Selasa, 24 Agustus 2010
BANDAR UDARA PANIMBANG UNTUK SIAPA..?
Rencana pembangunan Bandara Udara di Kecamatan Panimbang, Banten Selatan sepertinya sudah mendekati tahap akhir. Bupati Pandeglang, Erwan Kurtubi mengatakan bahwa beliau sangat mendukung pembangunan Bandara di Panimbang yang rencananya mulai dikerjakan pada tahun 2016 karena akan menggerakkan roda ekonomi masyarakat sekitar (Kompas, 15 Juni 2010). Sementara itu Ratu Atut selaku Gubernur Banten mengatakan bahwa ia sangat mendukung pembangunan Bandara Udara di Panimbang dengan syarat pembebasan lahan untuk lokasi bandara tersebut harus bebas dari masalah hukum (Tempo interaktif, 13 Juni 2010). Sementara itu, Toni Fathoni Mukson dilain kesempatan mengatakan bahwa salah satu alasan pembangunan bandara tersebut adalah untuk memudahkan penanganan bencana, karena disekitar Panimbang adalah kawasan rawan banjir (Kompas, 15 Juni 2010). Dilain pihak, Aah Maulany Kepala Bapeda Pandeglang mengatakan bahwa salah satu efek dari pembangunan bandara tersebut adalah banyaknya warung-warung kecil yang akan muncul dari pembangunan bandara tersebut (FBnews, 20 Agustus 2010).
Terus terang, dari semua pernyataan-pernyataan tersebut diatas, belum ada yang dapat menjelaskan secara detail akan manfaat riil dari pembangunan Bandara Udara di Kecamatan Panimbang. Beberapa pejabat yang pernah saya wawancarai secara random seputar pembangunan bandara tersebut mengatakan bahwa pembangunan bandara tersebut akan membawa manfaat besar pada perkembangan pariwisata di Banten Selatan. Benarkah demikian..? Untuk itu, berbekal sedikit pengalaman saya yang pernah bergelut dalam industri penerbangan nasional, saya akan membedah satu-persatu alasan yang dikemukakan para pejabat yang terhormat.
Alasan ekonomi di balik pembangunan bandara udara di Panimbang memang masih debatable, bagaimana tidak untuk memaparkan nilai positif dari sisi ekonomi banyak faktor yang harus dijadikan tolak ukur demi pencapaian target dari hasil keuntungan yang hendak dicapai. Teori ekonomi dasar mengatakan bahwa sesuatu bidang usaha yang hendak dilakukan adalah untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, apakah itu keuntungan materi atau keuntungan non-materi. Jika keuntungan materi yang hendak dicapai, apakah hitung-hitungan seberapa besar lama modal akan kembali sudah sesuai dengan yang akan digelontorkan..? karena modal yang hendak digunakan adalah dana APBD dan APBN yang ditanamkan dalam BUMD Banten Global sebesar 1 trilyun sebagai dana awal, maka selayaknya dana tersebut harus 'sedikit' diketahui oleh rakyat Banten. Sementara untuk efek dari perubahan sosial budaya masyarakat sekitar akibat dari keberadaan bandara udara harus dipikirkan secara matang.
Pendapat Aay yang mengatakan bahwa akan banyak warung-warung kecil yang akan muncul dari keberadaan bandara tersebut sangat naïf dan terlalu dangkal. Contoh kasus keberadaan Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta, apakah sudah memberikan tempat yang layak bagi keberadaan warung-warung kecil milik warga pribumi di sekitar Cengkareng..? Apakah ada warga asli Cengkareng yang memiliki warung atau gerai didalam area ataupun disekitar luaran Bandara Udara Soekarno-Hatta..? kecuali warga sekitar hanya menjadi tukang ojek motor dan porter alias 'tukang pikul' di airport serta menjadi pedagang asongan yang terus dikejar-kejar dan main 'kucing-kucingan' di area parkir sekitar terminal Bandara Soekarno-Hatta.
Alasan faktor ekonomi dengan dibangunnya bandara udara tersebut sebagai katalisator pembangunan bagi Banten Selatan kiranya harus masih dikaji lebih dalam, sebab Provinsi Banten sendiri telah memiliki Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang yang masih bisa lebih dioptimalkan bagi pembangunan ekonomi Banten dan Banten Selatan tentunya. Belum lagi telah adanya Bandara Pondok Cabe di Tangerang Selatan yang juga masih masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Banten yang juga bisa lebih dioptimalkan bagi percepatan pembangunan Banten Selatan yang memiliki kedekatan geografis dengan wilayah Lebak.
Sebagai usaha pembangunan bandara perintis, sudah selayaknya apabila pemerintah Provinsi Banten memikirkan secara matang berbagai efek domino yang akan timbul dari pembangunan Bandara perintis tersebut. Beragam hitung-hitungan harus secara cermat perlu diperhatikan. Apakah dengan label perintis, pemerintah sudah mendapatkan operator penerbangan yang mau melayani rute tersebut...? Apakah kelayakan masyarakat sekitar dapat menjangkau harga tiket untuk penerbangan didaerah tersebut dengan jumlah penduduk yang minim di daerah tersebut..?
Pengalaman penulis yang pernah bertugas di salah satu flight carrier di Indonesia, mencari penumpang pesawat udara untuk menutupi load factor pesawat apalagi sebagai bagian dari bandara udara perintis bukanlah persoalan mudah. Apakah operator yang akan menerbangi rute tersebut mau menjadi 'kelinci' percobaan dengan membuka rute setiap harinya..? Padahal seperti kita ketahui, jumlah kunjungan wisatawan yang datang berkunjung ke Tanjung Lesung dan Pulau Umang adalah tamu dengan karateristik week end atau dengan kata lain hanya datang pada waktu akhir pekan. Sebagai perbandingan, Kabupaten Tana Toraja sebagai destinasi wisata nasional, sampai saat ini keberadaan Bandara Pontiku hanya mampu diterbangi oleh dua maskapai kecil dari Makassar dan Balikpapan yang masih harus disubsidi oleh pemerintah daerah setempat yang itupun masih kesulitan menjaring penumpang untuk menutupi load factor pesawat. Jangan sampai keberadaan bandara udara di Panimbang menuai hasil yang sama.
Jalur Selatan-Selatan
Beragam potensi dan obyek wisata yang terbentang di jalur selatan Banten merupakan mutu manikam yang menunggu polesan berbagai pihak untuk dapat dioptimalkan. Mulai dari pesisir barat Anyer dan Carita yang menyambung ke Tanjung Lesung. Namun kendala akan muncul manakala para wisatawan telah tiba di Tanjung Lesung, para wisatawan harus memutar jalur melalui Cibaliung untuk dapat ke Sumur sebagai pelabuhan transit ke Pulau Peucang, Panaitan dan Handeleum. Sebenarnya jalur jalan dari Tanjung Lesung ke Sumur sudah mulai dirintis pada tahun anggaran kemarin. Sangat potensial apabila jalur jalan perintis ini lebih bisa dipercepat agar dapat memotong jumlah waktu yang terbuang. Belum lagi infrastruktur wisata lainnya dari Sumur menuju Bayah melalui jalur selatan yang sampai saat ini masih memprihatinkan. Ditambah jalur jalan wisata dari Leuwidamar menuju Ciboleger yang nasibnya juga setali tiga uang apabila dihubungkan dengan jalur wisata melalui Gunung Kencana.
Jika saja pemerintah mau sedikit serius untuk memajukan pariwisata, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menumbuhkan pedagang kecil, sudah selayaknya pemerintah haarus fokus dan lebih terarah dalam mengambil kebijakan yang pro-rakyat dan bukan pro pada makelar tanah atau pro pada kontraktor pencari proyek sesaat.
Rencana pembangunan Bandara Udara perintis di Panimbang sebaiknya ditinjau ulang. Ditinjau dari berbagai aspek, pembangunan bandara ini tidak layak bila beralasan untuk percepatan ekonomi, penanganan bencana atau menumbuhkan pedagang kecil..?
Jalur jalan dan keberadaan terminal yang tersebar di Pandeglang dan Labuan sampai saat ini masih memprihatinkan. Sudah selayaknya, prioritas pembangunan lebih diarahkan untuk perbaikan jalan dan pembukaan jalur baru yang lebih dibutuhkan serta pembangunan pelabuhan perintis di Kecamatan Sumur yang merupakan sentra percepatan ekonomi di wilayah selatan. Sebab dengan mempertimbangkan kedekatan Bandara Udara Soekarno-Hatta yang hanya beberapa kilometer dari Banten Selatan sangat naïf bila harus dibangun bandara serupa walau masih bersifat rintisan.... Jangan sampai ketika bandara sudah jadi, malah hanya sapi dan kambing saja yang menjadi penghuni tetap.
Dikhawatirkan dengan digelontorkannya dana trilyunan rupiah untuk sebuah gengsi pembangunan bandara udara lantas mengabaikan prioritas pembangunan lain yang sebenarnya lebih dibutuhkan oleh masyarakat di Banten Selatan.
*) penulis : mantan Manager Citilink Garuda Indonesia Cabang Makassar.
Sabtu, 21 Agustus 2010
DESA KITA, MINIATUR INDONESIA YANG TERLUPA
Beberapa hari kemarin saya berkesempatan menemani rekan-rekan dari Jepang yang melakukan penelitian tentang Desa di beberapa lokasi di Indonesia, seperti di Banten, Jogja, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Selatan. Banyak pengalaman baru yang saya dapatkan dari berkunjungan langsung, melihat dan merasakan keseharian para penggerak pemerintahan Desa.
Sebagai institusi terlengkap dengan infrastruktur pemerintahan yang mengurusi hajat hidup orang banyak, sebuah Desa memiliki peranan yang sangat vital, mulai dari mengurusi surat pengantar pembuatan KTP, KK, Kartu Kuning, sampai urusan menjadi 'kantor perwakilan' pajak dengan mengumpulkan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan dari masyarakat.
Ironisnya, mayoritas kepala desa di Indonesia tidak ada yang digaji tetap dari pemerintah selain tunjangan yang nilai rupiahnya jauh dari angka minimal upah pekerja seperti UMK atau UMR. Kebalikannya jumlah peminat setiap pemilihan kepala desa selalu penuh dengan kandidat yang bernafsu untuk meraih tahta agar dapat duduk di kursi kepala desa yang terkadang menghabiskan uang ratusan juta rupiah... weleh-weleh.
Akibat dari lebih besarnya pasak daripada tiang, seringkali untuk mengakali pendapatan, para kepala desa sering bermanuver dengan 'penyelewengan' dana pembangunan, pembelokkan pembagian raskin, hingga mengutip dana pembuatan KTP dan KK yang seringkali dinilai tidak wajar oleh para warganya sendiri. Bila fungsi BPD (Badan Pengawas Desa) sesuai dengan fungsi dan tugas yang sesuai, maka kontrol terhadap kinerja kepala desa akan lebih efektif, namun lebih banyak BPD sendiri memaklumi dan sebagian lainnya tidak mengetahui fungsinya kerjanya sendiri.
Ternyata, dari tujuh puluh dua ribu jumlah desa di Indonesia masih harus ditelusuri lagi, seberapa banyak desa yang memiliki kantor sendiri..? Untuk Kecamatan Banjarsari di Kabupaten Lebak, 10 dari 16 desa belum memiliki kantor, begitupula di wilayah Kota Serang, dari 12 desa di Walantaka hanya delapan desa yang memiliki kantor desa. Belum lagi dengan desa-desa hasil pemekaran yang notabene sebagai desa baru yang belum memiliki infrastruktur. Hal ini disebabkan oleh beragam faktor, mulai dari sengketa lahan hingga perebutan aset dan perhatian pemerintah daerah yang 'kurang serius' memperhatikan pembangunan kantor desa sebagai representatif kantor urusan pemerintah pusat dan daerah dalam memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Secara otomatis, urusan pelayanan administrasi kepada masyarakat seringkali dilakukan di rumah kepala desa atau dirumah sekretaris desa dan bahkan yang lebih konyol kadangkala urusan administrasi dilakukan secara mobile atau berpindah-pindah... hehehe.
BANTUAN DESA
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 2005 tentang Desa, disebut bahwa Desa adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas-batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat, berdasarkan asal-usul dan adat istiadat setempat yang diakui dan dihormati dalam sistem Pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desa bukanlah bawahan kecamatan, karena kecamatan merupakan bagian dari perangkat daerah kabupaten/kota, dan desa bukan merupakan bagian dari perangkat daerah. Berbeda dengan Kelurahan, Desa memiliki hak mengatur wilayahnya lebih luas. Namun dalam perkembangannya, sebuah desa dapat dirubah statusnya menjadi kelurahan.
Disinilah dualisme itu muncul, disatu sisi Desa diperlukan sebagai kepanjangan tangan dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah, disisi lain Desa tidak juga diakui secara riil sebagai bagian dari perangkat daerah.
Hal ini merupakan pengingkaran terhadap hak-hak dasar penyelenggaraan pemerintahan, beberapa desa yang saya kunjungi para kepala desa harus bermanuver dalam mencukupi keuangan desa masing-masing. Ada yang membuat puluhan proposal agar dapat proyek dari pemerintah daerah, provinsi dan pusat. Namun ironisnya, puluhan proposal hanya menjadi tumpukan semata bila tidak memiliki jaringan politik dan koneksi yang kuat dengan kepala daerah.
Sahabat saya Yayan yang menjadi Kepala Desa di daerah Lebak Selatan menjadi terkenal dengan sebutan Kades Proposal. Ia mengakui kalau tidak menyebarkan proposal demi mendapatkan proyek pembangunan di desanya, sangat sulit untuk menutupi keuangan desa dam membiayai pembangunannya. Lain lagi dengan sahabat saya di Kota Serang yang menjadi Kepala Desa di Kalodran, beliau mengakui sudah menyebarkan puluhan proposal pembangunan, namun sayangnya sejak menjabat sejak tiga tahun lalu, belum satupun proposal pembangunan yang ia ajukan direalisasikan... huff. Hal ini ia akui, bahwa ia memang tidak memiliki koneksi terhadap partai politik atau 'orang dekat' walikota. Untuk menambah penghasilan, sampai sat ini ia masih bekerja di salah satu perusahaan swasta.
Hal ini berlaku juga dengan beberapa Lembang (Desa) di Tanah Toraja, koneksi politik yang kuat sangat diperlukan dalam mencari proyek. Ironisnya proses Musrembang (Musyawarah Rencana Pembangunan) yang berlaku di tiap desa biasanya hanya menjadi kertas kerja yang akan menjadi tumpukan kertas setiap tahunnya di meja para birokrat di tingkat kabupaten atau provinsi.
Yang sedikit menggelitik, biasanya Desa akan kebanjiran bantuan saat mendekati Pemilu dan Pilkada Bupati/Walikota atau Pilkada Gubernur. Aneka bantuan dana Desa seperti Fresh Money atau nama lain yang intinya adalah 'pendekatan' penguasa untuk mengambil hati kepala desa agar tetap 'mendukung' program dan melanjutkan pembangunan dengan 'tetap' mengkondisikan pemenangan calon yang berkuasa. Yang memprihatinkan adalah apabila lewat masa pemilu atau pilkada maka bantuan tersebut akan dihentikan sampai waktu yang tidak ditentukan.
Status seorang Kepala Desa yang memegang 'kuasa' dengan ratusan bahkan ribuan jiwa, merupakan sekelompok penduduk yang menjadi target suara pemilih bagi penyumbang suara kursi DPRD dan DPR. Hal ini menjadikan posisi Kepala Desa menjadi sangat vital dan menentukan saat pemilu dan Pilkada, yang merupakan posisi 'basah' bagi para pencari suara. Tidak sedikit para calon legislatif dan calon pemimpin daerah selalu mendekati kepala desa di saat-saat seperti itu. Seperti sudah lazim, bila pesta pemilihan legislatif dan pesta pemilihan kepala daerah telah selesai, maka dapat dipastikan beribu janji dan iming-iming saat pendekatan dulu hanya menjadi cerita pepesan kosong.
Desa sebagai miniatur Indonesia sekali lagi hanya menjadi bahan dan perebutan kekuasaan dengan melupakan eksistensinya sendiri. Arti kesejahteraan dan kemakmuran yang selalu dijadikan slogan seolah menguap seiring dengan berjalannya waktu. Jumlah pemuda dan pemudi yang bermukim di Desa menjadi semakin sedikit karena lapangan kerja bagi mereka seolah tertutup. Bagaimana tidak, ongkos produksi pertanian terkadang lebih tinggi daripada hasil jual pertanian itu sendiri. Potensi dan beragam sumber daya yang tersedia di pedesaan terkadang hanya menjadikan masyarakat di desa-desa tersebut sebagai penonton dalam gerak laju pertumbuhan ekonomi.
Tidak mengherankan bila 255 Desa yang tersebar di 15 Kecamatan di wilayah perbatasan Kalimantan Timur lebih enjoy menggunakan mata uang Ringgit Malaysia dan beberapa Desa di wilayah perbatasan di Papua lebih mudah menggunakan mata uang Kina (Koran Sindo, 17 Agustus 2010). Yang menakutkan bila kelak nantinya warga Desa tersebut memilih referendum dan meminta bergabung dengan negara tetangga..???
Langganan:
Postingan (Atom)