Rencana pembangunan Bandara Udara di Kecamatan Panimbang, Banten Selatan sepertinya sudah mendekati tahap akhir. Bupati Pandeglang, Erwan Kurtubi mengatakan bahwa beliau sangat mendukung pembangunan Bandara di Panimbang yang rencananya mulai dikerjakan pada tahun 2016 karena akan menggerakkan roda ekonomi masyarakat sekitar (Kompas, 15 Juni 2010). Sementara itu Ratu Atut selaku Gubernur Banten mengatakan bahwa ia sangat mendukung pembangunan Bandara Udara di Panimbang dengan syarat pembebasan lahan untuk lokasi bandara tersebut harus bebas dari masalah hukum (Tempo interaktif, 13 Juni 2010). Sementara itu, Toni Fathoni Mukson dilain kesempatan mengatakan bahwa salah satu alasan pembangunan bandara tersebut adalah untuk memudahkan penanganan bencana, karena disekitar Panimbang adalah kawasan rawan banjir (Kompas, 15 Juni 2010). Dilain pihak, Aah Maulany Kepala Bapeda Pandeglang mengatakan bahwa salah satu efek dari pembangunan bandara tersebut adalah banyaknya warung-warung kecil yang akan muncul dari pembangunan bandara tersebut (FBnews, 20 Agustus 2010).
Terus terang, dari semua pernyataan-pernyataan tersebut diatas, belum ada yang dapat menjelaskan secara detail akan manfaat riil dari pembangunan Bandara Udara di Kecamatan Panimbang. Beberapa pejabat yang pernah saya wawancarai secara random seputar pembangunan bandara tersebut mengatakan bahwa pembangunan bandara tersebut akan membawa manfaat besar pada perkembangan pariwisata di Banten Selatan. Benarkah demikian..? Untuk itu, berbekal sedikit pengalaman saya yang pernah bergelut dalam industri penerbangan nasional, saya akan membedah satu-persatu alasan yang dikemukakan para pejabat yang terhormat.
Alasan ekonomi di balik pembangunan bandara udara di Panimbang memang masih debatable, bagaimana tidak untuk memaparkan nilai positif dari sisi ekonomi banyak faktor yang harus dijadikan tolak ukur demi pencapaian target dari hasil keuntungan yang hendak dicapai. Teori ekonomi dasar mengatakan bahwa sesuatu bidang usaha yang hendak dilakukan adalah untuk meraih keuntungan sebesar-besarnya, apakah itu keuntungan materi atau keuntungan non-materi. Jika keuntungan materi yang hendak dicapai, apakah hitung-hitungan seberapa besar lama modal akan kembali sudah sesuai dengan yang akan digelontorkan..? karena modal yang hendak digunakan adalah dana APBD dan APBN yang ditanamkan dalam BUMD Banten Global sebesar 1 trilyun sebagai dana awal, maka selayaknya dana tersebut harus 'sedikit' diketahui oleh rakyat Banten. Sementara untuk efek dari perubahan sosial budaya masyarakat sekitar akibat dari keberadaan bandara udara harus dipikirkan secara matang.
Pendapat Aay yang mengatakan bahwa akan banyak warung-warung kecil yang akan muncul dari keberadaan bandara tersebut sangat naïf dan terlalu dangkal. Contoh kasus keberadaan Bandara Udara Internasional Soekarno-Hatta, apakah sudah memberikan tempat yang layak bagi keberadaan warung-warung kecil milik warga pribumi di sekitar Cengkareng..? Apakah ada warga asli Cengkareng yang memiliki warung atau gerai didalam area ataupun disekitar luaran Bandara Udara Soekarno-Hatta..? kecuali warga sekitar hanya menjadi tukang ojek motor dan porter alias 'tukang pikul' di airport serta menjadi pedagang asongan yang terus dikejar-kejar dan main 'kucing-kucingan' di area parkir sekitar terminal Bandara Soekarno-Hatta.
Alasan faktor ekonomi dengan dibangunnya bandara udara tersebut sebagai katalisator pembangunan bagi Banten Selatan kiranya harus masih dikaji lebih dalam, sebab Provinsi Banten sendiri telah memiliki Bandara Soekarno-Hatta di Tangerang yang masih bisa lebih dioptimalkan bagi pembangunan ekonomi Banten dan Banten Selatan tentunya. Belum lagi telah adanya Bandara Pondok Cabe di Tangerang Selatan yang juga masih masuk dalam wilayah administrasi Provinsi Banten yang juga bisa lebih dioptimalkan bagi percepatan pembangunan Banten Selatan yang memiliki kedekatan geografis dengan wilayah Lebak.
Sebagai usaha pembangunan bandara perintis, sudah selayaknya apabila pemerintah Provinsi Banten memikirkan secara matang berbagai efek domino yang akan timbul dari pembangunan Bandara perintis tersebut. Beragam hitung-hitungan harus secara cermat perlu diperhatikan. Apakah dengan label perintis, pemerintah sudah mendapatkan operator penerbangan yang mau melayani rute tersebut...? Apakah kelayakan masyarakat sekitar dapat menjangkau harga tiket untuk penerbangan didaerah tersebut dengan jumlah penduduk yang minim di daerah tersebut..?
Pengalaman penulis yang pernah bertugas di salah satu flight carrier di Indonesia, mencari penumpang pesawat udara untuk menutupi load factor pesawat apalagi sebagai bagian dari bandara udara perintis bukanlah persoalan mudah. Apakah operator yang akan menerbangi rute tersebut mau menjadi 'kelinci' percobaan dengan membuka rute setiap harinya..? Padahal seperti kita ketahui, jumlah kunjungan wisatawan yang datang berkunjung ke Tanjung Lesung dan Pulau Umang adalah tamu dengan karateristik week end atau dengan kata lain hanya datang pada waktu akhir pekan. Sebagai perbandingan, Kabupaten Tana Toraja sebagai destinasi wisata nasional, sampai saat ini keberadaan Bandara Pontiku hanya mampu diterbangi oleh dua maskapai kecil dari Makassar dan Balikpapan yang masih harus disubsidi oleh pemerintah daerah setempat yang itupun masih kesulitan menjaring penumpang untuk menutupi load factor pesawat. Jangan sampai keberadaan bandara udara di Panimbang menuai hasil yang sama.
Jalur Selatan-Selatan
Beragam potensi dan obyek wisata yang terbentang di jalur selatan Banten merupakan mutu manikam yang menunggu polesan berbagai pihak untuk dapat dioptimalkan. Mulai dari pesisir barat Anyer dan Carita yang menyambung ke Tanjung Lesung. Namun kendala akan muncul manakala para wisatawan telah tiba di Tanjung Lesung, para wisatawan harus memutar jalur melalui Cibaliung untuk dapat ke Sumur sebagai pelabuhan transit ke Pulau Peucang, Panaitan dan Handeleum. Sebenarnya jalur jalan dari Tanjung Lesung ke Sumur sudah mulai dirintis pada tahun anggaran kemarin. Sangat potensial apabila jalur jalan perintis ini lebih bisa dipercepat agar dapat memotong jumlah waktu yang terbuang. Belum lagi infrastruktur wisata lainnya dari Sumur menuju Bayah melalui jalur selatan yang sampai saat ini masih memprihatinkan. Ditambah jalur jalan wisata dari Leuwidamar menuju Ciboleger yang nasibnya juga setali tiga uang apabila dihubungkan dengan jalur wisata melalui Gunung Kencana.
Jika saja pemerintah mau sedikit serius untuk memajukan pariwisata, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, menumbuhkan pedagang kecil, sudah selayaknya pemerintah haarus fokus dan lebih terarah dalam mengambil kebijakan yang pro-rakyat dan bukan pro pada makelar tanah atau pro pada kontraktor pencari proyek sesaat.
Rencana pembangunan Bandara Udara perintis di Panimbang sebaiknya ditinjau ulang. Ditinjau dari berbagai aspek, pembangunan bandara ini tidak layak bila beralasan untuk percepatan ekonomi, penanganan bencana atau menumbuhkan pedagang kecil..?
Jalur jalan dan keberadaan terminal yang tersebar di Pandeglang dan Labuan sampai saat ini masih memprihatinkan. Sudah selayaknya, prioritas pembangunan lebih diarahkan untuk perbaikan jalan dan pembukaan jalur baru yang lebih dibutuhkan serta pembangunan pelabuhan perintis di Kecamatan Sumur yang merupakan sentra percepatan ekonomi di wilayah selatan. Sebab dengan mempertimbangkan kedekatan Bandara Udara Soekarno-Hatta yang hanya beberapa kilometer dari Banten Selatan sangat naïf bila harus dibangun bandara serupa walau masih bersifat rintisan.... Jangan sampai ketika bandara sudah jadi, malah hanya sapi dan kambing saja yang menjadi penghuni tetap.
Dikhawatirkan dengan digelontorkannya dana trilyunan rupiah untuk sebuah gengsi pembangunan bandara udara lantas mengabaikan prioritas pembangunan lain yang sebenarnya lebih dibutuhkan oleh masyarakat di Banten Selatan.
*) penulis : mantan Manager Citilink Garuda Indonesia Cabang Makassar.