Sabtu, 21 Agustus 2010

DESA KITA, MINIATUR INDONESIA YANG TERLUPA


Beberapa hari kemarin saya berkesempatan menemani rekan-rekan dari Jepang yang melakukan penelitian tentang Desa di beberapa lokasi di Indonesia, seperti di Banten, Jogja, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Banyak pengalaman baru yang saya dapatkan dari berkunjungan langsung, melihat dan merasakan keseharian para penggerak pemerintahan Desa.

Sebagai institusi terlengkap dengan infrastruktur pemerintahan yang mengurusi hajat hidup orang banyak, sebuah Desa memiliki peranan yang sangat vital, mulai dari mengurusi surat pengantar pembuatan KTP, KK, Kartu Kuning, sampai urusan menjadi 'kantor perwakilan' pajak dengan mengumpulkan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dari masyarakat.

Ironisnya, mayoritas kepala desa di Indonesia tidak ada yang digaji tetap dari pemerintah selain tunjangan yang nilai rupiahnya jauh dari angka minimal upah pekerja seperti UMK atau UMR. Kebalikannya jumlah peminat setiap pemilihan kepala desa selalu penuh dengan kandidat yang bernafsu untuk meraih tahta agar dapat duduk di kursi kepala desa yang terkadang menghabiskan uang ratusan juta rupiah... weleh-weleh.

Akibat dari lebih besarnya pasak daripada tiang, seringkali untuk mengakali pendapatan, para kepala desa sering bermanuver dengan 'penyelewengan' dana pembangunan, pembelokkan pembagian raskin, hingga mengutip dana pembuatan KTP dan KK yang seringkali dinilai tidak wajar oleh para warganya sendiri. Bila fungsi BPD (Badan Pengawas Desa) sesuai dengan fungsi dan tugas yang sesuai, maka kontrol terhadap kinerja kepala desa akan lebih efektif, namun lebih banyak BPD sendiri memaklumi dan sebagian lainnya tidak mengetahui fungsinya kerjanya sendiri.

Ternyata, dari tujuh puluh dua ribu jumlah desa di Indonesia masih harus ditelusuri lagi, seberapa banyak desa yang memiliki kantor sendiri..? Untuk Kecamatan Banjarsari di Kabupaten Lebak, 10 dari 16 desa belum memiliki kantor, begitupula di wilayah Kota Serang, dari 12 desa di Walantaka hanya delapan desa yang memiliki kantor desa. Belum lagi dengan desa-desa hasil pemekaran yang notabene sebagai desa baru yang belum memiliki infrastruktur. Hal ini disebabkan oleh beragam faktor, mulai dari sengketa lahan hingga perebutan aset dan perhatian pemerintah daerah yang 'kurang serius' memperhatikan pembangunan kantor desa sebagai representatif kantor urusan pemerintah pusat dan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.

Secara otomatis, urusan pelayanan administrasi kepada masyarakat seringkali dilakukan di rumah kepala desa atau dirumah sekretaris desa dan bahkan yang lebih konyol kadangkala urusan administrasi dilakukan secara mobile atau berpindah-pindah... hehehe.

BANTUAN DESA
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat dirubah statusnya menjadi kelurahan.

Disinilah dualisme itu muncul, disatu sisi Desa diperlukan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, disisi lain Desa tidak juga diakui secara riil sebagai bagian dari perangkat daerah.

Hal ini merupakan pengingkaran terhadap hak-hak dasar penyelenggaraan pemerintahan, beberapa desa yang saya kunjungi para kepala desa harus bermanuver dalam mencukupi keuangan desa masing-masing. Ada yang membuat puluhan proposal agar dapat proyek dari pemerintah daerah, provinsi dan pusat. Namun ironisnya, puluhan proposal hanya menjadi tumpukan semata bila tidak memiliki jaringan politik dan koneksi yang kuat dengan kepala daerah.

Sahabat saya Yayan yang menjadi Kepala Desa di daerah Lebak Selatan menjadi terkenal dengan sebutan Kades Proposal. Ia mengakui kalau tidak menyebarkan proposal demi mendapatkan proyek pembangunan di desanya, sangat sulit untuk menutupi keuangan desa dam membiayai pembangunannya. Lain lagi dengan sahabat saya di Kota Serang yang menjadi Kepala Desa di Kalodran, beliau mengakui sudah menyebarkan puluhan proposal pembangunan, namun sayangnya sejak menjabat sejak tiga tahun lalu, belum satupun proposal pembangunan yang ia ajukan direalisasikan... huff. Hal ini ia akui, bahwa ia memang tidak memiliki koneksi terhadap partai politik atau 'orang dekat' walikota. Untuk menambah penghasilan, sampai sat ini ia masih bekerja di salah satu perusahaan swasta.

Hal ini berlaku juga dengan beberapa Lembang (Desa) di Tanah Toraja, koneksi politik yang kuat sangat diperlukan dalam mencari proyek. Ironisnya proses Musrembang (Musyawarah Rencana Pembangunan) yang berlaku di tiap desa biasanya hanya menjadi kertas kerja yang akan menjadi tumpukan kertas setiap tahunnya di meja para birokrat di tingkat kabupaten atau provinsi.

Yang sedikit menggelitik, biasanya Desa akan kebanjiran bantuan saat mendekati Pemilu dan Pilkada Bupati/Walikota atau Pilkada Gubernur. Aneka bantuan dana Desa seperti Fresh Money atau nama lain yang intinya adalah 'pendekatan' penguasa untuk mengambil hati kepala desa agar tetap 'mendukung' program dan melanjutkan pembangunan dengan 'tetap' mengkondisikan pemenangan calon yang berkuasa. Yang memprihatinkan adalah apabila lewat masa pemilu atau pilkada maka bantuan tersebut akan dihentikan sampai waktu yang tidak ditentukan.

Status seorang Kepala Desa yang memegang 'kuasa' dengan ratusan bahkan ribuan jiwa, merupakan sekelompok penduduk yang menjadi target suara pemilih bagi penyumbang suara kursi DPRD dan DPR. Hal ini menjadikan posisi Kepala Desa menjadi sangat vital dan menentukan saat pemilu dan Pilkada, yang merupakan posisi 'basah' bagi para pencari suara. Tidak sedikit para calon legislatif dan calon pemimpin daerah selalu mendekati kepala desa di saat-saat seperti itu. Seperti sudah lazim, bila pesta pemilihan legislatif dan pesta pemilihan kepala daerah telah selesai, maka dapat dipastikan beribu janji dan iming-iming saat pendekatan dulu hanya menjadi cerita pepesan kosong.

Desa sebagai miniatur Indonesia sekali lagi hanya menjadi bahan dan perebutan kekuasaan dengan melupakan eksistensinya sendiri. Arti kesejahteraan dan kemakmuran yang selalu dijadikan slogan seolah menguap seiring dengan berjalannya waktu. Jumlah pemuda dan pemudi yang bermukim di Desa menjadi semakin sedikit karena lapangan kerja bagi mereka seolah tertutup. Bagaimana tidak, ongkos produksi pertanian terkadang lebih tinggi daripada hasil jual pertanian itu sendiri. Potensi dan beragam sumber daya yang tersedia di pedesaan terkadang hanya menjadikan masyarakat di desa-desa tersebut sebagai penonton dalam gerak laju pertumbuhan ekonomi.

Tidak mengherankan bila 255 Desa yang tersebar di 15 Kecamatan di wilayah perbatasan Kalimantan Timur lebih enjoy menggunakan mata uang Ringgit Malaysia dan beberapa Desa di wilayah perbatasan di Papua lebih mudah menggunakan mata uang Kina (Koran Sindo, 17 Agustus 2010). Yang menakutkan bila kelak nantinya warga Desa tersebut memilih referendum dan meminta bergabung dengan negara tetangga..???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar