Minggu, 11 Juli 2010
Angkutan Rakyat
Sabtu kemarin saya ‘kembali’ mencoba angkutan rakyat yang paling popular di Pulau Jawa. Tidak salah lagi kalau itu adalah kereta api. Saya naik dari stasiun dari Kota Serang menuju Parung Panjang di Bogor. Dengan harga tiket sekali jalan seharga empat ribu rupiah. Sangat murah memang, kalau tidak dibilang terlalu murah. Namun tiket seharga segitupun masih banyak masyarakat yang lebih senang membayar diatas peron dibanding membeli tiket di loket, tentunya jika membayar di atas peron jauh lebih murah karena bisa ‘bermain mata’ dengan petugas… asyik.
Sejak pertama kali saya menikmati perjalanan dengan kereta api lima belas tahun lalu dengan rute Kota Serang-Tanah Abang, hingga kemarin ketika terakhir kali saya naik kembali dengan rute turun di Parung, tidak banyak yang berubah. Masih seperti yang dulu, kereta penuh sesak dengan penumpang, pedagang asongan yang seolah tidak pernah putus dan sepertinya lebih banyak pedagang daripada penumpang, iringan musik dari pengamen yang jumlah disetiap gerbongnya selalu ada dengan lagu-lagu aneka warna mulai dari dangdut, pop sampai yang berlirik Inggris dengan dialek Sunda dan cegok Jawa.
Saya menjadi merinding dengan beragam sifat dan sikap penumpang ‘gelap’ yang berseliweran meminta belas kasihan dengan sedikit memaksa para penumpang. Saya katakan penumpang gelap karena bukan penumpang dengan tiket dan bukan pula pedagang asongan yang hilir mudik, mereka penumpang gelap adalah para penumpang yang meminta uang dengan beragam alasan. Ada yang meminta uang dengan menyebarkan amplop kosong dengan alasan pembangunan masjid, pondok pesantren hingga majlis taklim, ada juga peminta uang gaya preman yang memaksa penumpang karena telah membersihkan lantai peron… siapa juga yang nyuruh nyapu di kereta, kalau tidak dikasih, kaki penumpang, terutama kaum wanita akan di sapu-sapu terus… huff…. Belum lagi kerawanan angka kriminalitas di kereta yang tidak memiliki standar keselamatan dan keamanan yang memadai.
Sudah seharusnya disetiap peron ditempatkan satuan pengamanan (seperti di Busway), syukur-syukur kalau dari salah satu angkatan… bukan apa-apa, dalam sekali perjalanan kemarin beberapa penumpang kehilangan dompet, jam, hp dan lain-lain, dan itu belum termasuk pelecehan seksual yang nyata-nyata terjadi… mulai dari colak-colek ‘sekwilda’ alias sekitar wilayah dada hingga remas-meremas ‘maaf’ pantat yang seperti sudah mahfum terjadi…. Weleh-weleh
Pengalaman rekan saya Jaya Komarudin yang saat ini bermukim di Abu Dhabi beberapa tahun lalu yang lalu saat mencoba menikmati perjalanan dengan kereta bersama keluarga harus merelakan HP di kereta saat baru naik di stasiun Serang… huff… sabar Jay, sekarang sudah dapat penggantinya kan..? hehehe
Terkadang saya merasa iri dengan fasilitas angkutan kereta di wilayah timur yang memulai perjalanan dari Jakarta. Pilihan kelas dari Jakarta yang menuju wilayah timur Pulau Jawa terasa sangat bervariasi dengan aneka kelas yang tersedia. Saya pernah menaiki kereta kelas eksekutif dari Jakarta ke Jogjakarta dengan fasilitas eksekutif... walaupun terkadang delay-nya nggak ketulungan. Saya juga pernah menaiki kereta wisata dari Jakarta ke Pekalongan dengan fasilitas wuiih… (kereta ini sering digunakan para pejabat dan artis Indonesia yang berpergian ke kota-kota di Jawa yang tidak disinggahi oleh pesawat). Tapi kereta penumpang yang ke wilayah barat... seperti tidak mendapat pehatian yang selayaknya. Fasilitas kereta di wilayah barat dari Jakarta ke Merak dan sebaliknya seperti hidup segan mati tak mau. Dulu pernah ada kereta bisnis tapi saat ini mati suri.
Kadang saya jadi berfikir ulang, apakah kita harus dijajah kembali untuk memperbaiki sistem transportasi perkerata apian di wilyah Banten.
Jika saya berjalan ke wilayah selatan Banten, sisa-sisa rel dari Labuan ke Saketi dan Bayah tinggal kenangan, begitu pula dengan sisa rel dan stasiun yang tersisa di Anyer… Saya sudah segan membandingkan fasilitas kereta kita dengan kereta serupa di Singapura, Malaysia dan Thailand…. Mimpi kali ye…..
Kereta Api di Banten dan Indonesia pada umumnya seperti sapi perah pada setiap jenjangnya, yang tidak mengalami perubahan signifikan selain gebrakan awal Menteri Fredy Numberi yang mencopot kepala stasiun Beos-Kota Jakarta seminggu dalam masa jabatannya sebagai menteri, namun kini sunyi sepi tak berarti.
Stasiun-stasiun yang disinggahi kereta disetiap tempat pemberhentiannyan tak ubahnya seperti pasar mendadak. Begitupula dengan lokasi pemberhentian kereta yang dapat menaikkan dan menurunkan penumpang dimana saja, seperti angkot yang dapat berhenti di tengah jalan….
Satu hal yang membuat saya tetap mencintai kereta api di Indonesia adalah suguhan pemandangan indah yang tidak bisa saya lupakan. I Love U full Kereta Api Indonesia……. mudah-mudahan para pemimpin di Banten bisa sedikit memperhatikan sarana angkutan kereta api, tidak perlu menggunakan kereta api sewaktu kunjungan kerja (dibeberapa negara Eropa, para pejabat harus menggunakan kereta dalam kunjungan kerja antar sesama negara Eropa), tidak perlu memakai kereta saat kampanye saja.... tapi cukup sedikit perhatian untuk memperbaiki sistem dan peremajaan kereta untuk rakyat... yah sedikit saja, asalkan kereta menjadi sarana yang layak, aman dan nyaman.
Kereta api adalah angkutan massal yang mampu menekan emisi dan efisiensi BBM. Jika sistem transportasi masssal dapat dibenahi, tingkat kemacetan, kesulitan akses pengangkutan dan masalah transportasi lainnya dapat sedikit teratasi... jadi tidak perlu menungu kembalinya penjajah untuk memperbaiki semua fasilitas tersebut...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar