pusat Eropa di Prancis dengan guru Gorka sebagai pelatih utama dan telah beberapa kali tampil hingga ke Rusia dan beberapa negara Eropa lainnya. Pengalaman Cyril yang mantan anggota angkatan bersenjata Prancis dan mengambil pensiun muda yang telah ‘berguru’ juga ke Thailand dengan Thai Boxing-nya justru saat ini katanya tertarik sejak 7 tahun lalu dengan Pencak Silat. Saya semakin penasaran untuk bertukar pikiran sampai hidangan nasi goreng datang dihidangkan kepada kami oleh anak-anak muda Kampung Ranca Lame yang menjadi murid Abah Juhro. Satu nasehat Abah, bahwa orang yang memiliki ilmu pencak silat hendaknya tidak digunakan untuk hal-hal yang merugikan diri sendiri apalagi merugikan orang lain.
Malam itu, ketika rintik hujan turun disertai petir dan listrik yang mati-nyala, kami terlelap hingga adzan subuh membangunkan kami dengan mata yang terasa berat. Saya memandangi pilar-pilar bambu yang menjadi pagar rumah Abah Juhro disubuh itu, saya membayangkan kalau ketenaran dan kedigdayaan jurus silat Abah Juhro mampu menembus batas negara dan ‘memaksa’ para saudara Prancis tertarik untuk datang sekedar berlatih dan bertukar pikiran tentang pencak silat. Tak ada salahnya kalau adigium “Tuntutlh ilmu hingga ke pamarayan” tidaklah salah kiranya.
Satu harapan saya, kiranya seni bela diri Pencak Silat tidak hilang dari bumi pertiwi. Adakah kiranya muatan lokal untuk mata pelajaran di sekolah dasar dapat dimasukkan mata pelajaran pencak silat agar dapat diajarkan agar seni budaya asli negeri ini tidak hilang, minimal untuk tingkat Provinsi Banten.... Wallahu’alam.
Jumat, 15 April 2011
MENJADI MISKIN, SIAPA MAU…?
Pastinya tidak ada satu orangpun yang ingin menjadi miskin didunia ini. Namun bila semua daya upaya telah dilakukan dan nasib hidup tidak juga berubah, maka ikhlas menerima kondisi kemiskinan adalah salah satu cara terbaik menyikapi kehidupan. Hal ini ditunjukkan oleh Aksanah (45 tahun) yang bertempat tinggal di Kampung Ranca Kaero Desa Sinar Mukti Kecamatan Baros, Kabupaten Serang-Provinsi Banten. Nenek beranak empat ini masih harus mengurus seorang cucunya, Fadli (8 bulan) yang telah menjadi piatu karena ibunya meninggal satu bulan lalu akibat sakit yang dideritanya.
Nenek Aksanah sudah sepuluh hari menginap di ruang Flamboyan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Serang menjaga cucu beliau yang sedang dirawat karena Gizi Buruk. Menurut Aksanah, sejak ibunya Fadli yang tidak lain adalah anak pertama beliau meninggal sebulan lalu, tanggung jawab pengurusan Fadli berada dipundak kakek dan neneknya, karena ayah Fadli masih mencari kerja di Jakarta. “Saya mencoba mengerti kesulitan ayah anak ini, karena memang katanya masih mencari pekerjaan di Jakarta dan untuk menengok anaknya yang dirawat di RSUD belum punya ongkos untuk pulang ke Serang”. Padahal, Aksanah sendiri masih memiliki seorang bayi yang berusia Sembilan bulan dirumahnya yang saat ini dirawat oleh suaminya yang sehari-hari bekerja sebagai buruh serabutan.
Melihat kondisi Aksanah dan keluarganya masih tergolong beruntung, karena sebagai warga Kabupaten Serang, ia dan keluarganya dijamin dalam program Jamkesda (Jaminan Kesehatan Daerah) yang mana untuk penyakit tertentu seluruh biaya perawatan dan obat ditanggung oleh pemerintah, tinggal ia sedikit memutar otak mencari dana untuk kebutuhan hidupnya sehari-hari yang ia tinggalkan dirumah, karena sang suami saat ini tidak bisa bekerja karena harus mengurus ketiga anaknya yang masih kecil-kecil. “Saya ingin cepat pulang Pak, karena biaya hidup di RSUD cukup mahal, saya harus membeli makanan selama disini karena pihak RSUD tidak menyiapkan makanan bagi penunggu pasien” ungkapan Aksanah sedikit memelas. Aksanah menambahkan kemarin ada ‘petinggi’ dari Kabupaten yang datang menengok dan membawa dua bungkus susu SGM.
Sementara itu, nasib lebih buruk dialami oleh Jamil (28 tahun) warga Kebon Baru, Desa Sawah Luhur, Kecamatan Kasemen, Kota Serang. Setelah empat kali pulang-pergi ke RSUD Serang, ia harus menerima kenyataan pahit, karena tidak memiliki Jamkesda, mengakibatkan Evi Aprilia (4 tahun), meninggal dunia akibat menderita Gizi Buruk selama dua tahun. Sebelum meninggal di rumahnya hari ahad 10 April, Evi anak ke empat dari pasangan Jamil dan Titik Fatmawati ini, sempat di bawa ke Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) Kilasah, Sawah Luhur, yang lokasinya tidak jauh dari kediamannya, namun karena tidak memiliki biaya Evi terpaksa kembali dibawa pulang.
Selain di bawa berobat ke puskesmas, menurut Jamil, Evi juga pernah dibawa ke RSUD Serang, sesuai rujukan pihak puskesmas. Namun, karena keterbatasan biaya bapak empat anak yang setiap hari bekerja sebagai buruh tani dan tukang rongsokan ini kembali membawa pulang anaknya. “Saya sudah beberapa kali ke RSUD, hanya saja saya tidak memiliki Jamkesda, terpaksa anak saya tidak di rawat, karena kalau tetap di rawat saya tidak memiliki biaya perawatan,” tutur Jamil saat ditemui di kediamannya, kamis (14/4).
Jamil menceritakan, selama dua tahun anaknya menderita gizi buruk, dirinya hanya pasrah dan beberapa kali membawanya ke Puskesmas dengan harapan adanya perubahan dari kesehatan anaknya namun nasib berkata lain sampai akhirnya anak bungsunya tersebut harus meninggal dunia, ujar suami yang ditinggal istrinya jadi TKW ke Arab Saudi. “Kalau dulu saya masih agak mending bisa ngurus empat anak bersama istri, tapi sekarang istri saya bekerja di Arab jadi TKW, sedangkan uang kiriman istri dari Arab masih dipakai membayar hutang keluarga sebagai ongkos pemberangkatan istrinya menjadi TKW” ujar Jamil sambil menahan tangis.
Melihat kehidupan para ‘kaum kecil’ hati ini sedikit terusik, sampai siang tadi ada sms masuk dari rekan wartawan muda yang menginformasikan kondisi Fadli salah seorang pasien gizi buruk yang masih tergolek lemas di salah satu ranjang rumah sakit. Namun siang tadi saya masih di bandara dan baru mala mini bisa menengok kondisi pasien gizi buruk yang diinformasikan rekan saya siang tadi.
Tentunya kalaulah hidup ini boleh memilih, pastinya Fadli lebih memilih terlahir dari rahim sorang ibu yang memiliki harta, dari golongan kaum berpunya. Tentunya jika dapat memilih, tentunya Fadli tidak ingin dirawat di rumah sakit dengan kondisi panas tanpa penyejuk udara dan harus berbagi ruang dengan beberapa pasien lainnya yang juga sama-sama miskin.
Dalam rekening tabungan saya hari ini, ada titipan sahabat dari masyarakat Indonesia di Kuala Lumpur yang menitipkan dana zakat, infaq dan shodakohnya pada saya, malam tadi sedikit saya belikan susu formula gold yang saya pikir labih baik dari susu SGM pemberian petinggi kabupaten walaupun tidak sebaik ASI, sedikit saya belikan biskuit bayi, satu lembar handuk, seperangkat perlengkapan mandi bayi dan beberapa lembar uang tunai untuk sekedar membeli makanan sehari-hari bagi sang nenek yang setia menunggui cucunya dalam segala keterbatasan. Hingga saat saya hendak keluar dari bangsal rumah sakit malam ini, tangan saya dicium oleh sang nenek dan mengucapkan beribu terima kasih. Saya katakan padanya, bahwa titipan itu bukan dari saya tapi dari teman-teman diluar negeri. Saya menuruni lantai tiga rumah sakit dengan menahan tangis…. Bukan karena saya sedih terharu, tapi saya begitu geram dengan kemewahan para petinggi kita selaku ‘pelayan masyarakat’.
Saya sudah puluhan kali menjadi guide mengantar anggota DPRD kunjungan kerja, beberapa kali mengantar bupati dan wakil bupati kunjungan kerja, beberapa kali mengantar Sekda, Asda dan beberapa kepala dinas kunjungan kerja…. Saya sedih dan sangat sedih melihat kemewahan yang mereka minta saat kunjungan kerja, katanya itu adalah hak mereka selaku pejabat publik dan dana untuk itu memang tersedia…. Maaf, sudah memasuki tahun ketiga saya sudah tidak lagi menjadi guide bagi mereka… cukup lakon ‘dua dunia’ saya jalani…. Saya tidak bisa membayangkan seorang anak manusia harus mati karena tidak memiliki kartu jamkesda dengan alasan beda wilayah administratif antara Kota Serang dan Kabupaten Serang…??? Entah apa kerja para petinggi kita..? dan lagi-lagi para wakil rakyat hanya bisa marah-marah terhadap dinas terkait saat kematian karena gizi buruk sudah terjadi, dan ini sudah kejadian yang entah keberapa kali…?
Menjadi warga miskin adalah takdir yang harus diterima. Benar kata Marzuki Ali selaku ketua DPR RI, bahwa pola hidup anggota DPR dan masyarakat biasa harus dibedakan karena memang berbeda….. dipihak lain, sahabat saya Major (setingkat walikota) di Singapura harus terheran-heran melihat kediaman dan kendaraan pribadi milik bupati, walikota dan gubernur di Banten, saat beliau berkunjung ke Banten sekitar tiga tahun lalu…..
Seandainya bisa memilih, tentunya pilihan MISKIN adalah pilihan kesekian setelah kesejahteraan sudah begitu sulit dicapai. Saya baru saja dapat kiriman surat dari rekan yang bekerja disalah satu lembaga sosial di Jakarta yang mendapat kiriman surat dari mantan pasiennya…. Menceritakan bahwa keluarga itu pernah hampir melakukan percobaan bunuh diri karena kesulitan hidup yang dideritanya. Berita tentang bunuh diri karena himpitan ekonomi beberap kali muncul menghiasi pemberitaan koran di negeri ini, ditengah gencarnya kehidupan mewah para pejabat, baik eksekutif maupun legislatif…. Wallahu’alam.
Rabu, 02 Februari 2011
MEMANG SUNGGUH-SUNGGUH SUSAH DAN MENDERITA JADI ORANG MISKIN (Catatan Kecil Tentang Gizi Buruk)
Siang kemarin, isteri saya menceritakan via telepon ketika saya sedang berada di kantor bahwa baru saja temannya menceritakan kegelisahan yang dihadapi tetangganya akan penderitaan dan sulitnya berurusan dengan birokrasi pemerintahan terkait kondisi anaknya yang harus dirawat di RSUD (rumah sakit umum daerah) Serang, Banten – Indonesia..... ya masih di Indonesia, jadi segala permasalahan terkait sulitnya mengurus surat-surat di birokrasi memang sungguh luaaaaarrrr binasa. Ya, saya katakan sungguh luaaaar binasa, karena telah hilangnya (binasa) rasa empati dan simpati diantara sesama anak negeri.
Teman isteri saya berkeluh kesah tentang pengalaman beliau berurusan dengan pihak RSUD Serang yang awalnya menolak pasien gizi buruk yang terinfeksi radang paru yang dibawa oleh teman isteri tersebut. Hari jum’at lalu ia membawa keluarga tersebut ke RSUD Serang untuk mendapatkan perawatan bagi anak tetangganya, karena di puskesmas katanya sudah angkat tangan dan harus dirawat di Rumah Sakit. Saat tiba di IGD (instalasi gawat darurat) dokter yang memeriksa saat itu menyarankan untuk mengurus surat Jamkesmas (jaminan kesehatan masyarakat) agar dapat digratiskan pembiayaannya karena memang kehidupannya tidak mampu. Segera ayah sang anak mengurusnya mulai dari RT, RW, Lurah hingga kantor kecamatan dan minta pengesahan dari puskesmas dan Dinas Kesehatan setempat. Namun setibanya di RSUD, surat rekomendasi tidak diterima oleh pihak RSUD karena katanya pasien harus membawa SKTM (surat keterangan tidak mampu) karena beda domisili dengan status RSUD...? awalnya saya heran mendengar cerita ini, karena beda apanya..? karena masih dalam satu wilayah SERANG Provinsi Banten, INDONESIA.
Namun saya baru paham, ketika menelisik sedikit demi sedikit saat berdiskusi dengan rekan saya salah seorang wartawan harian di Banten. Bahwa surat Jamkesmas tidak berlaku bagi pemegang KTP (kartu tanda penduduk) di Kota Serang yang ingin mendapatkan biaya pengobatan gratis, alasannya RSUD dimiliki oleh Pemerintah KABUPATEN SERANG dan bukan Pemerintah KOTA SERANG, jadi intinya RSUD hanya meng-cover warga Kabupaten Serang saja... TITIK. Salah seorang staff yang bertugas saat itu di RSUD menyarankan agar orang tua pasien segera mengurus SKTM agar dapat diproses. Namun orang tua pasien yang tidak tahu menahu jadi bulan-bulanan semrawutnya jalur komunikasi dan birokrasi di Banten. Sesampainya di Kantor Dinas Kesehatan Serang, malah disarankan ke Dinas Sosial, karena katanya jatah SKTM harus diurus di Dinas Sosial, karena jatah (quota) di tahun 2010 di Kota Serang sudah habis sedangkan untuk tahun 2011 belum ada anggaran..???? huffff.
Dengan pasrah, orng tua pasien yang sehari-hari berprofesi sebagai supir angkot dengan penghasilan sekitar 10.000 sampai 20.000/hari harus pontang-panting dan kembali ke RSUD dengan tangan kosong..... dan lagi-lagi bagian administrasi RSUD menolak anaknya.... weleh-weleh prikitiw preketew. Dengan sedikit menahan raasa malu, akhirnya keluarga pasien meminta tolong dengan rekan saya tersebut untuk meminjam uang agar anaknya dapat dirawat di RSUD. Rekan saya dengan tulus tentunya memberikan pinjaman agar anak tetangganya tersebut dapat dirawat. Namun permasalahan belum selesai sampai disini, karena saat uang telah ditangan, ternyata kamar untuk perawatan kelas 3 (satu ruangan diisi enam sampai sepuluh pasien tanpa kipas angin apalagi AC) sedang full dan harus menunggu. Dengan terpaksa akhirnya keluarga ini harus menginapkan anaknya di bangsal IGD RSUD Serang, baru pada hari kedua anaknya dapat masuk kamar kelas tiga. Ternyata untuk mendapatkan kesembuhan bagi ‘orang kecil’ tidaklah mudah.
Selama enam hari perawatan tentunya, setiap menebus obat orang tua sang anak harus berpikir keras dan terkadang tidak menebusnya karena ketiadaan dana. Hingga siang kemarin teman isteri saya menceritakannya pada saya.... awalnya saya mengira yang dirawat di RSUD hanya satu pasien.... ternyata ada empat pasien gizi buruk dengan latar belakang yang nyaris sama dengan kondisi keluarga tersebut. Beragam cerita akhirnya mengalir. Muklis (25tahun) yang sehari-hari berprofesi sebagai supir angkot dan beristerikan Nurhasanah (20tahun) merasa sudah putus harapannya ketika memasukkan anaknya ke RSUD dan ditolak memakai Jamkesmas dan bahkan masih kepikiran bagaimana harus keluar rumah sakit kelak dengan biaya tagihan rumah sakit bila tidak memakai Jamkesmas.
Lain lagi kisah Saniman (27tahun) yang sehari-hari bekerja menjadi buruh kasar di pabrik kecap dengan penghasilan 140.000/minggu beristrikan Halimah (20tahun) harus memutar otak karena saat memasukkan anaknya ke RSUD ia meminjam uang tetangga dan saudaranya. Padahal sudah dua minggu anaknya dirawat di RSUD, karena Jamkesmas dari Kota Serang katanya tidak diterima di RSUD Kabupaten Serang. Padahal letak RSUD Serang ada ditengah-tengah Kota Serang...? Ternyata pemekaran wilayah yang digembor-gemborkan akan meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat jauh panggang dari api, karena awalnya Kota Serang adalah hasil pemekaran wilayah dari Kabupaten Serang.
Cerita ini tidaklah berhenti sampai disini, karena siang kemrin saya menghubungi rekan saya yang wartawan untuk sama-sama mencari jalan keluar.... dan ternyata beliau mencoba menghubungi ‘para petinggi’ di Kabupaten Serang via telpon dan sms, dan ternyata jurus tersebut sangat ampuh, tidak dalam hitungan jam, bahkan ketika kami masih dalam ruangan RSUD ditengah-tengah pasien gizi buruk, tiba-tiba datang perawat yang mengatakan bahwa semua pasien gizi buruk ditanggung oleh RSUD...? weleh-weleh.... namun yang ditanggung hanya rawat inap dan beberapa jenis obat saja, karena beberapa item obat dan tindakan medis tidak dalam tanggungan RSUD, seperti CT Scan, Rontgen, dan beberapa obat lainnya. Apalagi ongkos dan biaya hidup para orang tua pasien yang harus stand by disisi anaknya selama di rumah sakit, sama sekali tidak ditanggung pemerintah. Alhamdulillah, ketika saya menulis artikel ini, beberapa sahabat saya yang tinggal dan bekerja di Malaysia dan Timur Tengah dengan antusias dan penuh perhatian terhadap saudara-saudaranya yang sedang ditimpa musibah langsung merespon dengan mentrasnfer dana..... semoga amal ibadahnya dibalas oleh Yang Maha Kuasa.
Begitu sulitnya menjadi orang miskin.... sangat sulit bahkan, apalagi dengan pendidikan rendah yang tidak mengetahui apa-apa tentang birokrasi yang memang sudah berbelit-belit ditambah ketidakpedulian para pejabat, baik dieksekutif maupun legislatif...?
Saya menulis artikel ini bukanlah mencari siapa yang salah, namun hanya menumpahkan kekesalan bahwa suatu urusan yang sebenarnya dapat dengan mudah diselesaikan, tapi dalam kenyataannya tidak semudah membalik telapan tangan, saya membayangkan para orang tua pasien gizi buruk atau penyakit apapun jika orang tua mereka tidak mampu dan tidak punya koneksi kepada ‘para petinggi’ mungkin tinggal menunggu percepatan mati.... Indonesia, I Luv U Full.
(www.bantenkini.blogspot.com)
Serang, 3 Februari 2011
Selasa, 24 Agustus 2010
BANDAR UDARA PANIMBANG UNTUK SIAPA..?
Rencana pembangunan Bandara Udara di Kecamatan Panimbang, Banten Selatan sepertinya sudah mendekati tahap akhir. Bupati Pandeglang, Erwan Kurtubi mengatakan bahwa beliau sangat mendukung pembangunan Bandara di Panimbang yang rencananya mulai dikerjakan pada tahun 2016 karena akan menggerakkan roda ekonomi masyarakat sekitar (Kompas, 15 Juni 2010). Sementara itu Ratu Atut selaku Gubernur Banten mengatakan bahwa ia sangat mendukung pembangunan Bandara Udara di Panimbang dengan syarat pembebasan lahan untuk lokasi bandara tersebut harus bebas dari masalah hukum (Tempo interaktif, 13 Juni 2010). Sementara itu, Toni Fathoni Mukson dilain kesempatan mengatakan bahwa salah satu alasan pembangunan bandara tersebut adalah untuk memudahkan penanganan bencana, karena disekitar Panimbang adalah kawasan rawan banjir (Kompas, 15 Juni 2010). Dilain pihak, Aah Maulany Kepala Bapeda Pandeglang mengatakan bahwa salah satu efek dari pembangunan bandara tersebut adalah banyaknya warung-warung kecil yang akan muncul dari pembangunan bandara tersebut (FBnews, 20 Agustus 2010).
Terus terang, dari semua pernyataan-pernyataan tersebut diatas, belum ada yang dapat menjelaskan secara detail akan manfaat riil dari pembangunan Bandara Udara di Kecamatan Panimbang. Beberapa pejabat yang pernah saya wawancarai secara random seputar pembangunan bandara tersebut mengatakan bahwa pembangunan bandara tersebut akan membawa manfaat besar pada perkembangan pariwisata di Banten Selatan. Benarkah demikian..? Untuk itu, berbekal sedikit pengalaman saya yang pernah bergelut dalam industri penerbangan nasional, saya akan membedah satu-persatu alasan yang dikemukakan para pejabat yang terhormat.
Alasan ekonomi di balik pembangunan bandara udara di Panimbang memang masih debatable, bagaimana tidak untuk memaparkan nilai positif dari sisi ekonomi banyak faktor yang harus dijadikan tolak ukur demi pencapaian target dari hasil keuntungan yang hendak dicapai. Teori ekonomi dasar mengatakan bahwa sesuatu bidang usaha yang hendak dilakukan adalah untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, apakah itu keuntungan materi atau keuntungan non-materi. Jika keuntungan materi yang hendak dicapai, apakah hitung-hitungan seberapa besar lama modal akan kembali sudah sesuai dengan yang akan digelontorkan..? karena modal yang hendak digunakan adalah dana APBD dan APBN yang ditanamkan dalam BUMD Banten Global sebesar 1 trilyun sebagai dana awal, maka selayaknya dana tersebut harus 'sedikit' diketahui oleh rakyat Banten. Sementara untuk efek dari perubahan sosial budaya masyarakat sekitar akibat dari keberadaan bandara udara harus dipikirkan secara matang.
Pendapat Aay yang mengatakan bahwa akan banyak warung-warung kecil yang akan muncul dari keberadaan bandara tersebut sangat naïf dan terlalu dangkal. Contoh kasus keberadaan Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta, apakah sudah memberikan tempat yang layak bagi keberadaan warung-warung kecil milik warga pribumi di sekitar Cengkareng..? Apakah ada warga asli Cengkareng yang memiliki warung atau gerai didalam area ataupun disekitar luaran Bandara Udara Soekarno-Hatta..? kecuali warga sekitar hanya menjadi tukang ojek motor dan porter alias 'tukang pikul' di airport serta menjadi pedagang asongan yang terus dikejar-kejar dan main 'kucing-kucingan' di area parkir sekitar terminal Bandara Soekarno-Hatta.
Alasan faktor ekonomi dengan dibangunnya bandara udara tersebut sebagai katalisator pembangunan bagi Banten Selatan kiranya harus masih dikaji lebih dalam, sebab Provinsi Banten sendiri telah memiliki Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang yang masih bisa lebih dioptimalkan bagi pembangunan ekonomi Banten dan Banten Selatan tentunya. Belum lagi telah adanya Bandara Pondok Cabe di Tangerang Selatan yang juga masih masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Banten yang juga bisa lebih dioptimalkan bagi percepatan pembangunan Banten Selatan yang memiliki kedekatan geografis dengan wilayah Lebak.
Sebagai usaha pembangunan bandara perintis, sudah selayaknya apabila pemerintah Provinsi Banten memikirkan secara matang berbagai efek domino yang akan timbul dari pembangunan Bandara perintis tersebut. Beragam hitung-hitungan harus secara cermat perlu diperhatikan. Apakah dengan label perintis, pemerintah sudah mendapatkan operator penerbangan yang mau melayani rute tersebut...? Apakah kelayakan masyarakat sekitar dapat menjangkau harga tiket untuk penerbangan didaerah tersebut dengan jumlah penduduk yang minim di daerah tersebut..?
Pengalaman penulis yang pernah bertugas di salah satu flight carrier di Indonesia, mencari penumpang pesawat udara untuk menutupi load factor pesawat apalagi sebagai bagian dari bandara udara perintis bukanlah persoalan mudah. Apakah operator yang akan menerbangi rute tersebut mau menjadi 'kelinci' percobaan dengan membuka rute setiap harinya..? Padahal seperti kita ketahui, jumlah kunjungan wisatawan yang datang berkunjung ke Tanjung Lesung dan Pulau Umang adalah tamu dengan karateristik week end atau dengan kata lain hanya datang pada waktu akhir pekan. Sebagai perbandingan, Kabupaten Tana Toraja sebagai destinasi wisata nasional, sampai saat ini keberadaan Bandara Pontiku hanya mampu diterbangi oleh dua maskapai kecil dari Makassar dan Balikpapan yang masih harus disubsidi oleh pemerintah daerah setempat yang itupun masih kesulitan menjaring penumpang untuk menutupi load factor pesawat. Jangan sampai keberadaan bandara udara di Panimbang menuai hasil yang sama.
Jalur Selatan-Selatan
Beragam potensi dan obyek wisata yang terbentang di jalur selatan Banten merupakan mutu manikam yang menunggu polesan berbagai pihak untuk dapat dioptimalkan. Mulai dari pesisir barat Anyer dan Carita yang menyambung ke Tanjung Lesung. Namun kendala akan muncul manakala para wisatawan telah tiba di Tanjung Lesung, para wisatawan harus memutar jalur melalui Cibaliung untuk dapat ke Sumur sebagai pelabuhan transit ke Pulau Peucang, Panaitan dan Handeleum. Sebenarnya jalur jalan dari Tanjung Lesung ke Sumur sudah mulai dirintis pada tahun anggaran kemarin. Sangat potensial apabila jalur jalan perintis ini lebih bisa dipercepat agar dapat memotong jumlah waktu yang terbuang. Belum lagi infrastruktur wisata lainnya dari Sumur menuju Bayah melalui jalur selatan yang sampai saat ini masih memprihatinkan. Ditambah jalur jalan wisata dari Leuwidamar menuju Ciboleger yang nasibnya juga setali tiga uang apabila dihubungkan dengan jalur wisata melalui Gunung Kencana.
Jika saja pemerintah mau sedikit serius untuk memajukan pariwisata, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menumbuhkan pedagang kecil, sudah selayaknya pemerintah haarus fokus dan lebih terarah dalam mengambil kebijakan yang pro-rakyat dan bukan pro pada makelar tanah atau pro pada kontraktor pencari proyek sesaat.
Rencana pembangunan Bandara Udara perintis di Panimbang sebaiknya ditinjau ulang. Ditinjau dari berbagai aspek, pembangunan bandara ini tidak layak bila beralasan untuk percepatan ekonomi, penanganan bencana atau menumbuhkan pedagang kecil..?
Jalur jalan dan keberadaan terminal yang tersebar di Pandeglang dan Labuan sampai saat ini masih memprihatinkan. Sudah selayaknya, prioritas pembangunan lebih diarahkan untuk perbaikan jalan dan pembukaan jalur baru yang lebih dibutuhkan serta pembangunan pelabuhan perintis di Kecamatan Sumur yang merupakan sentra percepatan ekonomi di wilayah selatan. Sebab dengan mempertimbangkan kedekatan Bandara Udara Soekarno-Hatta yang hanya beberapa kilometer dari Banten Selatan sangat naïf bila harus dibangun bandara serupa walau masih bersifat rintisan.... Jangan sampai ketika bandara sudah jadi, malah hanya sapi dan kambing saja yang menjadi penghuni tetap.
Dikhawatirkan dengan digelontorkannya dana trilyunan rupiah untuk sebuah gengsi pembangunan bandara udara lantas mengabaikan prioritas pembangunan lain yang sebenarnya lebih dibutuhkan oleh masyarakat di Banten Selatan.
*) penulis : mantan Manager Citilink Garuda Indonesia Cabang Makassar.
Sabtu, 21 Agustus 2010
DESA KITA, MINIATUR INDONESIA YANG TERLUPA
Beberapa hari kemarin saya berkesempatan menemani rekan-rekan dari Jepang yang melakukan penelitian tentang Desa di beberapa lokasi di Indonesia, seperti di Banten, Jogja, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Banyak pengalaman baru yang saya dapatkan dari berkunjungan langsung, melihat dan merasakan keseharian para penggerak pemerintahan Desa.
Sebagai institusi terlengkap dengan infrastruktur pemerintahan yang mengurusi hajat hidup orang banyak, sebuah Desa memiliki peranan yang sangat vital, mulai dari mengurusi surat pengantar pembuatan KTP, KK, Kartu Kuning, sampai urusan menjadi 'kantor perwakilan' pajak dengan mengumpulkan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dari masyarakat.
Ironisnya, mayoritas kepala desa di Indonesia tidak ada yang digaji tetap dari pemerintah selain tunjangan yang nilai rupiahnya jauh dari angka minimal upah pekerja seperti UMK atau UMR. Kebalikannya jumlah peminat setiap pemilihan kepala desa selalu penuh dengan kandidat yang bernafsu untuk meraih tahta agar dapat duduk di kursi kepala desa yang terkadang menghabiskan uang ratusan juta rupiah... weleh-weleh.
Akibat dari lebih besarnya pasak daripada tiang, seringkali untuk mengakali pendapatan, para kepala desa sering bermanuver dengan 'penyelewengan' dana pembangunan, pembelokkan pembagian raskin, hingga mengutip dana pembuatan KTP dan KK yang seringkali dinilai tidak wajar oleh para warganya sendiri. Bila fungsi BPD (Badan Pengawas Desa) sesuai dengan fungsi dan tugas yang sesuai, maka kontrol terhadap kinerja kepala desa akan lebih efektif, namun lebih banyak BPD sendiri memaklumi dan sebagian lainnya tidak mengetahui fungsinya kerjanya sendiri.
Ternyata, dari tujuh puluh dua ribu jumlah desa di Indonesia masih harus ditelusuri lagi, seberapa banyak desa yang memiliki kantor sendiri..? Untuk Kecamatan Banjarsari di Kabupaten Lebak, 10 dari 16 desa belum memiliki kantor, begitupula di wilayah Kota Serang, dari 12 desa di Walantaka hanya delapan desa yang memiliki kantor desa. Belum lagi dengan desa-desa hasil pemekaran yang notabene sebagai desa baru yang belum memiliki infrastruktur. Hal ini disebabkan oleh beragam faktor, mulai dari sengketa lahan hingga perebutan aset dan perhatian pemerintah daerah yang 'kurang serius' memperhatikan pembangunan kantor desa sebagai representatif kantor urusan pemerintah pusat dan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Secara otomatis, urusan pelayanan administrasi kepada masyarakat seringkali dilakukan di rumah kepala desa atau dirumah sekretaris desa dan bahkan yang lebih konyol kadangkala urusan administrasi dilakukan secara mobile atau berpindah-pindah... hehehe.
BANTUAN DESA
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat dirubah statusnya menjadi kelurahan.
Disinilah dualisme itu muncul, disatu sisi Desa diperlukan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, disisi lain Desa tidak juga diakui secara riil sebagai bagian dari perangkat daerah.
Hal ini merupakan pengingkaran terhadap hak-hak dasar penyelenggaraan pemerintahan, beberapa desa yang saya kunjungi para kepala desa harus bermanuver dalam mencukupi keuangan desa masing-masing. Ada yang membuat puluhan proposal agar dapat proyek dari pemerintah daerah, provinsi dan pusat. Namun ironisnya, puluhan proposal hanya menjadi tumpukan semata bila tidak memiliki jaringan politik dan koneksi yang kuat dengan kepala daerah.
Sahabat saya Yayan yang menjadi Kepala Desa di daerah Lebak Selatan menjadi terkenal dengan sebutan Kades Proposal. Ia mengakui kalau tidak menyebarkan proposal demi mendapatkan proyek pembangunan di desanya, sangat sulit untuk menutupi keuangan desa dam membiayai pembangunannya. Lain lagi dengan sahabat saya di Kota Serang yang menjadi Kepala Desa di Kalodran, beliau mengakui sudah menyebarkan puluhan proposal pembangunan, namun sayangnya sejak menjabat sejak tiga tahun lalu, belum satupun proposal pembangunan yang ia ajukan direalisasikan... huff. Hal ini ia akui, bahwa ia memang tidak memiliki koneksi terhadap partai politik atau 'orang dekat' walikota. Untuk menambah penghasilan, sampai sat ini ia masih bekerja di salah satu perusahaan swasta.
Hal ini berlaku juga dengan beberapa Lembang (Desa) di Tanah Toraja, koneksi politik yang kuat sangat diperlukan dalam mencari proyek. Ironisnya proses Musrembang (Musyawarah Rencana Pembangunan) yang berlaku di tiap desa biasanya hanya menjadi kertas kerja yang akan menjadi tumpukan kertas setiap tahunnya di meja para birokrat di tingkat kabupaten atau provinsi.
Yang sedikit menggelitik, biasanya Desa akan kebanjiran bantuan saat mendekati Pemilu dan Pilkada Bupati/Walikota atau Pilkada Gubernur. Aneka bantuan dana Desa seperti Fresh Money atau nama lain yang intinya adalah 'pendekatan' penguasa untuk mengambil hati kepala desa agar tetap 'mendukung' program dan melanjutkan pembangunan dengan 'tetap' mengkondisikan pemenangan calon yang berkuasa. Yang memprihatinkan adalah apabila lewat masa pemilu atau pilkada maka bantuan tersebut akan dihentikan sampai waktu yang tidak ditentukan.
Status seorang Kepala Desa yang memegang 'kuasa' dengan ratusan bahkan ribuan jiwa, merupakan sekelompok penduduk yang menjadi target suara pemilih bagi penyumbang suara kursi DPRD dan DPR. Hal ini menjadikan posisi Kepala Desa menjadi sangat vital dan menentukan saat pemilu dan Pilkada, yang merupakan posisi 'basah' bagi para pencari suara. Tidak sedikit para calon legislatif dan calon pemimpin daerah selalu mendekati kepala desa di saat-saat seperti itu. Seperti sudah lazim, bila pesta pemilihan legislatif dan pesta pemilihan kepala daerah telah selesai, maka dapat dipastikan beribu janji dan iming-iming saat pendekatan dulu hanya menjadi cerita pepesan kosong.
Desa sebagai miniatur Indonesia sekali lagi hanya menjadi bahan dan perebutan kekuasaan dengan melupakan eksistensinya sendiri. Arti kesejahteraan dan kemakmuran yang selalu dijadikan slogan seolah menguap seiring dengan berjalannya waktu. Jumlah pemuda dan pemudi yang bermukim di Desa menjadi semakin sedikit karena lapangan kerja bagi mereka seolah tertutup. Bagaimana tidak, ongkos produksi pertanian terkadang lebih tinggi daripada hasil jual pertanian itu sendiri. Potensi dan beragam sumber daya yang tersedia di pedesaan terkadang hanya menjadikan masyarakat di desa-desa tersebut sebagai penonton dalam gerak laju pertumbuhan ekonomi.
Tidak mengherankan bila 255 Desa yang tersebar di 15 Kecamatan di wilayah perbatasan Kalimantan Timur lebih enjoy menggunakan mata uang Ringgit Malaysia dan beberapa Desa di wilayah perbatasan di Papua lebih mudah menggunakan mata uang Kina (Koran Sindo, 17 Agustus 2010). Yang menakutkan bila kelak nantinya warga Desa tersebut memilih referendum dan meminta bergabung dengan negara tetangga..???
Sabtu, 17 Juli 2010
APAKAH MASIH PERLU MENGGUNAKAN PATWAL
Beberapa hari kemarin sebuah surat pembaca yang dimuat di Harian Kompas sempat membuat ‘geger’ istana. Hal ini dikarenakan surat pembaca tersebut mengkritisi ‘ritual’ patwal yang menjadi bodi kuat alias bodyguard sang presiden dari kediamannya di Cikeas ke Istana Negara di Medan Merdeka.
Dapat kita bayangkan bagaimana tidak nyamannya bila hampir setiap hari masyarakat harus berhadapan dengan kemacetan yang disebabkan oleh iring-iringan mobil kepresidenan yang seharusnya bbisa dihindari bila sang presiden mau tinggal di istana lebih sering daripada tinggal di Cikeas. Padahal jalur tersebut sudah sangat macet bila hari dan jam kerja.
Surat pembaca tersebut dari seorang wartawan bernama Hendra NS :
Redaksi Yth,
Trauma oleh Patwal Presiden Sebagai tetangga dekat Pak SBY, hampir saban hari saya menyaksikan arogansi Patroli dan Pengawalan (Patwal) iring-iringan Presiden di jalur Cikeas-Cibubur sampai Tol Jagorawi. Karena itu, saya-juga mayoritas pengguna jalan itu-memilih menghindar dan menjauh bila terdengar sirene Patwal.
Namun, kejadian Jumat (9/7) sekitar pukul 13.00 di Pintu Tol Cililitan (antara Tol Jagorawi dan tol dalam kota) sungguh menyisakan pengalaman traumatik, khususnya bagi anak perempuan saya.
Setelah membayar tarif tol dalam kota, terdengar sirene dan hardikan petugas lewat mikrofon untuk segera menyingkir. Saya pun sadar, Pak SBY atau keluarganya akan lewat. Saya dan pengguna jalan lain memperlambat kendaraan, mencari posisi berhenti paling aman. Tiba-tiba muncul belasan mobil Patwal membuat barisan penutup semua jalur, kira-kira 100 meter setelah Pintu Tol Cililitan. Mobil kami paling depan. Mobil Patwal yang tepat di depan saya dengan isyarat tangan memerintahkan untuk bergerak ke kiri. Secara perlahan, saya membelokkan setir ke kiri.
Namun, muncul perintah lain lewat pelantam suara untuk menepi ke kanan dengan menyebut merek dan tipe mobil saya secara jelas. Saat saya ke kanan, Patwal di depan murka bilang ke kiri. Saya ke kiri, suara dari pelantam membentak ke kanan. Bingung dan panik, sayapun diam menunggu perintah mana yang saya laksanakan.
Patwal di depan turun dan menghajar kap mesin mobil saya dan memukul spion kanan sampai terlipat. Dari mulutnya terdengar ancaman, “Apa mau Anda saya bedil?” Setelah menepi di sisi paling kiri, polisi itu menghampiri saya. Makian dan umpatan meluncur tanpa memberi saya kesempatan bicara. Melihat putri saya ketakutan, saya akhirnya mendebatnya.
Saya jelaskan situasi tadi. Amarahya tak mereda, malah terucap alasan konyol tak masuk akal seperti “dari mana sumber suara speaker itu?”, atau “mestinya kamu ikuti saya saja”, atau “tangan saya sudah mau patah gara-gara memberi tanda ke kiri”. Permintaan saya dipertemukan dengan oknum pemberi perintah dari pelantam tak digubris. Intimidasi hampir 10 menit yang berlangsung tepat di depan Kantor Jasa Marga itu tak mengetuk hati satu pun dari anggota Patwal lain yang menyaksikan kejadian itu. Paling tidak, menunjukkan diri sebagai pelayan pelindung masyarakat. Karena dialog tak kondusif, saya buka identitas saya sebagai wartawan untuk mencegah oknum melakukan tindak kekerasan. Ia malah melecehkan profesi wartawan dan tak mengakui perbuatannya merusak mobil saya. Identitasnya tertutup rompi. Oknum ini malah mengeluarkan ocehan, “Kami ini tiap hari kepanasan dengan gaji kecil. Emangnya saya mau kerjaan ini?”
Saat rombongan SBY lewat, ia segera berlari menuju mobil PJR-nya, mengikuti belasan temannya meninggalkan saya dan putri saya yang terbengong-bengong.
Pak SBY yang kami hormati, mohon pindah ke Istana Negara sebagai tempat kediaman resmi presiden. Betapa kami saban hari sengsara setiap Anda dan keluarga keluar dari rumah di Cikeas. Cibubur hanya lancar buat Presiden dan keluarga, tidak untuk kebanyakan warga.
HENDRA NS
Cibubur
Sederhana memang isi dari surat pembaca tersebut namun memiliki makna yang dalam bila Pak Presiden mau mendengar…. dan beberapa jam setelah surat pembaca tersebut dimuat di Kompas, hampir semua milis dan jejaring sosial mengomentari surat pembaca tersebut.
Mungkin diantara kita ada juga yang sering mendapatkan sikap yang tidak mengenakan ketika sedang berkendaraan lantas distop dan disuruh menyingkir untuk memberikan jalan bagi para pejabat… weleh-weleh.
Bulan lalu, ketika dalam perjalanan dari Danau Toba ke Kota Medan, mobil yang kami tumpangi sempat ditendang oleh para pengawal iring-iringan motor besar yang sedang melakukan konvoi. Supir didalam mobil yang saya kendarai awalnya sudah berhenti ketika seorang patwal menyuruhnya stop. Namun saya perintahkan kembali untuk tetap melajukan mobilnya setelah saya ketahui bahwa yang hendak lewat bukanlah ambulance tetapi hanya iringan motor besar alias Harley Davidson… huff, lantas secepat kilat seorang patwal dari arah belakang menendang mobil kami dan kami hanya bisa mengurut dada…. Baru beberapa hari kemudian ketika saya membaca harian Seputar Indonesia yang memuat ulasan dan foto Touring Harley di Sumatera Utara, ternyata para peserta iring-iringan motor besar tersebut adalah rombongan Kapolda Sumatera Utara… cabe deh.
Kejadian lainnya ketika salah satu kandidat calon bupati dengan slogan Tuntas di Provinsi Banten yang baru mendeklarasikan diri di Masjid Agung Serang lantas menyetop semua kendaraan yang hendak lewat di Jalan Veteran tepat di depan kantor yang saya tempati. Dalam hati, apa urgensinya memberikan jalan prioritas bagi pasangan calon bupati…? Selain brisik juga membuat pengguna jalan lainnya menjadi tidak nyaman tentunya.
Setelah kejadian tersebut, kiranya pemakaian patwal bagi para pejabat kiranya mesti ditinjau ulang..? selain menghabiskan anggaran tentunya juga merepotkan para pengguna jalan lainnya, padahal kita juga membayar pajak kendaraan dan pajak lainnya yang seharusnya sama berhak menggunakan jalan…??? Kalau untuk ambulance dan petugas pemadam kebakaran, memang harus diprioritaskan untuk diberikan jalan, namun untuk pejabat…? No Way…. Beberapa pejabat diluar negeri sangat tabu menggunakan patwal, tapi di negeri ini seperti menjadi kebutuhan dan kebanggan tersendiri.
Namun memang sebagai rakyat Indonesia, kita harus tetap sabar dan sabar… sabar saja, sudah untung bisa hidup di Indonesia…. I Luv U full Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)